Kehidupan sebagai Penerjemah (11): Aspek Sosial Dalam Psikologi
Pada 2011, saya menerjemahkan sejumlah karya yang saya pilih dalam bidang psikologi, semata-mata untuk memperkaya materi kuliah Psikologi Umum bagi mahasiswa di fakultas psikologi. Terjemahan ini tidak dimaksudkan pertama-tama untuk dikutip. Kendati demikian, apabila hendak dikutip juga, Anda dapat menerakan hal sebagai berikut di dalam Daftar Pustaka Anda:
Burr, V. (2002). The person in social psychology (Translator/Penerjemah: Juneman Abraham). New York: Taylor & Francis.
Konsen terhadap psikologi sosial dapat dirunut pada paruh kedua abad ke-19, berkenaan dengan permasalahan sosial yang terjadi pada waktu itu. Pada waktu itu permasalahan berkisar pada Revolusi Industri di Eropa dan segala dampaknya. Sebagai contoh, di Perancis, revolusi dan pemberontakan oleh massa telah menimbulkan ketakutan yang meluas di antara kelas-kelas sosial yang memerintah. Gustav Le Bon (1895) menjelaskan tingkah laku kerumunan (crowd behaviour), seperti kerusuhan (riots), dengan mengajukan gagasan mengenai keberadaan “jiwa kerumunan” (crowd mind) yang bersifat primitif. Terinspirasi oleh konsep penularan (contagion) dalam dunia medis, Le Bon berargumen bahwa penularan mental dapat bertanggungjawab atas penyebaran emosi dan “anomi” dalam kerumunan yang terhasut. Anomi adalah sebuah kondisi yang dinamai oleh Emile Durkheim (pendiri sosiologi modern) dalam hal mana norma-norma sosial diabaikan atau dipertentangkan. Psikologi kerumunan (crowd psychology) juga dipengaruhi oleh kriminologi; individu yang berada dalam pengaruh kerumunan dianggap mengalami berkurangnya perasaan bertanggungjawab. Graumann (1988, h. 11) mencirikan individu dalam konteks psikologi kerumunan, sebagai berikut:
“lebih primitif, lebih kekanak-kanakan ketimbang ketika sendirian, dan karenanya menjadi kurang inteligen, kurang dipandu oleh nalar dan dengan demikian kurang bertanggung jawab… konsen utama dari psikologi kerumunan Latin adalah nasib individu ‘normal’ yang menjadi ‘abnormal’ di bawah kondisi sosial kerumunan.”
Buku Le Bon menyebabkan banyak sekali perdebatan, yang mempertanyakan apakah sebuah kerumunan atau sebuah kelompok dapat dianggap memiliki sebuah mind. Mind kelompok adalah sebuah fenomena yang lebih daripada sekadar penjumlahan mind individual yang menyusun kelompok itu. Mind kelompok harus dianalisis dan dimengerti secara tersendiri. Pada jantung perdebatan ini, ada dua konsepsi yang berbeda mengenai relasi antara individual dan sosial. Penulis seperti Le Bon dan Durkheim, meskipun mereka utamanya berminat dalam menjelaskan tingkah laku individu, melihat tingkah laku kelompok tersebut hanya dapat dimengerti melalui apresiasi terhadap konteks sosial. Konteks sosial ini memerlukan jenis-jenis konsep dan penjelasan khusus (seperti mind kerumunan dan anomi) dan tidak dapat direduksi kepada penjumlahan atau hasil tindakan individu-individu. Pandangan alternatifnya adalah bahwa fenomena sosial (seperti tingkah laku kerumunan) dapat dimengerti dengan memeriksa proses-proses psikologis dari individu-individu. Sebagaimana yang akan kita lihat, dua cara pandang psikologi sosial yang berbeda ini akan bercerai satu dengan yang lain baik secara teoretis maupun metodologis. Konsepsi psikologi sosial yang lebih individualistik berakar di Inggris dan Amerika Utara.
Publikasi simultan dari dua buah buku yang berjudul “Psikologi Sosial” pada tahun 1908 melambangkan pisahnya dua konsepsi yang berbeda mengenai psikologi sosial. Pemisahan ini dipertegas lagi pasca Perang Dunia Kedua (Farr, 1996). Kedua buku tersebut ditulis oleh William McDougall, seorang psikolog Inggris, dan Edward Ross, seorang sosiolog Amerika Utara. McDougall sebelumnya merupakan pengikut Le Bon, dan pada masa-masa berikutnya menulis mengenai gagasannya sendiri mengenai mind kelompok. Meskipun demikian, McDougall sungguh memandang individu sebagai fokus yang tepat untuk psikologi sosial. Di sisi lain, Ross berpikir bahwa psikologi sosial hendaknya memeriksa fenomena pada tingkat kolektif atau interaksi sosial. Jadi, sedikitnya ada dua jenis psikologi sosial: (1) psikologi sosial psikologis (psychological social psychology / PSP), dan (2) psikologi sosial sosiologis (sociological social psychology / SSP).
