Kehidupan sebagai Penerjemah (3): Perkembangan Manusia
Pada 2011, saya menerjemahkan sejumlah karya yang saya pilih dalam bidang psikologi, semata-mata untuk memperkaya materi kuliah Psikologi Umum bagi mahasiswa di fakultas psikologi. Terjemahan ini tidak dimaksudkan pertama-tama untuk dikutip. Kendati demikian, apabila hendak dikutip juga, Anda dapat menerakan hal sebagai berikut di dalam Daftar Pustaka Anda:
Miller, P. H. (2009). Theories of developmental psychology (Translator/Penerjemah: Juneman Abraham). New York: Worth Publishers.
Teori perkembangan
Meneliti atau mempelajari pembelajaran (learning) yang dilakukan oleh anak berusia 6 tahun atau pun anak-anak lintas usia tidaklah dapat menghasilkan sebuah kesimpulan mengenai perkembangan (development). Hal yang kritis dalam sebuah teori psikologi perkembangan adalah perubahan sepanjang waktu. Meskipun teori-teori perkembangan mengandung konsep-konsep teoretik non-perkembangan (seperti ego, representasi mental, dan jejaring saraf), konsep-konsep non-perkembangan tersebut berbeda dari teori-teori perkembangan. Teori-teori perkembangan menekankan konsep-konsep pada perubahan sepanjang waktu.
Teori-teori perkembangan juga menghubungkan perubahan sepanjang waktu dengan hal-hal yang terjadi sebelumnya dan hal-hal yang terjadi berikutnya. Dengan demikian, sebuah teori perkembangan berupaya untuk menjelaskan proses-proses yang membuat sebuah fenomena (a) muncul dari perkembangan sebelumnya (prior development), dan (b) menimbulkan perkembangan lebih lanjut (subsequent development). Sebagai contoh, dengan meningkatnya jumlah representasi dalam mind seseorang secara simultan (proses perkembangan), strategi baru untuk mengulang-ulang (rehearsing) secara verbal daftar butir-butir untuk diingat dapat berkembang dari keterampilan sebelumnya (misalnya, menamai butir-butir tersebut), dan selanjutnya dapat berkombinasi dengan strategi-strategi lainnya untuk membuat ingatan (memori) menjadi lebih efisien.
Tiga tugas teori perkembangan adalah (1) mendeskripsikan perubahan dalam satu atau sejumlah wilayah tingkah laku, (2) mendeskripsikan perubahan dalam relasi-relasi antar sejumlah wilayah tingkah laku, dan (3) menjelaskan rangkaian perkembangan yang telah dideskripsikan (Miller, 2010). Sebuah teori perkembangan mendeskripsikan perubahan sepanjang waktu dalam satu atau sejumlah wilayah tingkah laku atau aktivitas psikologis, seperti pikiran, bahasa, tingkah laku sosial, atau persepsi. Sebagai contoh, sebuah teori perkembangan mendeskripsikan perubahan dalam aturan-aturan tata bahasa (rules of grammar) yang mendasari penggunaan bahasa dalam tahun-tahun awal kehidupan. Meskipun teori-teori perkembangan hendak menekankan perubahan sepanjang beberapa bulan atau beberapa tahun, teori yang mumpuni (memadai) haruslah secara paripurna mendeskripsikan perubahan sepanjang detik, menit, dan hari. Sebagai contoh, konsep permanensi objek, yang menyatakan bahwa objek-objek dianggap tetap ada meskipun kita menutup mata atau tidak melihatnya, dapat berkembang sepanjang banyak bulan selama masa bayi. Namun demikian, sebuah deskripsi yang utuh haruslah mencakup banyak “perkembangan-perkembangan kecil” (mini-developments) yang terjadi sepanjang perjumpaan anak dengan objek-objek dari waktu ke waktu.
Memang, observasi langsung (direct observation) yang dipandu oleh konsep-konsep teoretik dapat mendistorsi (membuat bias) alur tingkah laku yang diamati. Akibatnya, pengamat mencatat atau merekam perilaku-perilaku tertentu, serta mengabaikan perilaku-perilaku yang lain. Pengamat membagi alur tingkah laku dalam unit-unit. Mereka menyandi atau mengkode tingkah laku dalam kata-kata, yang memungkinkan adanya tingkat/derajat penyimpulan tertentu. Sebagai contoh, tingkah laku yang sama dapat dideskripsikan dengan empat cara, berikut ini: (1) “Tangan bayi itu semakin dekat dengan gelas”, (2) “Bayi itu meraih gelas”, (3) “Bayi itu ingin mengambil gelas”, (4) “Bayi itu menerapkan ‘skema memegang’ (grasping scheme) pada gelas” (Menurut Piaget, skema merupakan sebuah rangkaian tingkah laku terorganisasi yang mencerminkan pengetahuan bayi dalam wilayah tertentu). Banyak karya-karya awal dalam psikologi perkembangan yang berfokus pada deskripsi. Pada 1930-an, teori maturasi (kedewasaan) dari Arnold Gesell menyatakan norma-norma perkembangan fisik, kognitif, dan motorik melalui deskripsi. Meskipun deskripsi tidak memadai bagi sebuah teori perkembangan yang mumpuni, namun deskripsi sangatlah perlu. Tanpa pangkalan data deskripsi, kita memiliki sebuah bangunan teoretik tanpa fondasi/dasar yang kuat.
Tugas kedua dari teori perkembangan adalah mendeskripsikan perubahan sepanjang waktu mengenai hubungan antar tingkah laku atau aspek-aspek aktivitas psikologis dalam satu wilayah perkembangan, serta antar sejumlah wilayah perkembangan. Sebuah teori perkembangan berupaya menangani perubahan simultan dalam pikiran, kepribadian, dan persepsi yang kita amati. Para ahli teori perkembangan merupakan “generalis spesialis” (“specialized generalist”), artinya mereka memiliki pengetahuan tentang banyak wilayah psikologi (generalis), namun menspesialisasikan diri mereka khusus dalam pendekatan perkembangan ketika mempelajari wilayah-wilayah ini dan hubungan-hubungannya.
Dalam kasus konsep mengenai objek yang dikemukakan di atas, sebuah teori dapat mendeskripsikan atau menggambarkan bagaimana konsep objek tersebut berhubungan dengan sistem perkembangan memori anak-anak dan hubungan sosial anak-anak dengan satu objek tertentu (misalnya, ibu). Teori yang lain menggambarkan hubungan temporal (dalam waktu) antar wilayah-wilayah perkembangan ini. Sebagai contoh, sebuah teori dapat mengklaim bahwa tingkat kapasitas memori tertentu berkembang sebelum munculnya konsep objek, bahwa ibu merupakan objek permanensi seorang anak, atau bahwa perkembangan selanjutnya dalam konsep objek berkorelasi dengan perubahan dalam sistem memori dan kelekatan (attachment) anak dengan ibu mereka. Contoh lainnya berkaitan dengan hubungan antar pikiran dan bahasa. Lev Vygotsky menyatakan bahwa pikiran dan bahasa relatif saling bebas (independen) sampai kemudian pikiran dan bahasa itu menyatu guna menghasilkan pikiran-pikiran simbolik serta anak-anak dapat berpikir dengan kata-kata. Kedua contoh tersebut mendeskripsikan organisasi dalam diri anak pada titik-titik waktu yang beragam. Deskripsi dapat merujuk pada urutan atau sekuens tertentu (pertama A, kemudian B) atau saat bersamaan/konkuren (A dan B pada saat yang sama) yang terjadi selama perkembangan.
Tentu saja, setiap upaya untuk membagi tingkah laku kedalam bagian-bagian sedikit-banyak bersifat sewenang-wenang (arbitrer) karena sistem perkembangan sesungguhnya saling berkaitan (anak sebagai satu kesatuan yang menyeluruh). Di samping itu, teori perkembangan perlu mencakup konteks sosiobudaya dalam deskripsinya, karena tingkah laku terjadi dalam setting sosial-kultural tertentu. Meskipun demikian, tidak semua hal mengenai anak dan lingkungan dapat diteliti sekaligus. Para ahli teori perkembangan berupaya mempelajari bagian-bagian konteks dari keseluruhan anak serta lingkungan sosial dan fisiknya.
Tugas ketiga teori perkembangan adalah menjelaskan rangkaian perkembangan. Pada kenyataannya, peristiwa-peristiwa perkembangan yang terjadi secara berurutan maupun bersamaan memerlukan penjelasan tertentu. Apabila keterampilan A selalu muncul sesaat sebelum perkembangan keterampilan B, seorang psikolog dapat menghipotesiskan bahwa A menyebabkan B. Sebuah teori perkembangan menawarkan serangkaian prinsip-prinsip atau aturan-aturan bagi perkembangan. Prinsip-prinsip ini menentukan anteseden yang perlu (necessary) dan cukup (sufficient) bagi tiap perubahan, serta mengidentifikasikan variabel-variabel yang mengubah atau memodulasikan tingkat atau sifat dari tiap perubahan. Sebagai contoh, Freud menyatakan bahwa dorongan-dorongan biologis “bergerak” dari wilayah oral (mulut) ke anal, serta bahwa derajat kecemasan anak sedikit-banyak bergantung pada praktik pengasuhan oleh orangtua. Di samping itu, prinsip-prinsip perubahan menghipotesiskan serangkaian proses yang menghasilkan perubahan tersebut. Proses-proses ini sangat beragam, misalnya ekuilibrium dinamis dalam teori Piaget, kematangan (maturasi) fisik dalam teori Freudian dan etologi, serta kekuatan respons oleh karena penguatan dalam teori belajar.