PSP dibentuk oleh pengaruh yang kuat dari psikologi individualistik, empiris, dan terlembaga di Amerika Utara. Wilhelm Wündt dianggap merupakan pendiri psikologi sebagai sebuah disiplin mandiri pada abad ke-19-an. Wündt mendirikan laboratorium psikologi eksperimental pertama di Universitas Leipzig pada 1879, dan dipandang sebagai tokoh kunci dalam pendirian psikologi sebagai sebuah ilmu. Namun demikian, Wündt meyakini bahwa psikologi hanya dapat dilihat sebagai cabang ilmu alam (natural science) secara terbatas. Wündt meyakini bahwa hanya sejumlah aspek dari psikologi yang tepat dipelajari di laboratorium. Ia meyakini bahwa proses-proses mental tingkat tinggi seperti pikiran dan memori tidak dapat secara memadai dipelajari secara eksperimental. Penggunaan laboratoriumnya adalah guna menyelidiki sifat-sifat dari pengalaman kesadaran langsung (immediate conscious experiences) yang dapat dilaporkan oleh seseorang, seperti sensasi-sensasi fisik dan emosi. Barangkali mengejutkan bagi mahasiswa psikologi dewasa ini untuk mengetahui bahwa Wündt juga berminat pada fenomena yang telah lama dianggap bagian dari disiplin sosiologi dan antropologi, serta berminat pada topik-topik seperti agama, mitos, dan adat-istiadat sosial. Jadi, seperti Le Bon dan Durkheim, Wündt berpikir bahwa tingkah laku individu tidak dapat dimengerti tanpa rujukan pada konteks sosialnya. Dengan demikian, psikologi Wündt sebenarnya tidak diwarnai oleh filsafat individualis yang sangat kuat. Sepanjang paruh kedua abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20, ribuan orang Amerika Utara pergi Eropa untuk belajar. Sekembalinya mereka ke Amerika, beberapa pelopor mendirikan laboratoriumnya sendiri, dengan memodel laboratorium Wündt di Leipzig. Namun demikian, dalam perjalanannya ke Amerika Utara, psikologi Wündt mengalami transformasi. Praktik-praktik psikologi dalam laboratorium-laboratorium yang baru tersebut mencerminkan individualisme dari kultur orang Amerika Utara. Laboratorium-laboratorium ini segera menjadi sangat berbeda dari program-program penelitian yang dikembangkan Wündt sendiri, misalnya dalam penelitian perbedaan individual. Metode “introspeksi” Wündt (merefleksi dan melaporkan peristiwa-peristiwa mental dan sensorik dengan cara yang sistematik) sangat dikritik oleh John Watson, salah seorang pendiri behaviorisme, dan metode ini selanjutnya dipandang oleh psikolog dewasa ini sebagai subjektif, tak dapat diterima, dan tidak ilmiah. Jadi psikologi yang diadopsi dan dikembangkan dari Wündt oleh para psikolog Amerika Utara, yang berfokus pada penelitian fenomena di laboratorium, sebenarnya hanyalah bagian dari psikologi Wündt, bukan seluruh psikologi Wündt.
Meskipun demikian, minat Wündt terhadap hubungan antara individu dan masyarakat tidak seluruhnya diabaikan oleh para ilmuwan sosial. Hubungan tersebut dipelajari oleh filsuf George Mead di Amerika. Mead merupakan salah seorang dari ribuan orang yang pernah pergi ke Jerman untuk mengejar pendidikan, dan ia bekerja tetap di Universitas Chicago. Sebagaimana Wündt, ia meyakini bahwa fenomena sosial tidak dapat dimengerti hanya dengan psikologi individual. Mead mengabdikan dirinya untuk menganalisis relasi antara mind dan kesadaran di satu pihak, dan mind dan kesadaran dengan masyarakat di pihak lain. Pada waktu tersebut, John Watson merupakan mahasiswa di Universitas Chicago (mahasiswa Mead) dan menjadi instruktur di sana. Mead sangat kritis terhadap behaviorisme Watson yang sangat menarik bagi kultur positivis dan empirisis di Amerika. Perbedaan pendapat antara Mead dan Watson menandai mulainya keterpisahan antara bentuk sosiologis dan bentuk psikologis dari psikologi sosial.
Psikologi Sosial Psikologis
Sementara psikologi di Eropa masih merupakan upaya-upaya akademisi yang belum terkoordinasi, psikologi di Amerika Utara secara cepat menjadi lebih kuat dan lebih terlembaga. Dengan demikian, psikologi Amerika Utara menjadi dominan dalam psikologi sosial, atau fenomena ini disebut juga sebagai Amerikanisasi psikologi. Behaviorisme yang menawarkan posibilitas prediksi dan kontrol ilmiah terhadap peristiwa-peristiwa manusia segera menjadi dominan. Seiring behaviorisme mengambil alih dan mendefinisikan psikologi pada awal abad ke-20, maka disiplin psikologi menjadi teramat sangat individualistik dan lepas dari konteks (terdekontekstualisasi). Mind dan kultur, yang telah menjadi minat para psikolog Eropa mula-mula dan Mead, tidak lagi menjadi subjek yang sah dari psikologi. Behaviorisme menentukan bahwa eksperimen merupakan satu-satunya bentuk penyelidikan yang sah bagi psikologi ilmiah.
Dengan demikian, psikologi sosial tak terhindarkan mengambil bentuk yang individualistik dan behavioristik ini. Ini ditunjukkan dalam buku Psikologi Sosial tulisan F. H. Allport (1924) yang berpengaruh terhadap pembentukan psikologi sosial yang mendukung psikologi sosial di Amerika Utara sebagai ilmu eksperimental dan behavioral. Sebagaimana Watson, Allport merupakan seorang behavioris dan menolak studi mind dan kesadaran. Bagi Allport (1924, h. 12; dalam Hewstone, dkk., 1988), psikologi sosial merupakan “ilmu yang mempelajari tingkah laku individual sejauh tingkah laku tersebut menstimulasi individu lain, atau tingkah laku itu sendiri merupakan reaksi terhadap jenis tingkah itu”. Sebagaimana para psikolog sosial yang lain, Allport berminat menjelaskan fenomena kolektif juga. Namun demikian, perbedaan antara Allport dengan Wündt, Durkheim, Le Bon, Mead, dan McDougall ialah bahwa Allport meyakini fenomena kelompok dapat dijelaskan dalam psikologi individual, serta bahwa konsep-konsep khusus seperti mind kelompok tidaklah diperlukan. Ketika McDougall menerbitkan bukunya The Group Mind pada 1920 dan pindah ke Amerika untuk menduduki sebuah posisi di Universitas Harvard, Allport sangat kritis terhadap karya McDougall yang menyatakan bahwa entitas di luar individu (yakni, kelompok atau kerumunan) dapat mengambil tindakan atau memiliki agensi. Dengan demikian, Allport merupakan pembawa “individualisasi sosial” (individualization of the social) dalam psikologi sosial (Farr, 1996, h. 10).
Ketika Hitler mulai berkuasa di Jerman pada 1933, banyak akademisi Yahudi beremigrasi ke Amerika, di antaranya adalah para psikolog Gestalt, seperti Kurt Lewin. Psikolog Gestalt berbeda secara radikal dari psikolog behavioris dalam dua hal utama. Pertama, psikolog Gestalt menolak pandangan atomistik tentang orang, dan berargumen bahwa fenomena manusia selalu lebih besar daripada penjumlahan bagian-bagian individual. Jadi, kita tidak dapat berharap mengerti manusia secara memadai melalui studi fragmen-fragmen tingkah laku atau melalui reduksi situasi sosial menjadi sekumpulan variabel-variabel yang saling terpisah. Kedua, para psikolog Gestalt berargumen bahwa kita hanya dapat memahami tingkah laku seseorang melalui apresiasi terhadap dunia fenomenalnya (phenomenal world), melalui pemahaman terhadap sudut pandang subjektif mereka ketimbang pencatatan objektif terhadap tingkah laku mereka. Namun psikologi Gestalt memiliki metode eksperimental yang sama sebagaimana behaviorisme, memiliki akar yang sama dalam tradisi eksperimental Jerman di mana Wündt menginisiasi laboratorium Leipzig-nya. Oleh karena psikologi Gestalt menjadi terserap kedalam psikologi sosial Amerika, psikologi Gestalt mengambil fokus kultur terhadap psikologi individual dan aplikasi praktisnya, dan konsen psikologi Gestalt awal terhadap pengalaman subjektif muncul kembali menjadi studi tentang kognisi sosial (social cognition).
Penelitian dalam psikologi sosial pada sebagian besar abad ke-20 ditandai dengan pertanyaan-pertanyaan seputar peristiwa-peristiwa sosial dan permasalahan yang menyertainya, seperti kepatuhan terhadap otoritas (yang mendasari banyak kekejaman Nazi), ketidaksiapan orang menolong orang lain yang berada dalam bahaya, atau prasangka rasial. Meskipun demikian, eksperimentalisme dan individualisme psikologi sosial berfokus pada tingkah laku dan pikiran individu-individu. Contohnya adalah studi Milgram (1963) dan Asch (1956) tentang kepatuhan terhadap otoritas dan konformitas, karya Latané dan Darley (1969) mengenai apatisme atau “kemasabodohan” bystander (orang yang berada di sekitar orang yang memerlukan pertolongan/sedang berada dalam bahaya), eksperimen kelompok minimal dari Tajfel, dkk. (1971).
Psikologi Sosial Sosiologis
George Mead merupakan tokoh penting dalam perkembangan warna sosiologis dalam psikologi sosial. Karya ternamanya adalah teori interaksionisme simbolik. Sebagaimana Wündt, Mead juga berpikir bahwa bahasa, masyarakat, dan kultur penting untuk memahami tindakan manusia. Namun, konsepsi mind dari Wündt masih mengikuti dualisme Cartesian yang memisahkan yang mengetahui (the knower) dari yang diketahui (the known), subjek dari objek, diri (the self) dari yang lain (the other). Dengan demikian, Wündt sulit menjelaskan relasi antara individu dan masyarakat. Kontribusi Mead adalah pelampauannya terhadap dualisme, khususnya terhadap pemisahan antara diri dan yang lain. Konsepsinya mengenai mind dan kesadaran, serta relasi antara mind dan kesadaran dengan masyarakat, didasarkan pada interdependensi diri dan yang lain. Lebih lanjut, bahasa dan interaksi sosial bagi Mead penting bagi perkembangan mind, kesadaran, dan diri. Bagi Mead, diri tidak hadir (pre-exist) sebelum adanya masyarakat, melainkan diri muncul dari masyarakat. Jadi, psikologi sosial Mead berbeda secara radikal dari psikologi sosial psikologis (PSP), dalam mana PSP meyakini bahwa individu atau diri tidak bergantung pada kekuatan sosial untuk eksistensinya (meskipun psikologi tradisional menerima bahwa individu pada derajat tertentu dibentuk oleh pengalaman sosialnya).