Salah satu cara untuk menafsirkan perubahan perkembangan adalah dengan menghipotesiskan kesinambungan (kontinuitas) dalam perubahan yang tampak atau superfisial. Sebagai contoh, sebuah teori dapat mengklaim bahwa dependensi (kebergantungan) anak diekspresikan dalam cara-cara yang berbeda pada usia-usia yang berbeda, namun sifat (trait) yang mendasarinya adalah sama. Sebuah teori dapat juga menekankan kesinambungan yang mendasari perkembangan kognitif dengan menunjuk perubahan bertahap (gradual) dalam pemahaman tentang angka, serta dengan menghipotesiskan bahwa hal-hal yang dapat dipelajari seorang anak terbatas oleh jumlah konsep yang telah dimiliki anak. Dalam peristilahan yang lebih umum, sebuah teori dapat mengklaim bahwa konsep, sifat, keterampilan, atau tingkah laku A ditransformasikan menjadi B, digantikan oleh B, berkombinasi dengan B untuk membentuk C, dan seterusnya.
Ketika sebuah teori menjelaskan mengapa perkembangan berproses dengan cara tertentu, pada saat yang sama teori tersebut menjelaskan mengapa kemungkinan perkembangan yang lain tidak terjadi. Mengapa A menimbulkan B dan bukan X?
Teori-teori perkembangan dapat memberikan dua kontribusi, yakni (1) mengorganisasikan dan memberikan makna kepada fakta-fakta perkembangan, dan (2) memandu penelitian-penelitian perkembangan lebih lanjut.
Pesatnya penelitian mengenai anak-anak dalam dekade-dekade terakhir menyebabkan urgensi untuk meninjau ulang teori-teori saat ini atau mengembangkan teori-teori baru untuk memaknai informasi yang kita miliki mengenai anak-anak. Sebuah teori memberikan makna kepada fakta-fakta, menyediakan kerangka kerja bagi fakta-fakta, memberikan penekanan bahwa suatu fakta penting sedangkan fakta yang lain tidak, serta mengintegrasikan fakta-fakta yang ada. Fakta-fakta tidak berbicara dengan sendirinya. Sebagaimana Jules Henri Poincaré (1908/1952) mengatakan, “Ilmu dibangun dari fakta-fakta, sebagaimana sebuah rumah dibangun dari bebatuan; namun akumulasi fakta-fakta bukanlah sebuah sains, sama seperti tumpukan batu bukanlah sebuah rumah.” Sebagaimana bebatuan membutuhkan seorang arsitek atau rancang-bangun untuk menjadi sebuah rumah, demikian pula fakta-fakta membutuhkan seorang teoris (ahli teori) untuk memberikan fakta-fakta itu struktur serta menunjukkan relasi antar fakta menjadi keseluruhan desain. Dengan mengikhtisarkan dan mengorganisasikan informasi, kita terselamatkan dari “kelebihan beban informasi”. Lebih mudah bagi kita (namun juga lebih berbahaya) bagi kita untuk merujuk pada istilah “mekanisme pertahanan diri” (defense mechanisms) ketimbang menyatakan satu per satu tingkah laku yang dirujuk oleh mekanisme pertahanan diri.
Bebatuan yang sama dapat digunakan untuk membuat rumah-rumah yang berbeda. Sama seperti itu, serangkaian fakta dapat diberikan makna-makna yang berbeda oleh ahli-ahli teori yang berbeda, dengan cara mengorganisasikan fakta-fakta secara berbeda, menekankan perilaku-perilaku yang berbeda, serta menyimpulkan konstruk-konstruk hipotetik yang berbeda. Ketika kita meninjau perkembangan melalui kacamata sebuah teori, dan kemudian dengan teori yang lain, kita mengalami pergeseran Gestalt. Kita dapat melihat anak sebagai sekumpulan respons-respons terkondisikan, atau sebagai sistem yang sangat terorganisasikan. Seringkali, kita menjadi ragu apakah kita melihat “anak yang sama” dalam perspektif yang berbeda-beda ini. Pergeseran teoritik ini sama seperti pergeseran persepsi terhadap sebuah gambar ambigu. Misalnya kita dapat melihat pergeseran persepsi dari Gambar 1, dari seorang perempuan muda ke wanita tua. Informasinya tidak berubah, namun pengorganisasian informasi kita yang berubah.
Gambar 1. Pergeseran persepsi
Di samping mengorganisasikan dan memberikan makna kepada fakta-fakta, sebuah teori juga merupakan sebuah perangkat heuristik, sebuah alat untuk memandu observasi dan menghasilkan informasi baru. Sebuah pernyataan abstrak dari teori memprediksikan bahwa sebuah pernyataan empiris tertentu seyogianya benar. Pernyataan empiris ini selanjutnya harus diuji. Teori-teori seringkali merangsang observasi-observasi baru. Sebagai contoh, etologi, yakni sebuah pendekatan teoretik yang dipinjam dari biologi, merangsang para psikolog perkembangan untuk mencari tingkah laku sosial bawaan (innate) manusia yang berkontribusi kepada adaptasi spesies terhadap lingkungan. Sebuah teori juga dapat menyebabkan kita memeriksa ulang tingkah laku yang sudah biasa kita lihat. Sebagai contoh, Jean Piaget tentu saja bukanlah orang pertama yang menyaksikan bayi bermain, namun ia menunjukkan cara baru untuk melihat tingkah laku bermain ini. Menurut Piaget, tindakan bermain itu sendiri menciptakan pikiran.
Peran ganda teori sebagai stimulator dan interpreter data dilukiskan dengan baik oleh penelitian agresi longitudinal dalam 22 tahun (Eron, 1987). Teori belajar tradisional, yang menekankan pada reduksi (pengurangan) dorongan, memandu pemilihan variabel-variabel terkait pada 1960, termasuk pengurangan dorongan agresif. Pada tahun-tahun berikutnya, ketika teori-teori belajar baru muncul, para peneliti menafsirkan data-data tingkah laku agresif dengan menggunakan teori belajar operan dari Skinner (awal 1970-an), kemudian teori belajar sosial (pertengahan 1970-an), dan akhirnya teori kognitif (pertengahan 1980-an). Dengan demikian dalam empat fase perkembangan teori belajar ini, para peneliti memaparkan bahwa sebab-sebab agresi adalah frustrasi (reduksi dorongan agresif), penguatan agresi (Skinner), model agresif (belajar sosial), dan akhirnya sikap anak dan penafsiran anak terhadap penghasut agresi (kognisi).
Meskipun teori-teori perkembangan berbeda isinya dan metode penelitiannya, seluruhnya mengambil posisi yang sama pada sejumlah persoalan inti dari perkembangan. Ada empat isu kritis dalam teori perkembangan (Miller, 2010), yakni (1) Apakah sifat dasar manusia?, (2) Apakah perkembangan bersifat kualitatif ataukah kuantitatif?, (3) Bagaimanakah bawaan (natur) dan pengasuhan (nurtur) berkontribusi terhadap perkembangan?, serta (4) Apakah yang berkembang?
Apakah Sifat Dasar Manusia?
Pandangan para teoris mengenai perkembangan terkait erat dengan pandangan mereka tentang sifat dasar manusia. Pandangan mereka tentang sifat dasar manusia terkait erat dengan pandangan mereka tentang dunia. Para ahli filsafat ilmu mengidentifikasikan sejumlah pandangan dunia dalam sejarah dunia Barat (Pepper, 1942). Tiga diantaranya dapat ditemukan dalam teori perkembangan (Overton, 1984; Reese, 1991), yakni pandangan mekanistik, pandangan organismik, dan pandangan kontekstual.
Dalam pandangan mekanistik, dunia diibaratkan seperti sebuah mesin yang tersusun atas bagian-bagian yang beroperasi dalam ruang dan waktu. Pandangan mekanistik berakar dari fisika Newton. Di samping itu, pandangan ini juga terkait dengan filsafat empiris Locke (1632–1704) dan Hume (1711–1776), yang menggambarkan manusia sebagai makhluk yang pasif, seperti robot pasif, yang dimotivasikan oleh lingkungan atau sumber-sumber badaniah. Konsekuensinya, perkembangan disebabkan oleh anteseden (peristiwa pendahulu) berupa kekuatan-kekuatan dan kejadian-kejadian yang bertindak terhadap mind yang memiliki karakteristik pasif dan seperti mesin yang tersusun atas bagian-bagian yang saling tersambung (interlocked).
Sebaliknya, pandangan organismik mengambil model sistem yang hidup, seperti tumbuhan atau binatang, ketimbang mesin. Citra sistem yang hidup ini diturunkan dari filsafat Leibniz (1646–1716) yang meyakini bahwa substansi berada dalam transisi yang berkelanjutan dari satu keadaan ke keadaan lain, sementara substansi tersebut menghasilkan kondisi-kondisi keluar melampaui dirinya sendiri dan suksesi yang tanpa henti. Leibniz menggambarkan dunia sebagai tersusun atas “keseluruhan” (wholes) yang tergorganisasikan yang secara inheren dan spontan aktif serta mengatur dirinya sendiri (self-regulating). Organisasi dan aktivitas yang terarah pada diri (self-directed) ini perlu atau merupakan sifat alami organisme. Pandangan ini menekankan keseluruhan ketimbang bagian-bagian, relasi atau hubungan antar bagian, serta bagaimana keseluruhan memberikan makna pada bagian-bagian. Sebagai contoh, dalam dunia psikologi, seseorang dapat memahami tingkah laku seorang anak hanya dengan memandangnya dalam sistem dinamis yang lebih besar yang mencakup konteks serta anak tersebut.
Pandangan organismik tidak melihat sebab-sebab anteseden (sebagaimana pandangan mekanistik), melainkan memandang properti-properti (atribut-atribut) dan tujuan-tujuan yang inheren (melekat) pada manusia. Manusia secara alamiah merupakan keseluruhan yang aktif dan terorganisasikan, serta secara konstan berubah. Perubahan tersebut tidak acak melainkan dalam arah tertentu. Dengan demikian, perkembangan itu inheren pada manusia. Keterampilan-keterampilan baru muncul seiring manusia matang dan terlibat dengan dunia. Tingkah laku dan pikiran yang bersifat self-initiated (dimulai dari diri sendiri) menimbulkan perubahan dalam struktur dan isi tingkah laku dan pikiran. White (1976, h. 100) mendeskripsikan organisme aktif sebagai berikut:
Let us define an active organism as one that gives form to its experience, a passive organism as one that receives form from its experience. Active organisms have purposes and they attend, reason, and selectively perceive. All this enables the active organism to select, modify, or reject environmental influences pressing upon it.
Pandangan organismik bahwa anak-anak “mengkonstruksi” (membangun) pengetahuan mereka secara aktif telah merumuskan dan menguji hipotesis-hipotesis (dugaan-dugaan) mengenai kategori-kategori objek dan sebab-sebab peristiwa. Sebaliknya, pandangan mekanistik memandang anak-anak secara pasif menyerap atau memperoleh (seperti spons) salinan realitas. Teori-teori organismik, tidak seperti teori mekanistik, seringkali mengasumsikan perubahan kualitatif ketimbang perubahan gradual (bertahap). Pandangan organismik seringkali menghasilkan teori-teori tahapan perkembangan (stage theories).
Dalam pandangan kontekstualisme, metafora utamanya bukanlah mesin atau pun sistem hidup, melainkan aksi historis atau sebuah permadani hiasan dinding. Tingkah laku memiliki makna (dan dapat “dijelaskan”) hanya dalam konteks sosial-historisnya. Para filsuf pragmatis seperti William James dan George Herbert Mead memberikan inspirasi filosofisnya. Permadani membentang dari masa lalu ke masa depan; serta dari zona proksimal (yang dekat dengan pusat) ke zona distal (yang jauh dari pusat) — misalnya, dalam perkembangan, jantung (pusat) berkembang mendahului tangan (jauh dari pusat). Sulaman permadaninya memiliki dimensi temporal (horizontal) dan spasial (vertikal) sehingga membentuk pola-pola hidup manusia. Reese (1991) menjelaskan pandangan kontekstual ini sebagai berikut: “Writing is not an act; but writing something with something on something in some situation at some time is an act.” Reeese juga memberikan metafora kontekstual lainnya, misalnya, “Makna sebuah tingkah laku bervariasi dari konteks ke konteks”, “Sebuah masalah matematika dapat melibatkan perasaan kompetensi di lingkungan sekolah, namun melibatkan masalah bertahan hidup (survival) bagi anak jalanan yang bekerja sebagai penjaja makanan di jalan.” Lebih lanjut, tingkah laku memiliki sebuah tujuan yang menjangkau masa lalu (“sebab/kausa” proksimal) dan masa depan (sejumlah tujuan yang jauh/distal). Sebagaimana pandangan organismik, pandangan kontekstualis juga holistik (menyeluruh). Bukan hanya sebuah unit lebih besar daripada penjumlahan bagian-bagiannya, tetapi juga sebuah unit-dalam-konteks lebih besar daripada penjumlahan sebuah unit dan konteksnya. Melanjutkan analogi Reese (1991):
“Writing a sentence is an act but is also a part of the larger act that includes writing about the act of writing the sentence, which in turn is part of the larger act that includes writing an entire paper, which in turn is part of the larger act that is the writer’s lifetime, which in turn is part of the larger act that includes others’ life- times, etc.”
Dengan demikian, kaum kontekstualis meyakini bahwa pola-pola perkembangan anak-anak dapat berbeda antar kultur, subkultur, atau waktu historis. Hal ini berbeda dengan pandangan mekanistik dan organismik yang berfokus pada hukum-hukum tingkah laku dan perkembangan universal. Pendekatan mekanistik utama, yakni teori belajar (learning theory) menyatakan hukum-hukum belajar (seperti pengaruh penguatan/reinforcement pada tingkah laku) berlaku lintas waktu dan tempat. Teori utama organismik, yakni teori Piaget, menyatakan adanya tahap-tahap dan mekanisme universal perkembangan. Pandangan-pandangan ini memberikan pertanyaan yang berbeda mengenai perkembangan serta menggunakan metode-metode yang berbeda untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Di samping ketiga pandangan metafisik tentang manusia di atas (mekanistik, organismik, kontekstual), ideologi ekonomi dan politik tertentu memiliki pengaruh. Sebagai contoh, Riegel (1972) mengaitkan pandangan tentang anak-anak dan perkembangannya dengan sistem politik-ekonomi merkantilistik pada abad ke-17 sampai dengan ke-19. Sistem kapitalistik, seperti Anglo-American, memandang manusia sebagai makhluk yang kompetitif dan bertarung untuk kesuksesan. Thomas Hobbes (1588–1679) menggambarkan manusia sebagai makhluk yang melayani kepentingan diri (selfish), kompetitif, serta brutal. Charles Darwin menekankan survival of the fittest. Dalam wilayah ekonomi, penekanannya adalah perdagangan bebas, kompetisi, dan kewirausahaan. Standar sukses (sebagai hasil dari pertarungan dan kompetisi) adalah laki-laki dewasa kelas menengah yang terlibat dalam bisnis atau manufaktur. Dengan standar ini, maka anak-anak, orang yang lebih tua, orang-orang dengan keterbelakangan mental, serta perempuan, dianggap lebih rendah derajatnya (inferior). Masa kanak-kanak diasumsikan sebagai kondisi kedewasaan yang belum sempurna, dan dipandang sebagai “kecacatan/disabilitas”. Deskripsi normatif dari tiap usia dikembangkan untuk mendeteksi perkembangan “abnormal” serta membagankan kemajuan anak-anak dengan patokan kesuksesan orang dewasa. Masyarakat memandang anak-anak sebagai mahluk pasif yang mesti “dibentuk/dicetak/disosialisasikan” menuju peran-peran orang dewasa yang tepat.
Sebaliknya, ideologi merkantilistik hidup di Eropa daratan pada abad ke-17 sampai abad ke-19. Ekonomi didasarkan atas kepemilikan tanah dan perdagangan yang dikendalikan oleh negara ketimbang manufaktur dan perdagangan bebas. Kelas-kelas sosial yang berbeda menikmati tugas-tugas dan hak-hak istimewa (privilese) spesifik. Kompetisi antar kelas sedikit terjadi. Masyarakat lebih menekankan kooperasi (kerja sama) ketimbang kompetisi (persaingan). Perbedaan antar-kelompok ditoleransi. Filsuf utamanya, Jean Jacques Rousseau (1712–1778), memandang anak-anak sebagai “noble savage”, yakni makhluk yang secara dasariah baik namun dirusak oleh dunia orang dewasa. Anak-anak bukanlah untuk dinilai dengan standar orang dewasa. Anak-anak dan orang dewasa dipandang berbeda secara kualitatif. Dari sudut pandangan ini, tujuan pendidikan adalah perwujudan diri (self-realization). Konsekuensinya, pendidikan yang berorientasi pada anak dikembangkan oleh Maria Montessori, Eduard Spranger, dan lain-lain.
Dari perubahan sejarah yang dikemukakan di atas, kita mudah melihat bahwa setiap teori psikologi perkembangan senantiasa memiliki pandangan tentang manusia yang merefleksikan keyakinan filosofis, ekonomis, dan politis. Pandangan ini seringkali implisit. Para teoris itu sendiri seringkali bahkan tidak menyadari asumsi-asumsi tersebut. Pandangan tersebut mempengaruhi tidak hanya konstruksi teori, tetapi juga keputusan-keputusan mengenai pemaknaan masalah-masalah penelitian, metode penelitian, dan penafsiran data.
Apakah Perkembangan itu Kualitatif atau Kuantitatif?
Hal yang berkaitan dengan pandangan manusia adalah persoalan mengenai basis perubahan perkembangan. Apakah perubahan itu kuantitatif atau kualitatif? Pandangan mekanistik dan kapitalistik menekankan perubahan kuantitatif. Pandangan organismik dan merkantilistik menekankan perubahan kualitatif. Pandangan kontekstual dapat menerima perubahan kuantitatif maupun kualitatif.
Perubahan kualitatif merupakan perubahan dalam jenis atau tipe. Sebagai contoh di alam: telur à ulat àkepompong (Spiker, 1966). Muncul fenomena atau karakteristik baru yang tidak dapat direduksi kepada unsur-unsur atau elemen sebelumnya. Perubahan kualitatif biasanya melibatkan perubahan dalam struktur atau organisasi. Sebaliknya, perubahan kuantitatif merupakan perubahan dalam jumlah, frekuensi (kekerapan), atau tingkat (derajat). Dalam beberapa kasus, tingkah laku menjadi lebih efisien atau konsisten. Perubahan kuantitatif bersifat gradual dan terjadi dalam peningkatan-peningkatan kecil. Kepingan-kepingan pengetahuan, kebiasaan, atau keterampilan diperoleh sepanjang perkembangan.