Sebagaimana Watson, Mead berminat pada pertanyaan mengapa orang bertingkah laku. Namun Mead berpikir bahwa tingkah laku orang selalu terbalut dan terkoordinasi dengan yang lain (the others) yang membentuk lingkungannya. Tingkah laku kita hanya dapat dimengerti secara tepat apabila kita meninjau konteks tingkah laku orang lain serta sejarah relasi kita dengan yang lain. Mead mengarahkan pertanyaan psikologi kepada bagaimana individu, yang sadar dan memiliki mind, berinteraksi dengan individu lain, mempengaruhi dan dipengaruhi oleh individu lain, sehingga menghasilkan sesuatu yang bernama masyarakat (society). Mead melihat kesadaran dan mind (kemampuan untuk merefleksikan tindakan kita dan tindakan orang lain) sebagai hasil (outcomes) dari interaksi sosial. Bagi Mead, individu tidak eksis secara independen dari masyarakat melainkan, individu dimungkinkan oleh interaksi sosial antar orang. Kunci perkembangan mind adalah kualitas manusiawi kita, yakni kemampuan manusia untuk menggunakan simbol-simbol untuk merepresentasikan hal-hal dan peristiwa-peristiwa, khususnya penggunaan bahasa. Menurut Mead, bahasa lah yang memungkinkan kita menginternalisasikan interaksi sosial, merepresentasikannya kepada diri kita sendiri, untuk berpikir dan berefleksi tentang interaksi sosial. Sebuah simbol (misalnya, sebuah kata) merupakan sesuatu yang membawa makna, dan bahwa makna bukanlah sesuatu yang privat bagi individu soliter. Makna-makna dibagi (shared) di antara kelompok-kelompok sosial. Sebagai contoh, kata-kata “Saya mencintai kamu” atau gestur simbolik dari makan malam yang diterangi lilin (candlelit dinner) memiliki makna yang terbagi di dalam kebudayaan kita.
Makna terbagi (shared meanings) ini memiliki tiga implikasi penting. Pertama, berlawanan dengan klaim behaviorisme, tingkah laku bukanlah hasil dari peristiwa-peristiwa objektif, melainkan berasal dari makna simbolik yang melekat pada peristiwa tersebut bagi orang-orang. Dengan demikian kita tidak dapat memahami mengapa orang bertingkah laku tanpa meninjau dunia subjektif, dunia fenomenalnya, sebagaimana yang dilakukan oleh para psikolog Gestalt. Kedua, makna-makna tersebut spesifik terhadap kultur tertentu, jadi kita tidak dapat mengasumsikan bahwa pengertian kita mengenai tingkah laku di dalam budaya kita sendiri dapat diterapkan begitu saja kepada orang-orang dalam kebudayaan yang lain atau dalam waktu yang lain dalam sejarah. Ketiga, sifat-sifat dari makna terbagi tersebut memberikan kita cara untuk mengapresiasi intensi-intensi, antisipasi-antisipasi, dan respons-respons dari orang lain. Hal ini memungkinkan kita untuk mengkoordinasikan aktivitas kita secara kompleks, sehingga tingkah laku kita sendiri secara berkesinambungan diinformasikan oleh antisipasi tingkah laku orang lain. Mead menyebut hal ini “mengambil peran orang lain” (taking the role of the other). Oleh karena kita dapat mengimajinasikan makna kata dan peristiwa bagi orang lain, kita secara berkelanjutan melangkah masuk dan melangkah keluar dari perspektif mereka, peran mereka dalam peristiwa-peristiwa, dalam membentuk tingkah laku kita sendiri. Dengan cara ini, kita menjadi memiliki konsep mengenai diri kita sendiri sebagaimana orang lain melihat kita. Proses ini lah yang memungkinkan kita menjadi sadar-diri (self aware), menjadi sadar sebagai diri (being a self). Mead menyebut pendekatannya “behaviorisme sosial”, namun teori ini selanjutnya diambil oleh mahasiswa Mead, Blumer, yang menyebutnya “interaksionisme simbolik”.
Dalam tahun-tahun terakhir, sejak Perang Dunia Kedua, fokus minat interaksionisme simbolik terhadap makna, interaksi sosial dan pengambilan peran telah diambil alih dalam beragam pandangan. Sebagai contoh, Erving Goffman, yang juga bekerja di Universitas Chicago, memandang permainan peran (role playing) sebagai naskah (script) yang mengatur interaksi sosial. Etnometodologi yang dikembangkan Harold Garfinkel tentang penggunaan bahasa dalam interaksi sosial memperlihatkan bagaimana asumsi-asumsi terbagi (shared assumptions) mengenai situasi dalam mana kita berinteraksi dengan orang lain adalah penting bagi pembicaraan kita untuk dapat diinterpretasikan dan dimengerti secara bermakna oleh orang lain. Howard Becker yang berpengaruh terhadap perkembangan teori label (labeling theory) melihat bagaimana penyimpangan (deviance) dapat dipikirkan bukan sebagai properti individu tertentu, melainkan sebagai sebuah produk (imputed quality) dari interaksi sosial dan negosiasi sosial.
Jelas berdasarkan pembahasan di atas bahwa psikologi sosial yang diwariskan dari Mead bukanlah psikologi sosial yang behavioristik, meskipun psikologi sosial ini bersifat “kognitif” dalam arti bahwa peristiwa-peristiwa mental (pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan yang menyusun respons kita terhadap makna) penting untuk memahami tingkah laku kita. Psikologi sosial Mead menempatkan interaksi sosial pada posisi sentral serta menolak mempelajari tingkah laku individu dalam isolasi (lepas dari konteks sosial dan historisnya). Metode-metode yang umumnya digunakan dalam penelitian psikologi sosial sosiologis tidak mencakup eksperimentasi laboratorium, melainkan metode yang berupaya mengakses makna-makna yang menonjol bagi tingkah laku tertentu atau yang memungkinkan analisis interaksi kontekstual, seperti wawancara dan observasi partisipatif. Sebagai contoh, Becker (1953) menggunakan wawancara dan teori interaksionisme simbolik dalam studinya tentang penggunaan mariyuana. Goffman (1967) melaporkan penggunaan observasi untuk meneliti aturan-aturan sosial dengan mempelajari bagaimana aturan-aturan ini dilanggar oleh pasien-pasien mental.