Contoh yang mengkontraskan perubahan kuantitatif dan kualitatif dapat ditemukan dalam perkembangan memori (ingatan). Apabila anak berusia 4 tahun dapat mengingat (recall) tiga objek, dan seorang anak 7 tahun dapat mengingat 7 objek dari serangkaian objek yang dilihat beberapa menit sebelumnya, kita dapat menyimpulkan perbedaan kuantitatif dalam fungsi mental mereka berdua. Anak yang lebih tua dapat mengingat lebih banyak. Namun demikian, apabila anak 7 tahun menggunakan strategi-strategi seperti menyortir objek-objek kedalam kategori-kategori makanan, perabot, dan mainan, dan mengulang-ulangi (rehearsing)-nya, sementara anak 4 tahun tidak melakukannya, kita dapat menyimpulkan perbedaan kuantitatif dalam fungsi mental mereka. Mereka berdua memproses informasi dengan cara-cara yang berbeda.
Pada tingkat yang lebih umum, isu perubahan kualitatif lawan kuantitatif menjadi isu perkembangan tahap lawan non-tahap. Ketika terdapat keserupaan dalam jumlah kemampuan atau tingkah laku baru sepanjang sebuah periode waktu, seorang teoris seringkali menyimpulkan bahwa anak tersebut berada dalam “tahap” tertentu. Sebagai contoh, Piaget mengasumsikan perubahan kualitatif dalam tahap-tahap dalam struktur pikiran dari lahir sampai dengan remaja. Para teoris tahapan tidak setuju mengenai kemungkinan anak berada pada lebih dari satu tahap pada waktu yang bersamaan dalam ranah (domain) yang berbeda. Mereka juga tidak setuju kemungkinan anak mengalami regresi (kemunduran) anak ke tahap sebelumnya. Mereka berargumen bahwa hal yang menyebabkan perbedaan antar anak adalah seberapa cepat mereka melalui tahap-tahap tersebut. Perubahan kualitatif penahapan sesungguhnya telah diidentifikasikan oleh para ilmuwan di luar para psikolog perkembangan. Sejarawan mengidentifikasikan periode-periode dalam sejarah, seperti misalnya “abad industri” atau “abad penalaran”. Shakespeare menyatakan adanya usia bayi “mewling and puking” (menangis) ke usia tua “sans teeth, sans eyes, sans taste, sans everything” (tanpa gigi, tanpa mata, tanpa pengecapan, tanpa apapun).
Sulit untuk menyatakan bilamana perubahan perkembangan itu kuantitatif atau kualitatif. Masalahnya adalah bahwa perubahan dapat nampak tiba-tiba dan kualitatif apabila menggunakan interval waktu panjang, sedangkan nampak kuantitatif apabila menggunakan interval waktu pendek untuk tingkah laku yang disampel. Sebagai contoh, ketika keterampilan motorik bayi diobservasi sekali sebulan, bayi biasanya nampak maju secara tiba-tiba, dari belum memiliki sebuah keterampilan menjadi memiliki sebuah keterampilan (misalnya, dari berdiri ke melangkah). Namun observasi sehari-hari memperlihatkan perubahan kuantitatif yang lebih gradual; dalam mana keterampilan baru secara bertahap menjadi kuat dan menjadi lebih stabil (Adolph, Robinson, Young, & Gill-Alvarez, 2008).
Sejumlah tingkah laku memperlihatkan perubahan kualitatif maupun kuantitatif. Sebagai contoh, seseorang mungkin menemukan bahwa peningkatan dalam kapasitas mental (perubahan kuantitatif) dapat memfasilitasi atau memudahkan perkembangan strategi menyortir (perubahan kuantitatif). Peningkatan lebih lanjut dalam kecepatan dan akurasi (ketepatan) keterampilan menyortir ini akan mengembangkan perubahan kuantitatif.
Dewasa ini, perdebatan mengenai perkembangan kuantitatif versus kualitatif berfokus pada dua persoalan. Pertama, apakah bentuk persis dari kurva perkembangan dari sejumlah keterampilan (Adolph, dkk., 2008)? Sejumlah kurva bersifat kuantitatif dan linear, misalnya ketika seorang anak secara gradual memperoleh lebih banyak kata seiring dengan meningkatnya usia. Sejumlah kurva bersifat kualitatif dan seperti anak-anak tangga, seperti seorang anak melalui tahap-tahap perkembangan. Sejumlah kurva juga berbentuk huruf U (U-shaped), misalnya kurva perkembangan anak Amerika yang memperoleh aturan baru, misalnya menambahkan akhiran “-ed” untuk membentuk kata kerja lampau (past tense) malah menimbulkan kekeliruan, seperti “goed”, namun akhirnya menghasilkan aturan perkecualian (“went”). Dalam kasus ini, ada regresi temporer (kemunduran sementara) dalam mana kinerja anak dalam pembelajaran bahasa nampaknya lebih buruk, kemudian menjadi lebih baik. Ringkasnya, menggambarkan perubahan dalam perkembangan kuantitatif dan/atau kualitatif menjadi lebih kompleks ketika tingkat perubahan dan arah perubahan (positif atau negatif) juga turut dipertimbangkan.
Kedua, persoalan kuantitatif-kualitatif muncul kembali akhir-akhir ini dalam sebuah diskusi mengenai bagaimana memaknai bayi-bayi yang nampaknya memiliki kompetensi seperti orang dewasa (Liben, 2008). Misalnya, apabila bayi menampakkan pemahaman tentang kategori-kategori seperti “kucing”, “perempuan”, dan angka, yang tidak terlalu berbeda dengan kategori yang dimiliki orang dewasa. Apabila bayi-bayi sungguh-sungguh memiliki kemampuan ini, maka perkembangan setelah masa bayi mestilah merupakan perubahan kuantitatif karena hanya merupakan pemerkuatan konsep-konsep. Perdebatan mengenai hal ini masih berlanjut.
Bagaimana Natur dan Nurtur Berkontribusi Pada Perkembangan?
Terhadap persoalan apakah perkembangan bersifat kualitatif ataukah kuantitatif, para ahli tetap harus merujuk pada sebab-sebab atau kausa perkembangan. Persoalan dasarnya adalah bagaimana pengetahuan dan tingkah laku muncul dari pembawaan genetik dan kematangan fisik serta dari pengalaman di dunia. Isu natur-nurtur memiliki nama lain, yakni “hereditas lawan lingkungan”, “nativisme lawan empirisme”, “biologi lawan kultur”, “kematangan lawan belajar”, “kemampuan bawaan lawan kemampuan yang diperoleh”.
Kontroversi ini merebak tidak hanya dalam psikologi tetapi juga dalam filsafat. Kontroversi ini mulai pada zaman Yunani Kuno ketika para filsuf bertanya apakah gagasan (ide) itu bawaan (innate) ataukah diperoleh melalui pengalaman inderawi. Descartes (1596–1650) meyakini bahwa sejumlah gagasan tertentu bersifat bawaan. Sementara itu, filsuf empiris Locke (1632–1704) berpendapat bahwa mind bayi yang baru lahir merupakan suatu “kertas kosong” (tabula rasa) di mana pengalaman-pengalaman dituliskan. Contoh peran lingkungan adalah menyediakan model untuk ditiru (diimitasikan), memberikan informasi untuk diasimilasikan, memperkuat jejaring saraf, atau memberikan dukungan sosial suportif.
Dalam psikologi, pertanyaannya telah berubah. Pertanyaan awalnya adalah, “Manakah (hereditas atau lingkungan) yang menyebabkan tingkah laku?”, atau “Seberapa banyakkah masing-masing dari hereditas atau lingkungan diperlukan untuk menghasilkan tingkah laku?” Namun, pertanyaan ini telah digantikan dengan, “Berapa banyak variasi dalam tingkah laku lintas orang yang disebabkan oleh perbedaan herediter, dan berapa banyak yang disebabkan oleh perbedaan lingkungan?”, serta “Bagaimana (dengan cara apa) natur dan nurtur berinteraksi untuk menghasilkan perkembangan?”. Akhir-akhir ini, pertanyaannya telah berubah lagi menjadi, “Gen-gen manakah yang menjadi predisposisi tingkah laku jenis apakah?” (“Which genes predispose to which kinds of behavior?”), serta “Apakah pencetus lingkungannya agar gen-gen ini berekspresi, dan bagaimanakah pencetus-pencetus ini memiliki efek terhadap gen-gen?”. Ini merupakan ilustrasi yang menarik mengenai bagaimana kemajuan dalam sebuah bidang seringkali bermakna pembelajaran bagaimana kita mampu menanyakan pertanyaan yang tepat.
Dewasa ini jelas bahwa ada interaksi kompleks antara faktor bawaan dan lingkungan yang bertanggungjawab terhadap perkembangan sebuah sifat atau tingkah laku dalam seorang individu dan variasi sifat atau tingkah laku antar-individu. Baik natur maupun nurtur terlibat dalam perkembangan tingkah laku apapun. Gen-gen (khususnya rangkaian DNA tertentu) tidak pernah secara langsung diekspresikan dalam tingkah laku. Terdapat rangkaian panjang peristiwa yang melibatkan gen-gen, proses-proses fisiologis, dan lingkungan pra-kelahiran (prenatal) dan pasca-kelahiran (postnatal). Jalinan natur dan nurtur dapat menjadi kompleks dan samar, misalnya ketika gen-gen menjadi predisposisi anak untuk mencari jenis lingkungan tertentu. Sebagai contoh, anak yang secara bawaan aktif dan gembira, serta anak yang pasif, pendiam, dan reflektif, akan menyeleksi atau memilih jenis lingkungan permainan dan teman bermain yang berbeda. Dengan demikian, mereka terpapar oleh jenis pengalaman yang berbeda. Contoh yang lain, gen-gen dan lingkungan dapat berkorelasi, misalnya ketika orangtua yang pemalu meneruskan sebuah tendensi (kecenderungan) melalui gen pemalu serta menyediakan lingkungan yang mendorong atau memperkuat sifat malu.
Persoalan nature-nurtur merupakan wilayah penelitian neurosains kognitif yang paling aktif dan bergairah, yakni interaksi gen x lingkungan. Interaksi gen x lingkungan merujuk pada (a) efek-efek lingkungan yang memoderasi pengaruh genetik, atau (b) variasi genetik yang mempengaruhi kepekaan orang terhadap pengaruh lingkungan khusus, termasuk intervensi. Dengan perkataan lain, pengalaman mempengaruhi ekspresi gen, dan gen mempengaruhi bagaimana seorang anak mengalami lingkungan tertentu dan efek pengalaman khusus. Pengaruh herediter yang terberi (given) dapat memiliki efek-efek keperilakuan yang berbeda dalam lingkungan yang berbeda. Sebaliknya, lingkungan yang terberi dapat memiliki efek yang berbeda pada orang-orang dengan susunan genetik yang berbeda. Penelitian tersebut telah merebak oleh karena karya pemetaan genom manusia, perkembangan genetika molekular, dan peningkatan besar aksesibilitas dan biaya rendah pada analisis genetik (misalnya, melalui analisis air liur atau saliva). Dengan demikian, ekspresi predisposisi genetik dalam konteks perkembangan yang berbeda dapat diperiksa.
Salah satu contoh riset interaksi gen x lingkungan menunjukkan bahwa lingkungan memoderasi pengaruh genetik adalah penelitian “risiko genetik” (genetic risk) (Brody, Beach, Philibert, Chen, & Murry, 2009). Penelitian ini menunjukkan bahwa sejumlah anak secara genetik berada dalam risiko masalah keperilakuan tertentu. Dalam sebuah sampel yang terdiri atas anak-anak Afrika-Amerika berusia 11 tahun, beberapa anak diketahui memiliki struktur genetik yang menghasilkan tingkat serotonin yang abnormal yang mentransmisikan impuls-impuls saraf ke otak, sedangkan anak-anak yang lain tidak. Struktur genetik tersebut diketahui berhubungan dengan pengambilan risiko tinggi. Mereka dengan genetik tersebut menunjukkan dua kali lipat lebih banyak tingkah laku berisiko tinggi (misalnya, penggunaan alkohol, tingkah laku seksual) daripada mereka yang tidak memiliki genetik tersebut. Hal ini menunjukkan pentingnya genetik. Namun demikian, ada keluarga-keluarga yang anak-anaknya memiliki genetik risiko tersebut ternyata berpartisipasi dalam intervensi yang ditujukan untuk memperkuat keterampilan pengasuhan (misalnya, kewaspadaan, dukungan emosional) serta meningkatkan komunikasi orangtua-anak. Dengan demikian, anak-anak yang keluarganya seperti itu telah memperoleh proteksi (perlindungan) dari predisposisi genetik tersebut. Anak-anak ini menunjukkan tingkah laku berisiko tinggi yang lebih sedikit setelah periode dua tahun intervensi, dan kenyataannya pada usia 14 tahun anak-anak itu nampak serupa dengan anak-anak lain dari kelompok yang tidak berisiko. Dengan demikian, intervensi ini memoderasi ekspresi gen. Kombinasi faktor-faktor risiko genetik dan lingkungan lah yang meramalkan rangkaian perkembangan. Struktur genetik yang sama diekspresikan dalam tingkah laku yang berbeda dalam jenis-jenis lingkungan keluarga yang berbeda (dengan intervensi lawan tanpa intervensi).
Penelitian interaksi gen x lingkungan yang menunjukkan bahwa variasi genetik mempengaruhi sensitivitas seseorang terhadap peristiwa lingkungan khusus adalah studi faktor-faktor genetik dan kelekatan orang dewasa (adult attachment) (Caspers, dkk., 2009). Efek kehilangan dini seorang orangtua bergantung pada variasi antar-individu dalam gen yang meregulasi produksi neurotransmitter serotonin. Anak-anak yang memiliki salah satu versi dari gen tersebut cenderung memiliki persoalan kelekatan yang tak terpecahkan pada masa dewasanya. Sedangkan, anak-anak yang memiliki versi gen yang lain memiliki sejumlah proteksi terhadap peristiwa lingkungan yang berpotensi menghancurkan ini, barangkali karena serotonin memodulasikan respons-respons emosional negatif terhadap stresor lingkungan. Dengan demikian, pengalaman yang sama mempengaruhi orang yang berbeda secara berbeda pula oleh karena struktur genetik mereka.
Salah satu cara yang berguna untuk memikirkan interaksi gen x lingkungan ini, khususnya ekspresi gen, adalah menganalogikan DNA seseorang dengan perpustakaan besar (Champagne, 2009, h. 27):
Asking what DNA does is like asking what a book in this library does. Books sit on a shelf waiting to be read. Once read, the information in those books can have limitless consequences and can perhaps even lead to the reading of more books, but that refers to the book’s potential. Likewise, DNA sits in our cells and waits to be read. The reading or so called “expression” of DNA can, like the books in our library, have limitless consequences. However, without the active process that triggers “expression,” this potential may never be realized.
Sama seperti buku-buku tertentu, ada yang diblok dan ada yang mudah dijangkau, maka lingkungan maupun wilayah yang meregulasi DNA dapat memblok DNA atau membuatnya aksesibel, sehingga mempengaruhi seberapa mudah DNA diekspresikan. Lingkungan seringkali menyediakan, atau tidak menyediakan, pencetus (trigger). Pola asuh yang tidak efektif, stres, nutrisi yang buruk, lingkungan sosial (seperti tekanan teman sebaya untuk mencoba narkotika), merupakan pencetus. Dengan cara ini, pengalaman mempengaruhi ekspresi gen-gen. Psikologi perkembangan menganggap penting hal ini karena apakah sebuah pengalaman khusus menjadi pencetus seringkali bergantung pada usia anak dan sejarah perkembangan anak (sebagai contoh, gizi buruk, tekanan hidup).
Perkembangan pesat berikutnya dalam penelitian natur-nurtur dirangsang oleh teknologi pencitraan otak baru yang menghasilkan peta kegiatan otak. Citra ini dihasilkan oleh perubahan dalam aliran darah (dalam fMRI), kegiatan metabolik dalam serebrum, atau aktivitas elektris. Sebagai contoh, para peneliti menempatkan elektroda sensitif pada kulit kepala, yang mengukur aktivitas kelistrikan yang dihasilkan oleh aktivasi kelompok-kelompok sel saraf. Dengan cara ini, peneliti mengidentifikasikan pola aktivitas ketika, misalnya, sebuah gambar atau suara disajikan. Dengan demikian, peneliti dapat membandingkan pola-pola spasial aktivitas otak pada anak-anak dari usia-usia atau kemampuan yang berbeda yang mengerjakan tugas yang sama, atau anak-anak dari usia yang sama yang mengerjakan jenis-jenis tugas yang berbeda. Pembandingan semacam itu memberikan petunjuk mengenai perubahan perkembangan dalam pemrosesan kognitif dan tentang hubungan antar proses-proses kognitif yang berbeda. Pencitraan saraf (neuroimaging) awalnya berfokus pada wilayah khusus dari otak yang berasosiasi dengan aktivitas kognitif, emosi, atau tingkah laku tertentu. Akhir-akhir ini, perhatian penelitian telah beralih kepada “jejaring saraf” (neural networks) yang melibatkan sejumlah wilayah otak.
Perkembangan otak biasanya dianggap sebagai sebuah bentangan statis dari cetak biru (blueprint) genetik. Namun demikian, neurosains modern memandang perkembangan otak sebagai sebuah interaksi kompleks dari natur dan nurtur. Tingkah laku mempengaruhi perkembangan otak, sama seperti perkembangan otak mempengaruhi tingkah laku.
Hubungan kompleks antara biologi dan pengalaman dapat dilihat dalam produksi berlebihan sinapsis pada awal perkembangan yang didorong secara biologis, dan berhentinya produksi sinapsis karena tidak ada stimulasi oleh pengalaman. Kebanyakan anak, meskipun secara fisik normal dan tumbuh dalam lingkungan umum, memiliki lebih kurang pengalaman yang sama pada saat yang sama. Namun demikian, bagaimana dengan situasi-situasi yang tidak umum, seperti anak-anak yang tuli atau buta, sehingga tidak menerima stimulasi auditorik atau visual? Pada anak tuli, wilayah otak tertentu yang secara normal diperuntukkan bagi pemrosesan auditorik (jika menerima situmulasi auditorik dan visual) secara bertahap menjadi diperuntukkan bagi pemrosesan visual (Neville, 1995). Sebaliknya, pada anak buta, wilayah otak yang secara normal diperuntukkan bagi pemrosesan visual (ketika menerima stimulasi audiotorik dan visual) menjadi diperuntukkan bagi pemrosesan auditorik. Jadi, bilamana sebuah wilayah otak tidak menerima masukan (input) yang secara normal diharapkan, wilayah tersebut dapat digunakan untuk tujuan lainnya. Sifat pengalaman (dan sebagai konsekuensinya sifat aktivitas otak) menentukan sinapsis-sinapsis mana yang hilang dan mana yang bertahan. Otak secara cepat memandu anak sepanjang jalur perkembangan tertentu, namun otak juga cukup fleksibel (luwes) untuk berhadapan dengan kondisi yang tidak menguntungkan. Jadi, banyak dilakukan penelitian neurosains kognitif mengenai plastisitas otak (brain plasticity) sebanyak penelitian mengenai determinisme otak (brain determinism) terhadap tingkah laku.