Perkembangan Mutakhir
Pada akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an, psikologi sosial psikologis (PSP) telah mengembangkan teori-teori dan penelitian yang stabil dalam bidang-bidang telaah, seperti pembentukan sikap, perubahan sikap, atribusi, stereotip dan prasangka, serta dinamika kelompok. Meskipun demikian, tumbuh suatu perasan bahwa disiplin PSP ini tidak berkembang. Banyak pertanyaan yang berasal dari program-program penelitian tidak memiliki jawaban yang jelas. Sejumlah penulis mulai menyuarakan konsen mereka, bahwa adopsi total metode eksperimental dalam psikologi sosial telah menimbulkan kemajuan teknik-teknik canggih yang tidak sesuai dengan kemajuan pemahaman fenomena sosial. Banyak penulis merasa bahwa dunia artifisial (buatan) laboratorium tidak mampu mensimulasikan kompleksitas pengalaman sosial manusia. Dirasakan bahwa fitur-fitur kontekstual yang penting yang memberikan makna kepada tingkah laku kita telah secara sistematis disaring keluar oleh eksperimen dan dianggap sebagai variabel pengotor (contaminating variables); juga dipertanyakan etika pembohongan (desepsi) serta status relasi antara eksperimenter dan subjek penelitian (misalnya, Armistead, 1974; Elms, 1975; Parker, 1989).
Behaviorisme awal-awalnya memberikan jalan kepada psikologi kognitif sebagai pengaruh dominan dalam psikologi sosial, namun belakangan tidak ada lagi orientasi sosialnya, dengan mensubstitusi pemrosesan informasi dengan ikatan stimulus-respons (S-R) sebagai akar penjelasan peristiwa-peristiwa manusia. Gergen (1973) dan ahli lain melangkah lebih jauh dan menyatakan bahwa pengalaman manusia dan fenomena sosial bergerak dan berubah seiring perubahan kultural dan kondisi sosial. Menurut mereka, yang kita perlukan adalah analisis historis terhadap pertanyaan-pertanyaan psikologi sosial pada waktu yang berbeda-beda. Di Eropa, hegemoni psikologi sosial Amerika Utara mulai ditantang oleh para penulis seperti Henri Tajfel dan Serge Moscovici (yang memperoleh pengaruh dari Durkheim), yang menyatakan bahwa psikologi sosial hendaknya mengakui kelekatan sosial (social embeddedness) dari individu. Hal ini nyata dalam karya-karya mereka, seperti misalnya penelitian Tajfel mengenai proses-proses antar-kelompok, dan pengembangan Moscovici tentang teori representasi sosial; meskipun Farr (1996) menunjukkan bahwa psikologi sosial Tajfel lebih dekat ke tradisi Amerika Utara dalam penggunaan eksperimen laboratoriumnya.
Jadi, psikologi sosial dominan bukanlah tanpa kritik. Sampai dengan baru-baru ini, psikologi sosial telah berkembang melampaui individualisme dan eksperimentalisme. Munculnya psikologi sosial kritis (misalnya, Stainton-Rogers, dkk., 1995; Ibanez & Iniguez, 1997), konstruksionisme sosial (Burr, 1995; Parker, 1998; Gergen, 1999) dan psikologi diskursif (Edwards & Potter, 1992; Potter, 1996) merepresentasikan gerakan baru dalam psikologi menuju konsepsi sosial tentang manusia. Pendekatan-pendekatan teoretis ini diiringi oleh bentuk-bentuk penyelidikan kualitatif, non-eksperimental.
Namun demikian, ironisnya, hanya sedikit dialog yang terjadi antara psikologi sosial kontemporer dan psikologi sosial klasik.
Kekhususan Situasi Dari Tingkah Laku
Pengaruh behaviorisme telah menjadikan manusia makhluk yang pasif dan tidak refleksif. Tingkah lakunya dipengaruhi oleh situasi sosial tanpa mediasi pikiran. Tradisi eksperimental memberikan kita individu yang dapat dimengerti secara independen dari masyarakat, meskipun kita sedang berupaya menjelaskan tingkah laku sosial seseorang. “Ideologi individual” (Farr, 1996) ini telah menjadi bagian dari pemahaman umum kita mengenai apa artinya menjadi manusia (dalam masyarakat Barat) yang pra-sosial. Bila mengikuti logika ini, maka perubahan yang teramati pada seseorang dalam konteks kelompok akan dilihat sebagai abnormal dan patologis, irasional dan tak bertanggung jawab. Pandangan ini dilawan oleh sejumlah ahli psikologi sosial.
Kita cenderung memikirkan diri kita sebagai orang yang sama dari hari ke hari, dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Pandangan kita mengenai diri kita sebagai individu yang konsisten dan koheren ini dapat dipandang sebagai bagian dari “ideologi individual” di atas. Padahal pandangan tersebut lebih merupakan sebuah deskripsi tentang apa yang kita rasakan seharusnya bagaimana kita ketimbang apa yang secara aktual terjadi (Gergen, 1972). Istilah “spesifisitas situasi” biasanya dihubungkan dengan versi awal dari teori belajar sosial (misalnya, Mischel, 1968), dan merujuk pada klaim bahwa tingkah laku kita bergantung pad situasi atau konteks di mana kita menemukan diri kita, ketimbang merupakan hasil dari proses-proses internal. Klaim bahwa tingkah laku kita spesifik-situasi telah menantang asumsi-asumsi esensialis mengenai teori kepribadian sifat (trait) dan tipe. Sebagai contoh, “kejujuran” (honesty) justru lebih banyak ditemukan sebagai aspek tingkah laku dalam situasi tertentu ketimbang aspek kepribadian yang reliabel dan konsisten (Hartshorne & May, 1928–1930). Namun dalam psikologi sosial, relevansi spesifisitas situasi lebih banyak dilihat secara jelas dalam studi tentang sikap (attitude).
Pertanyaan sentral bagi para psikolog sosial adalah sifat hubungan antara sikap dan tingkah laku. Pardoksnya, istilah “sikap” ketika pertama kali digunakan oleh para ilmuwan sosial sebenarnya merujuk pada sikap sosial (social attitudes). W. I. Thomas, seorang sosiolog pada Universitas Chicago pada zaman Mead, melihat studi tentang sikap sebagai tugas yang paling penting dari psikologi sosial dan, memang, studi ini menempati tempat sentral dalam disiplin psikologi sosial sepanjang sejarahnya. Thomas juga merupakan seorang mahasiswa Wündt serta mewarisi minat Wündt dalam keyakinan-keyakinan dan praktik-praktik kultural. Bagi Thomas, sikap-sikap sosial merupakan komponen subjektif dari kultur dan menyusun karakteristik komunitas. Namun istilah “sikap” dewasa ini memiliki konotasi yang lebih individualistik. Kita memandang sikap sebagai sesuatu yang privat dan internal bagi seseorang, suatu karakteristik tentang cara orang berpikir. Bila demikian, sejauh mana tingkah laku kita merupakan hasil dari sikap yang kita miliki?
Dalam teori-teori sikap, ada kecenderungan untuk mengasumsikan bahwa sikap dan tingkah laku itu berhubungan, dan bahwa sikap setidaknya sebagiannya menentukan tingkah laku kita (misalnya, Ajzen & Fishbein, 1977). Namun demikian, Wicker (1969), setelah mengkaji sejumlah besar penelitian empiris tentang kaitan sikap-tingkah laku, menyimpulkan bahwa hubungan antara tingkah laku (overt behavior) dan sikap (measured attitudes) sangatlah lemah. Salah satu penelitian mula-mula dan terkenal dalam hal ini dilakukan oleh La Piére (1934). La Piére merupakan seorang sosiolog. Studinya bukanlah eksperimen laboratorium. Dalam perjalanannya mengelilingi Amerika Serikat, ia pergi bersama dengan sepasang orang China. Berdasarkan pengetahuan mengenai prasangka terhadap orang China di Amerika Serikat pada waktu itu, La Piére mengharapkan atau menduga akan adanya sejumlah kesulitan yang terjadi ketika datang ke hotel dan restoran. Sepanjang perjalanan mereka, mereka mengunjungi 251 tempat, dan La Piére terkejut bahwa penolakan layanan hanya terjadi pada satu tempat. Enam bulan kemudian, La Piére menyurati setiap tempat yang telah dikunjungi dan menanyai apakah mereka akan menerima orang China sebagai tamu mereka. Hanya 128 jawaban yang diterima, namun 92% di antaranya mengatakan bahwa mereka tidak akan menerima orang China sebagai tamu. Tingkat penolakan serupa ditemukan dalam sampel kontrol dari tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi. Jelas, bahwa dalam kasus sejumlah besar pemilik hotel dan restoran yang dikunjungi oleh La Piére dan orang Chinese, sikap yang dinyatakan bukan merupakan indikasi atau petunjuk yang dapat diandalkan tentang tingkah laku.
Sejumlah penjelasan telah diberikan menyusun temuan ini. Misalnya, bahwa respons pemilik hotel dan restoran mungkin telah dipengaruhi oleh fakta bahwa pasangan Chinese tersebut berpakaian baik (well-dressed) dan berbicara dalam bahasa Inggris yang baik. Pemilik hotel dan restoran mungkin lebih dimotivasikan oleh ketidakinginannya untuk mengesampingkan bisnis ketimbang mengesampingkan prasangka. Atau, mungkin mereka telah khawatir tentang konsekuensi tindakan penolakan di hadapan tamu-tamu lainnya. Mengusir tamu mungkin juga berkonflik dengan peran pemilik hotel dan restoran sebagai tuan rumah. Semua penjelasan ini baik, dan pertimbangan-pertimbangan tersebut telah menimbulkan preferensi para peneliti sikap kontemporer untuk menjadi sangat spesifik mengenai kondisi-kondisi mana mereka dapat mengharapkan untuk menemukan hubungan antara tingkah laku dan sikap, misalnya dalam teori tindakan beralasan (reasoned action theory) dari Fishbein dan Ajzen (1975).
Namun demikian, hal yang penting di sini adalah bahwa ketimbang memandang kenyataan sosial sebagai serangkaian variabel yang dapat dipertunjukkan memiliki sejumlah efek kompleks terhadap proses-proses intra-psikis, kita akan memahami tingkah laku manusia lebih baik apabila kita melihat konteks sosial sebagai tempat di mana tindakan kita membawa maknanya (“where the action is”). Hal ini tidak berarti bahwa kita seyogianya mengabaikan proses-proses intra-psikis atau menganggap proses-proses tersebut tidak relevan, namun hal ini berarti bahwa penelitian kita hendaknya berfokus lebih banyak pada sifat konteks sosial ketimbang penelitian-penelitian sebelumnya.