Apakah Yang Berkembang?
Setiap ahli teori membuat klaim mengenai “esensi” perkembangan, atau setidaknya unit analisis yang tepat untuk perkembangan; misalnya struktur kognitif, struktur psikis (id, ego, superego), strategi pemrosesan informasi, jejaring saraf, pola-pola tindakan, eksplorasi perseptual, modul-modul mental, dan perangkat kultural. Hal-hal yang dipandang ahli teori sebagai esensi perkembangan bergantung pada asumsi teoretik dan metode penelitian mereka, yang memiliki lima dimensi, yakni (1) unit analisis (dari sel ke masyarakat), (2) fokus, apakah struktur (organisasi tingkah laku, pikiran, dan kepribadian) ataukah proses (dinamika, aspek-aspek fungsi sistem), (3) isi yang ditekankan (misalnya, kepribadian atau kognisi), (4) penekanan pada tingkah laku terbuka (overt behavior) atau pikiran tertutup (covert thought) dan kepribadian, dan (5) metodologi penelitian perkembangan.
Teori Tahap Kognitif Piaget dan Neo-Piagetian
Teori Piaget menyatakan adanya tahapan tertentu (invarian) yang dilewati anak dalam memperoleh pengetahuan tentang dunia (epistemologi genetik). Dalam 2 tahun pertama kehidupan, anak membangun skema-skema sensorimotor yang didasarkan atas aksi/tindakan fisik terhadap dunia. Skema-skema tersebut semakin menjadi intensional (memuat intensi / maksud) serta lebih mengalami interkoordinasi sepanjang waktu tersebut. Selama periode pra-operasional, kita-kira usia 2 sampai 7 tahun, anak-anak menggunakan kemampuan baru mereka, yakni kemampuan simbolik. Di samping keterbatasan anak pada egosentrisme, pikiran yang kaku, serta pengambilan peran (role-taking) dan komunikasi yang terbatas, anak-anak mengkombinasikan simbol-simbol menjadi penalaran semi-logis. Sepanjang periode operasional konkret, kira-kira usia 7 sampai 11 tahun, anak-anak memperoleh struktur-struktur logiko-matematis. Pikiran bersifat operasional, dan sebagai konsekuensinya lebih fleksibel dan abstrak. Aksi/tindakan masih menjadi sumber utama pengetahuan, namun aksi-aksi tersebut sekarang merupakan aksi mental. Akhirnya, sepanjang periode operasional formal, usia 11 sampai 15 tahun, operasi-operasi mental tidak lagi terbatas pada objek-objek konkret. Operasi-operasi mental dapat bekerja pada proposisi verbal dan kondisi-kondisi hipotetik (jika … maka …).
Perubahan pada tiap tahap melibatkan perubahan struktur pikiran (Piaget, 1971). Pikiran menjadi lebih terorganisasikan, dibangun di atas struktur tahap sebelumnya. Bukti-bukti perubahan struktural ini berasal dari pengamatan terhadap bayi-bayi dan dari wawancara atau tugas-tugas pemecahan masalah dengan anak-anak yang lebih tua. Pergerakan tahap demi tahap disebabkan oleh empat faktor, yakni kematangan fisik, pengalaman dengan objek-objek fisik, pengalaman sosial, dan ekuilibrasi. Pengalaman membawa kemajuan kognitif melalui asimilasi dan akomodasi. Hal-hal fungsional ini membantu anak-anak beradaptasi dengan lingkungan dengan memperkuat dan memperluas pemahaman mereka tentang dunia.
Piaget memandang anak-anak sebagai organisme aktif dan mengatur diri sendiri (self-regulating) yang berubah melalui sarana interaksi antara faktor bawaan dengan lingkungan. Piaget menekankan perubahan kualitatif, namun ia mengidentifikasikan perubahan kuantitatif tertentu pula. Esensi perkembangan kognitif adalah perubahan struktural. Piaget menyatakan sebuah model ekuilibrasi dan model logiko-matematis guna mendeskripsikan perubahan-perubahan ini. Teori Piaget telah berkontribusi terhadap konsep-konsep pendidikan, seperti kesiapan belajar (readiness to learn) dan pelajar aktif (active learner).
Kekuatan utama teori Piaget adalah rekognisi (pengakuan)-nya terhadap peran sentral kognisi dalam perkembangan, penemuan ciri-ciri berpikir anak-anak muda, cakupan teori yang luas, serta validitas ekologisnya.
Para teoris neo-Piagetian, khususnya Case dan Fischer, melengkapi teori Piaget dengan memasukkan peran kapasitas dan dukungan kultural dalam menjelaskan variabilitas dan konsistensi pemikiran anak-anak.
Teori Psikoanalitik Freud dan Erikson
Ada dua kontribusi gagasan Freud terhadap psikologi perkembangan. Pertama, Freud menyatakan bahwa tahun-tahun pertama kehidupan itu kritis sebab kepribadian dasar terbentuk sepanjang waktu tersebut. Kedua, ia meyakini bahwa kepribadian berkembang seiring anak menanggulangi rangkaian konflik. Setiap konflik melibatkan wilayah badan yang berbeda, yakni oral (mulut), anal (anus), falik (penis), dan genital (kelamin dewasa). Cara anak memuaskan dorongan pada tiap tahap membentuk dasar kepribadian mereka. Meskipun fokus psikoseksual Freud kurang berpengaruh dewasa ini dalam psikologi akademik, konsep mengenai tahapan perkembangan telah mempengaruhi penelitian dan terapi pada anak-anak. Penjelasan Freud tentang kelekatan (attachment) anak juga telah merangsang penelitian dewasa ini mengenai model kerja internal (internal working models) dan efek jangka panjangnya terhadap perkembangan.
Dengan menggunakan model energi dari fisika, Freud mendeskripsikan sistem energi psikologis yang didistribusikan, ditransformasikan, dan diberhentikan dalam sebuah struktur psikologis. Struktur ini terdiri atas id, ego, dan superego dalam suatu keseimbangan. Sebelum memutuskan untuk melakukan tindakan, ego mempertimbangkan mekanisme pertahanan (defense) yang tersedia, persepsi realitas, tuntutan id untuk reduksi (pengurangan) dorongan, serta larangan-larangan dari superego. Sebagian besar mind bersifat tak sadar (unconscious) karena pengetahuan mengenai pikiran (thoughts) dan kehendak (wishes) yang tersembunyi dalam id, ego, dan superego dapat menyebabkan kecemasan yang tak tertahankan. Kebanyakan bukti teori Freud berasal dari asosiasi bebas (free associations) yang dilakukan pasiennya berkenaan dengan masa kanak-kanak, mimpi-mimpi, dan keprihatinan-keprihatinan masa kini. Freud meyakini bahwa kerja-kerja mind yang abnormal menjelaskan sifat kepribadian normal, karena terdapat kontinum tingkah laku yang merentang dari abnormal ke normal.
Freud memandang manusia sebagai makhluk yang didorong oleh insting (naluri), namun secara aktif mencoba menanggulangi (cope) konflik-konflik internal dan eksternal yang beragam. Freud menekankan perubahan kualitatif, penahapan, dalam perkembangan, tetapi juga mencakup perubahan kuantitatif. Meskipun Freud menekankan pengaruh-pengaruh biologis, khususnya dorongan (drives), ia juga mengakui peran pengalaman, khususnya dalam 5 tahun pertama kehidupan. Esensi perkembangan adalah munculnya struktur-struktur psikologis yang memediasikan seluruh pengalaman dan tingkah laku. Teori Freud memperkenalkan fenomena psikologis baru kepada kebudayaan Barat serta memiliki potensi untuk memperluas penelitian mendatang mengenai perkembangan kognitif dengan melibatkan pikiran yang memuat emosi (emotion-laden thoughts) serta mekanisme-mekanisme pertahanan diri. Namun demikian, teori Freud memiliki kelemahan metodologis, dan klaim-klaimnya tidak dapat diuji. Di samping itu, fokus teori Freud pada seksualitas infantil diterima secara terbatas dalam psikologi akademik. Penelitian kontemporer mengenai hubungan antara kelekatan, regulasi diri (emosi), dan psikopatologi, serta bangkitnya minat akhir-akhir ini terhadap proses-proses mental tak sadar, menunjukkan bahwa banyak persoalan perkembangan yang diteorikan Freud masih relevan. Apakah warisan Freud bagi psikologi perkembangan? Ia mulai dengan mempertanyakan mengapa pasien-pasiennya menderita, dan mengakhiri dengan memberikan perspektif baru tentang perkembangan manusia.