Keraguan lebih lanjut terhadap peran sikap dalam menghasilkan tingkah laku berasal dari teori disonansi kognitif dari Festinger (1957). Festinger dan rekan-rekannya melakukan serangkaian eksperimen di mana para partisipan diminta untuk menunjukkan tingkah laku terhadap sesuatu yang disikapi secara negatif oleh mereka. Secara umum, partisipan diberikan sebuah tugas yang sangat membosankan untuk dikerjakan. Mereka selanjutnya diminta untuk menjelaskan terhadap calon-calon partisipan lainnya (yang akan mengikuti penelitian tersebut) mengenai betapa menariknya dan menggairahkannya mereka menjalani tugas eksperimental tersebut (padahal tidak!). Festinger, dkk., menemukan bahwa dalam kondisi tiadanya alasan pembenaran lain (seperti jumlah imbalan), para partisipan setelah itu akan mengekspresikan sikap positif terhadap tugas (yang sebelumnya dianggap membosankan itu) untuk merasionalisasikan tingkah laku mereka. Festinger tertarik dengan implikasi penelitian ini terhadap konsistensi kognitif. Konsistensi kognitif merupakan sebuah gagasan yang menyatakan bahwa kita menyukai pikiran, perasaan, dan tingkah laku kita untuk saling konsisten satu sama lain. Ketika kita menemukan diri kita berada dalam situasi di mana terdapat inkonsistensi atau disonansi antar ketiganya, kita merasa tidak nyaman. Dalam kondisi ini, kita melakukan apa pun untuk membuat ketiganya konsisten, seperti misalnya mengubah sikap kita. Namun ada implikasi lebih lanjut dari penelitian ini, misalnya, para peneliti telah menghadirkan kompleksitas relasi antara sikap dan tingkah laku. Tingkah laku kita dalam arah sebaliknya ternyata dapat menghasilkan sikap.
Sebagaimana kita lihat di atas, teori-teori Fishbein dan Ajzen (1975) serta Festinger (1957) meletakkan sikap sebagai fenomena psikologis ketimbang fenomena sosial, dan perhatian kita menjadi teralihkan dari konteks sosial yang memberikan makna pada perilaku kita. Penekanan sikap sebagai atribut mental privat yang mempengaruhi perilaku kita nampaknya memiliki kegunaan yang sangat terbatas dalam upaya kita untuk memahami perilaku manusia, sementara kenyataannya adalah bahwa situasi yang membentuk konteks perilaku kita memberikan pendasaran (rationale) bagi tingkah laku kita. Bukti-bukti penelitian lanjut dalam bidang sikap dan prasangka mendukung pandangan bahwa kita tidak dapat memahami tingkah laku orang dengan penjelasan struktur intra-psikis (yakni, yang murni dalam mind individual), namun kita harus meninjau konteks sosial.
Minard (1952) meneliti komunitas pertambangan di Virginia, Amerika Serikat. Komunitas tersebut terdiri atas orang kulit hitam dan kulit putih, dan mereka awalnya bersama-sama bekerja di bawah tanah tanpa kesulitan. Namun demikian, prasangka dan segregasi yang merupakan bagian dari kehidupan kultural di kota pertambangan tersebut menjadi faktor terdepan berakhirnya hari kerja bersama mereka. Penelitian Minard menunjukkan bahwa norma-norma sosial yang beroperasi di atas dan di bawah tanah lebih penting ketimbang faktor-faktor intra-psikis seperti sikap dalam menghasilkan tingkah laku para pekerja satu sama lain. Para pekerja dalam penelitian Minard merupakan orang-orang yang sama di atas dan di bawah tanah, namun tingkah laku mereka berbeda saat di atas dan di bawah tanah. Dengan demikian, individu merupakan makhluk yang kurang konsisten dan kurang koheren ketimbang yang banyak diasumsikan oleh psikologi dan psikologi sosial.
Namun demikian, yang penting dicatat adalah bahwa meskipun tingkah laku kita berubah seiring dengan perubahan konteks sosial, perubahan ini tidaklah sewenang-wenang (arbitrer) dan acak (random). Tingkah laku kita dapat dimaknai ketika kita meletakkan dalam pola-pola asumsi, tradisi, dan pandangan hidup kelompok sosial di mana kita bertindak. Hal ini juga tidak berarti bahwa kita harus memiliki pengetahuan yang intim mengenai sejarah kehidupan pribadi dan asal-usul kultural seseorang sebelum kita dapat memahami tingkah lakunya (meskipun baik juga apabila kita memilikinya). Namun, sedikitnya hal ini berarti bahwa kita harus mengetahui sesuatu tentang konteks sosial saat itu dari tingkah laku seseorang guna mengapresiasi makna dan dasar (rationale) tingkah lakunya. Tingkah laku dapat dimengerti secara keliru apabila dipandang lepas dari konteks.