Teori perkembangan psikososial dari Erikson memodifikasi teori Freud dalam dua hal. Pertama, Erikson mengidentifikasikan pengaruh-pengaruh sosial yang penting terhadap perkembangan sepanjang rentang kehidupan. Penelitiannya di sejumlah kebudayaan dan setting sosial yang beragam dalam sebuah kebudayaan menunjukkan bahwa setiap masyarakat mencoba untuk menangani perubahan-perubahan berbasis biologis yang terjadi sepanjang perkembangan. Secara ideal, terdapat kesesuaian antara kebutuhan-kebutuhan anak dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat pada tiap-tiap titik dalam perkembangan (Erikson, 1963). Dalam tiap-tiap tahap perkembangan (ada 8 tahap), terdapat krisis psikososial dalam mana terdapat dua keluaran ekstrim: (1) kepercayaan (trust) lawan ketidakpercayaan (distrust), (2) otonomi lawan rasa malu dan ragu, (3) inisiatif lawan rasa bersalah, (4) industri lawan rasa rendah diri, (5) identitas dan repudiasi (penyangkalan) lawan difusi identitas, (6) intimasi dan solidaritas lawan isolasi, (7) generativitas lawan stagnasi dan absorpsi diri, (8) integritas versus keputusasaan (despair).
Kontribusi utama kedua dari Erikson terhadap teori psikonalitis adalah konsepnya bahwa kehidupan merupakan pencarian identitas (quest for identity). Dengan demikian, ia berfokus pada proses-proses ego. Proses-proses sosial dan proses-proses ego mengalami perluasan dalam teori psikoanalitik dan memberikan perspektif perkembangan yang luas. Pengaruh Erikson dewasa ini dapat dilihat pada penelitian kontemporer mengenai diversitas (keragaman) perkembangan identitas.
Freud dan Erikson menghasilkan perspektif yang unik namun saling melengkapi mengenai perkembangan.
Vygotsky dan Pendekatan Sosiobudaya
Pendekatan sosiokultural terhadap perkembangan memiliki banyak akar pemikiran, utamanya dari Vygotsky (misalnya, Vygotsky, 1978). Teori Vygotsky memiliki pengaruh terhadap para psikolog perkembangan, khususnya dalam perkembangan kognitif. Tidak seperti kebanyakan teori lain, pendekatan ini berfokus pada “anak-dalam-aktivitas-dalam-konteks-kultural” (child-in-activity-in-cultural-context) ketimbang anak itu sendiri. Berpikir merupakan kegiatan sosial. Anak menggunakan perangkat kultural, seperti sistem simbol, untuk memecahkan masalah dalam upaya sehari-hari mereka untuk memenuhi tujuan dalam realitas sosial. Kebudayaan membangun setting serta membentuk interaksi orang-orang di dalamnya. Partisipasi anak dalam beragam rutinitas kultural menumbuhkembangkan cara berpikir tertentu. Keyakinan-keyakinan kultural, pengetahuan, nilai, artefak-artefak kultural, serta setting fisik mempengaruhi setting apa yang ingin dimasuki oleh anak-anak. Ketika anak-anak memasuki setting tersebut, setting juga mempengaruhi hal-hal apa yang dapat mereka pelajari, bagaimana mereka memperoleh keterampilan, dan siapa yang dapat memasuki setting khusus tertentu. Dengan demikian, pendekatan sosiokultural mendorong para peneliti guna memeriksa ulang dikotomi-dikotomi, seperti kultur lawan mind, pikiran lawan tindakan, dan orang/pribadi lawan konteks.
Di samping anak-dalam-aktivitas-dalam-konteks-kultural sebagai unit studi, sejumlah karakteristik lainnya mendefinisikan setting. Anak-anak berkembang dalam zona perkembangan proksimal, yakni jarak antara apa yang bisa dilakukan seorang anak tanpa bantuan dengan apa yang dapat dilakukan anak dengan bantuan. Orang-orang yang lebih terlatih menggunakan pengingat, diskusi, pemodelan, penjelasan, dan sebagainya untuk memandu dan berkolaborasi dengan anak-anak untuk menggerakkan anak-anak melalui zona tersebut. Anak-anak secara aktif berkontribusi terhadap gerakan mereka melalui zona proksimal dengan mencari setting tertentu, mempengaruhi rangkaian aktivitas, serta membawa kualitas pribadi dan keterampilan dalam interaksi. Vygotsky menyatakan bahwa hanya dengan melihat secara langsung perubahan momen ke momen sepanjang waktu, kita dapat mengerti perkembangan. Inteligensi bukanlah apa yang anak ketahui melainkan apa yang dapat anak pelajari dengan bantuan.
Seiring anak terlibat dalam aktivitas dengan orang lain, maka aktivitas inter-mental (khususnya dialog) menjadi aktivitas intramental. Dengan cara ini, maka keberfungsian mental individu memiliki asal sosiokultural. Bahasa antar orang dalam setting sosial-budaya pada akhirnya menjadi pembicaraan yang diucapkan untuk diri sendiri (private speech). Pembicaraan yang diam (tidak diutarakan) dan bersifat mental akhirnya menjadi pembicaraan batin (inner speech). Anak-anak menginternalisasikan informasi dan cara berpikir mereka dari aktivitas mereka dengan orangtua, guru, orang dewasa lain, dan teman-teman sebaya yang lebih terampil.
Perangkat teknis dan psikologis yang disediakan oleh kebudayaan memediasikan fungsi intelektual. Khususnya, bahasa membantu anak-anak mengarahkan pemikiran mereka secara efisien. Anak-anak merencanakan, berpikir logis, dan membentuk konsep-konsep abstrak. Namun demikian, interaksi nonverbal dengan orang lain juga mendorong keterampilan kognitif. Jika kultur mengkonstruksi mind dan apabila kultur berubah, maka kita juga harus mempelajari mind dengan meninjau bagaimana kultur berubah.
Bagi Vygotsky, mekanisme perkembangan paling umum adalah proses dialektis, dalam hal mana dua gagasan atau fenomena kontradiktif disintesiskan menjadi sebuah gagasan atau fenomena. Proses dialektis ini beroperasi utamanya sepanjang interaksi anak dengan orang dewasa, teman sebaya yang lebih terampil, atau teman sebaya dengan keterampilan setara, serta sepanjang bermain. Teori Vygotsky menganut pandangan kontekstualis tentang manusia. Dimensi temporal (masa lalu, masa sekarang, masa depan) berpotongan dengan dimensi spasial (setting sosial). Perkembangan bersifat kuantitatif dan kualitatif (ketika dihasilkan sintesis sepanjang proses dialektis). Natur dan nurtur berpengaruh juga melalui proses dialektis, namun para penganut pendekatan sosiokultural berfokus pada wilayah sosial dari proses ini. Yang berkembang dalam hal ini adalah anak-yang-aktif-dalam-konteks (active-child-in-context).
Terkait dengan aplikasi (terapan) teorinya, Vygotsky menulis mengenai pembelajaran dalam ruang kelas dan tentang anak-anak berkebutuhan khusus (special needs children). Aplikasi lebih lanjut berfokus pada pembelajaran sebaya kolaboratif, pembelajaran interaktif, dan perkembangan zona proksimal. Kekuatan pendekatan ini adalah perhatiannya terhadap konteks sosial-kultural dari perkembangan, integrasi antara pembelajaran dan perkembangan, serta perhatian terhadap diversitas (keragaman) perkembangan. Gagasan Vygotsky mengenai person-in-context dijadikan inspirasi oleh Bronfenbrenner, yang mengemukakan konsep perkembangan dalam ekologi sosial yang terdiri atas beragam tingkat. Peristiwa-peristiwa sosiohistoris memberikan konteks yang membentuk perkembangan, namun anak-anak merupakan partisipan aktif dalam konteks ini pula.
Penelitian Vygotskian yang bersifat sosiokultural dewasa ini berfokus pada pemecahan masalah kolaboratif, proses-proses perkembangan dalam berbagai kultur atau sepanjang waktu perubahan kultural, serta akulturasi melalui narasi dan percakapan (konversasi). Teori sosiokultural Vygotsky penting bagi kehidupan kontemporer, untuk membantu kita memahami masyarakat multikultural kita serta dunia kita yang cepat berubah. Lapangan psikologi perkembangan mengalami kemajuan menuju perspektif dalam hak mana kenekaragaman kebudayaan dan proses-proses kultural secara penuh diintegrasikan menjadi sebuah penjelasan bagi perkembangan.
Teori Belajar Sosial
Teori belajar sosial mempertahankan semangat gerakan behaviorisme, yakni penelitian yang ketat secara eksperimental tentang proses-proses belajar dasar. Namun demikian, sorotan teori ini telah beralih dari studi tentang binatang (misalnya seekor tikus lapar yang menekan pengungkit) menjadi seorang anak yang berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak mempelajari tingkah laku baru dengan mengamati orang lain, sebagaimana nampak dalam penggunaan bahasa oleh anak-anak dan strategi-strategi yang digunakan sepanjang pemecahan masalah.
Albert Bandura memberikan sumbangsih tiga konsep kunci dalam teori belajar sosial:
Pertama, belajar melalui pengamatan (observational learning) dapat lebih luas daripada sekadar meniru (mimicking) tingkah laku orang lain. Anak-anak dapat secara simbolik mengkonstruksikan tingkah laku baru dan kompleks dengan mendengarkan orang lain atau menonton sebuah film. Lebih lanjut, dalam rangka terjadinya pembelajaran anak tidak perlu menyaksikan tingkah laku terbuka (overt behavior). Sebagaimana Bandura merangkum pengaruh model dalam belajar sosial, bahwa model-model berfungsi sebagai instruktur, motivator, penghambat, pelepas hambatan, fasilitator sosial, dan pembangkit emosi (Bandura, 1989, h. 17).