Tuntutan-tuntutan Situasional
Fakta bahwa situasi dapat menghasilkan dorongan yang kuat terhadap tingkah laku tidaklah diabaikan oleh para psikolog. Menariknya, karakteristik tuntutan situasi ini secara khusus dipelajari dalam konteks eksperimen laboratorium. Tokoh kunci dalam penelitian karakteristik tuntutan (demand characteristics) adalah Martin Orne. Orne bekerja dalam lapangan hipnosis dan berminat mengembangkan cara untuk menemukan apakah orang yang terhipnosis mampu untuk melakukan atau siap melakukan hal-hal yang tidak dilakukan oleh orang yang tidak terhipnosis. Kenyataannya, ia menemukan bahwa sangatlah sulit untuk menemukan hal apakah yang dapat membedakan antara orang terhiponosis dan orang yang diminta untuk bertindak seolah-olah mereka terhipnosis. Sebagai contoh, partisipan dalam eksperimennya disiapkan untuk menghadapi tugas-tugas yang membosankan dan tanpa hasil untuk periode waktu yang panjang. Nampaknya, setelah setuju untuk mengambil bagian dalam eksperimen psikologi para partisipan secara implisit membuat komitmen dengan diri mereka sendiri untuk melakukan apapun yang diminta oleh eksperimenter kepadanya, tidak peduli betapa tidak rasionalnya permintaan tersebut. Orne (1962) menyatakan bahwa komitmen implisit ini merupakan bagian dari motivasi umum untuk menjadi subjek penelitian yang baik (a good subject). Partisipan penelitian Orne melakukan apapun yang perlu untuk memenuhi tuntutan situasi, untuk secara tepat menunjukkan peran mereka sebagai seorang subjek dalam eksperimen psikologi. Lebih lanjut, penelitian Orne menunjukkan bahwa partisipan juga menunjukkan bahwa mereka meminati topik eksperimennya. Mereka membentuk kesan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh peneliti untuk dibuktikan dalam penelitian (hipotesis) dan para partisipan mencoba “menolong” peneliti dalam hal ini. Hal ini telah dibahas dalam Bab Metode Penelitian, termasuk cara mengatasinya (“double-blind procedure”). Namun demikian, istilah “demand characteristics” dalam hal ini mungkin salah kaprah, karena konotasinya behavioristik. Padahal, partisipan penelitian Orne tidak hanya merespons secara pasif terhadap situasi eksperimental. Para partisipan justru memiliki rasa ingin tahu mengenai eksperimen ini, dan secara aktif terlibat dalam membangun “teori” mereka sendiri mengenai apa yang ingin dibuktikan oleh eksperimenter.
Dengan demikian, penelitian “demand characteristics” memberikan kita dua pertimbangan penting terkait orang. Pertama, meskipun eksperimen psikologi sosial dirancang dan dilaporkan seolah-olah partisipan sekadar merespons terhadap kondisi-kondisi stimulus yang disusun oleh eksperimentar; namun kenyataannya para partisipan melakukan apa yang mereka ingin lakukan dalam situasi sosial yang lain, yakni mencoba memahami lingkungan eksperimen dan mengambil bagian di dalamnya dengan cara-cara yang bermakna. Jadi, para partisipan dalam eksperimen psikologi sosial bukanlah resipien atau penerima pasif stimuli. Kedua, kita perlu memikirkan eksperimen psikologi sosial sebagai sama dengan situasi sosial lain dalam hal mana seseorang menemukan dirinya sendiri. Tentu saja, aturan-aturan bagi tingkah laku yang tepat dalam situasi-situasi eksperimental mungkin dalam beberapa hal tidak biasa atau sulit untuk dimengerti. Jadi eksperimen adalah sejenis interaksi sosial yang aneh (“bizarre”). Namun, sebagaimana dalam bentuk-bentuk interaksi sosial yang lain, tugas orang adalah untuk bertindak secara tepat. Apabila dilihat dengan cara ini, eksperimen-eksperimen psikologi tidak dapat pernah mengisolasi para partisipannya dari kontaminasi variabel-variabel sosial. Mengapa? Karena eksperimen itu sendiri adalah situasi sosial, sebagaimana dikatakan oleh Moghaddam, Taylor, dan Wright (1993, h. 31) berikut ini:
Imagine that you are asked to act as a subject in a laboratory experiment. The first thing you are likely to do is start wondering about what the experimenter is ‘really’ up to. When you enter the laboratory, you do not enter a cultural vacuum. On the contrary, you enter the laboratory with a host of ideas and expectations about what a laboratory experiment is, and about the role and character of psychologists and psychological research, among other things…. An essential part of the culture in the laboratory context are the roles of the subject and the experimenter. These roles are based on a number of shared understandings about the nature of science and of research, and about what researchers and human subjects are supposed to do.
Nampaknya, apapun prosedur dan aturan yang diberlakukan, orang tetap gigih berperilaku dengan rujukan kepada orang lain dalam lingkungan sosialnya. Tradisi eksperimental dalam psikologi dan psikologi sosial telah didasarkan pada asumsi implisit (atau eksplisit) bahwa individu dalam kondisi murni (pure state)-nya dapat dipelajari dalam laboratorium; namun kita justru menemukan pentingnya memahami tingkah laku orang sebagai peristiwa sosial dan bermakna secara sosial. Selanjutnya, kita mulai melihat posibilitas alternatif lain dalam memandang manusia. Apabila kita harus secara berulang-ulang melihat pada kenyataan sosial, kebudayaan, harapan sosial, dan interaksi sosial guna memahami tingkah laku seseorang, maka mungkin saja kenyataan-kenyataan tersebutlah yang primer. Ketimbang memandang kenyataan sosial sebagai sumber pengaruh yang mempengaruhi dan memoderasi tingkah laku individu, kita dapat melihat kenyataan sosial sebagai sesuatu yang memainkan peran yang jauh lebih penting dalam menghasilkan fitur-fitur yang kita sebut sebagai orang. Penting untuk mengerti dengan jelas bahwa konseptualisasi ini melibatkan lebih daripada sekadar argumen bahwa situasi-situasi sosial dapat memiliki pengaruh (impact) dramatis terhadap individu (dalam hal mana psikologi sosial telah lama mengatakannya). Ini adalah hal yang berbeda. Bahwa kita tidak dapat memahami artinya menjadi manusia tanpa memahami cara dengan mana manusia itu memiliki kelekatan sosial. Asumsi bahwa faktor-faktor sosial memiliki pengaruh dramatis terhadap individu (pre-existing individual) bersifat aksiomatik bagi apa yang di masa lalu merupakan wilayah penelitian sentral bagi psikologi sosial, yakni pengaruh sosial (social influence). Tema-tema pengaruh sosial (social influence) merupakan spektrum yang luas dan fenomena yang terkait, seperti konformitas dan kepatuhan (compliance, obedience).