Kedua, anak-anak mengatur dirinya sendiri (self-regulatory). Meskipun penguatan (reinforcement) tidak diperlukan untuk belajar, penguatan membantu untuk regulasi diri. Anak-anak mengamati perilaku mana yang terjadi di sekitarnya yang menimbulkan hadiah dan hukuman. Selanjutnya, anak menggunakan pengamatan ini sebagai sumber informasi bagi mereka guna membantu mereka mengabstraksikan aturan-aturan, menilai efikasi diri (perasaan mampu diri) mereka, mengembangkan standar tingkah laku, menetapkan tujuan, serta memutuskan dalam situasi apa saja mereka akan menggunakan tingkah laku yang telah diamati.
Ketiga, triadik resiprokal sebab-akibat memberikan model perubahan tingkah laku. Tiga sumber pengaruh (yakni, orang, tingkah lakunya, dan lingkungan) berinteraksi. Lingkungan tidak selalu memiliki atau menunjukkan kendali terbesar. Anak-anak secara aktif menyeleksi lingkungan-lingkungan tertentu, bahkan tingkah lakunya membantu membentuk lingkungan mereka, yang pada gilirannya lingkungan tersebut mempengaruhi mereka.
Anak-anak mengembangkan lima keterampilan yang sangat penting untuk belajar sosial, yakni simbolisasi, pembelajaran melalui orang lain (vicarious learning), regulasi diri, efikasi diri, dan kemampuan untuk melihat konsekuensi masa mendatang dari tingkah laku sekarang (Perry, 1989). Sepanjang perkembangan, anak-anak menjadi lebih terlatih dalam empat komponen proses dari pembelajaran observasional, yakni atensi, retensi, produksi, dan motivasi. Secara khusus, kemampuan yang berkembang guna menggunakan simbol-simbol visual dan verbal mendorong pembelajaran observasional anak-anak. Kebanyakan perkembangan sosial dihasilkan dari akumulasi dan integrasi episode-episode pembelajaran observasional. Teori belajar sosial telah meneliti beragam tingkah laku perkembangan yang penting, seperti agresi, pembentukan konsep, tingkah laku terkait jenis kelamin, dan perkembangan moral.
Teori Bandura dapat diuji. Teori Bandura juga integratif, karena menyatukan bersama pemrosesan informasi dan proses-proses sosialisasi. Teori belajar sosial dapat mengkoreksi sejumlah kelemahan pendekatan kognitif, dengan memberikan cara untuk mengkonseptualisasikan mengapa tingkah laku atau pengetahuan yang ditunjukkan anak bervariasi dari situasi ke situasi. Ada dua arah penelitian teori belajar sosial. Pertama, hubungan antara perkembangan kognitif dan pembelajaran observasional harus dielaborasi lebih rinci. Kedua, teori belajar sosial dapat menjadi kuat dalam meramalkan dan mengeksplorasi tingkah laku apabila memiliki pangkalan data (database) ekologis yang lebih besar lagi. Penelitian mutakhir juga telah menyentuh aktivitas kortikal otak yang mendasari pengamatan seseorang terhadap tingkah laku orang lain.
Teori Pemrosesan Informasi
Pendekatan pemrosesan informasi meneliti bagaimana kerja sistem manipulasi simbolik oleh manusia. Para peneliti mengambil program komputer sebagai model. Anak-anak berubah dalam hal bagaimana mereka memperoleh, merepresentasikan, menyimpan, memboboti, dan mengkombinasikan informasi untuk mencapai tujuan-tujuan mereka di tengah terbatasnya kapasitas pemrosesan mereka. Perubahan ini terjadi pada berbagai titik dalam sistem, misalnya, dalam memori kerja dan memori jangka panjang. Banyak perkembangan terjadi melalui modifikasi diri, sebagaimana anak-anak merumuskan aturan-aturan pemecahan masalah dan memodifikasinya sebagai hasil umpan balik yang diterima. Para peneliti mulai dengan sebuah analisis tugas, dan merumuskan sebuah program komputer yang mensimulasikan bagaimana anak belajar, memecahkan masalah, menyimpan informasi. Peneliti dapat juga melakukan eksperimen untuk menguji efisiensi pemrosesan informasi anak.
Manusia terbatas dalam hal seberapa banyak informasi yang dapat diprosesnya dalam waktu tertentu serta dalam seberapa cepat mereka dapat memproses informasi tersebut. Banyak perkembangan melibatkan pembelajaran bagaimana mengatasi keterbatasan tersebut dengan memperoleh proses-proses kendali yang efisien. Penelitian tentang memori menunjukkan bahwa banyak perkembangan memori disebabkan oleh pemerolehan (akuisisi) strategi-strategi, berkembangnya penyimpanan pengetahuan yang spesifik pada bidang tertentu, meningkatnya metamemori, dan kapasitas fungsional yang membesar. Penemuan dan pemilihan beragamnya strategi, serta perubahan dalam aturan-aturan pemecahan masalah, juga turut mengubah pemrosesan informasi. Inteligensi dipandang sebagai aplikasi komponen pemrosesan informasi yang bersifat efisien, insightful, dan adaptif. Mekanisme perkembangan seperti penyandian (encoding), generalisasi, konstruksi strategi, dan otomatisitas menyebabkan pemrosesan yang lebih efisien (Sieglar, 1998). Para ahli teori pemrosesan informasi memandang manusia sebagai makhluk yang aktif, terorganisasi, dan sistem yang memodifikasi dirinya sendiri (self-modifying). Perkembangan melibatkan baik perubahan kuantitatif maupun kualitatif, terpengaruh genetik maupun lingkungan. Esensi perkembangan adalah sistem yang makin efisien dalam mengontrol aliran informasi.
Teori pemrosesan informasi telah diterapkan utamanya dalam lingkungan pendidikan, serta isu-isu yang menyangkut reliabilitas atau keterandalan kesaksian (eyewitness testimony) anak-anak muda. Penelitian kontemporer terkait dengan teori ini mencakup neurosains kognitif dan model matematis untuk pembelajaran.
Teori Etologi dan Evolusioner
Etologi, bersama dengan perspektif evolusioner lainnya, merupakan salah satu kontribusi utama zoologi terhadap psikologi perkembangan, Ribuan jam yang dihabiskan untuk mengamati binatang (khususnya primata nonhuman) telah membantu kita memahami tingkah laku manusia dan perkembangannya. Setiap spesies, termasuk manusia, memiliki serangkaian tingkah laku bawaan (innate) yang spesifik-spesies. Tingkah laku ini telah ber-evolusi secara filogenetik karena meningkatkan peluang spesies untuk bertahan hidup (surviving) dalam lingkungan tertentu. Beberapa tingkah laku yang paling penting bersifat sosial, seperti tingkah laku menarik perhatian lawan jenis (mating dance), penanaman tingkah laku oleh induk kepada anak (imprinting), tingkah laku dominansi, dan sejumlah bentuk komunikasi, serta pola-pola tingkah laku yang menetap yang dihasilkan oleh rangsang tanda (sign stimuli). Bahkan tingkah laku yang dipelajari pun memiliki komponen genetik yang kuat karena setiap spesies memiliki predisposisi pembelajaran tertentu dalam bentuk periode kepekaan (periode sensitif) atau kemampuan belajar umum dan spesifik. Etologis mempelajari tingkah laku dengan melakukan pengamatan dalam setting alamiah dan penelitian eksperimental di laboratorium.
Sudut pandang etologis memiliki pengaruh yang besar dalam psikologi perkembangan dengan merangsang penelitian mengenai kelekatan (attachment). Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa bayi yang sangat muda dan orang dewasa terprogram untuk merespons satu sama lain. Penelitian ini telah meluas mencakup efek jangka panjang dari tiap-tiap pola kelekatan, perbedaan individual, peran ayah, dan tingkah laku sosial-kognitif lainnya. Pengamatan terhadap hierarki dalam primata dan binatang lain telah menimbulkan penelitian-penelitian tentang kelompok sebaya pada manusia, khususnya dalam kelompok-kelompok pra-sekolah. Para peneliti juga telah mempertanyakan jenis-jenis permasalahan yang diupayakan untuk dipecahkan oleh anak-anak, dan bagaimana mereka mencoba memecahkan permasalahan tersebut dalam setting alamiah.
Terkait dengan perkembangan, teori etologi memandang manusia sebagai spesies yang ber-evolusi untuk bertahan hidup dalam lingkungan khusus tertentu. Para ahli teori memiliki pendapat yang berbeda-beda apakah adaptasi ini utamanya bersifat pasif (dalam rangka respons terhadap dorongan atau stimuli tanda) ataukah aktif (mengatur diri sendiri). Perubahan tingkah laku dalam perkembangan terjadi secara interaksi kuantitatif dan kualitatif, dipengaruhi oleh bawaan dan lingkungan. Hasilnya adalah organisme yang dapat beroperasi secara efisien dalam lingkungannya.
Etologi memiliki sejumlah kontribusi terhadap psikologi perkembangan, karena memberikan perspektif evolusioner yang mendorong peneliti untuk meninjau fungsi tingkah laku tertentu dari anak-anak. Namun demikian, para etolog sulit meneliti aspek-aspek perkembangan tertentu, seperti bahasa dan berpikir abstrak pada anak-anak yang lebih tua. Pengembangan riset terakhir dari etologi berkisar pada kelekatan (attachment), studi-studi gen x lingkungan dan neurosains, basis biologis dari transmisi kebudayaan, khususnya kognisi sosial dan theory of mind, serta keuntungan adaptif dari ketidakdewasaan.