Kehidupan sebagai Penerjemah (5): Kesadaran

Juneman Abraham
26 min readJan 12, 2020

--

Pada 2011, saya menerjemahkan sejumlah karya yang saya pilih dalam bidang psikologi, semata-mata untuk memperkaya materi kuliah Psikologi Umum bagi mahasiswa di fakultas psikologi. Terjemahan ini tidak dimaksudkan pertama-tama untuk dikutip. Kendati demikian, apabila hendak dikutip juga, Anda dapat menerakan hal sebagai berikut di dalam Daftar Pustaka Anda:

Kokoszka, A. (2007). States of consciousness: Models for psychology and psychotherapy — Emotions, personality, and psychotherapy series (Penerjemah/Translator: Juneman Abraham). Springer Science + Business Media.

Kesadaran (consciousness) merupakan suatu fenomena spesifik yang tak dapat direduksi kepada fenomena lain yang lebih fundamental. Sebagaimana akan kita pelajari dalam pembahasan selanjutnya, kesadaran dapat dilihat sebagai sebuah fenomena, sebuah “intuisi”, sebuah sense, yang mengiringi segenap aspek aktivitas mental kita. Kesadaran diri (self-consciousness) merupakan sebuah refleksi seseorang mengenai aktivitas mentalnya sendiri yang memiliki tujuan. Kondisi kesadaran yang berubah (altered state of consciousness/ASC) didefinisikan sebagai keadaan-keadaan yang memiliki bentuk atau isi yang berbeda dari keadaan-keadaan kesadaran yang dianggap lazim.

Penelitian mengenai kesadaran perlu mempertimbangkan pra-anggapan filosofis yang berurusan dengan kesadaran, khususnya yang berkenaan dengan solusi terhadap masalah hubungan jiwa-tubuh (mind-body) serta juga relasi antara psikologi dan agama.

Analisis terhadap teori-teori filosofis mengenai mekanisme jiwa (Hill, 1981) menunjukkan adanya empat teori fundamental yang berfokus pada hubungan antara jiwa dan badan:

1. Menurut paralelisme psikofisik, yang dirumuskan oleh Leibnitz, jiwa dan tubuh merupakan dua bentuk realitas yang sangat berbeda, berada dalam harmoni yang sudah ditetapkan sebelumnya (pre-established) dan tidak memengaruhi satu sama lain.

2. Dualisme psikofisik, yang diciptakan Descartes, mengklaim bahwa jiwa dan tubuh merupakan bentuk-bentuk keberadaan (eksistensi) yang berbeda, namun jiwa dan tubuh berinteraksi dan saling memengaruhi.

3. Materialisme, yang dikemukakan Spinoza, menyatakan bahwa realitas satu-satunya adalah realitas fisik. Fenomena mental dapat direduksikan pada fenomena fisik, serta dapat dijelaskan secara tuntas dengan analisis proses-proses fisik yang mendasari fenomena mental tersebut. Fenomena mental merupakan produk sampingan (byproduct) atau gejala sampingan (epifenomena) yang tidak penting dari proses-proses fisik. Fenomena mental muncul relatif terhadap proses-proses fisik.

4. Teori identitas jiwa-tubuh, yang diajukan oleh Spinoza, menyatakan bahwa proses-proses otak dan keadaan-keadaan mental merupakan hal yang satu dan sama, atau cara-cara yang berbeda untuk memahami hal yang sama.

Selanjutnya, analisis terhadap relasi antara psikologi dan agama menunjukkan adanya empat model (Makselon, 1988):

1. Model konflik. Psikologi dan agama tetap berada dalam oposisi (perlawanan) bilamana dalam ilmu-ilmu psikologis diterapkan semata-mata materialisme, tidak hanya sebagai reduksionisme metodologis, namun juga ketika realitas fisik dipertimbangkan sebagai satu-satunya bentuk eksistensi. Model ilmiah dipandang sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang tersedia. Menurut sudut pandang ini, agama merupakan sebuah produk budaya (Marxisme, Freud).

2. Model subordinasi. Model ini memiliki dua versi. Pertama, psikologisasi agama, yakni ketika psikologi dianggap merupakan kriteria penilaian/evaluasi bagi religiusitas seseorang. Kedua, teologisasi psikologi, dalam hal mana konsep-konsep psikologis pada akhirnya diverifikasi menurut pengetahuan teologis (religius).

3. Model paralelisme. Agama dan psikologi tidak berinteraksi secara langsung satu sama lain. Agama merupakan ranah keyakinan personal, sedangkan psikologi merupakan ranah ilmu akademis. Pengetahuan religius bersifat spiritual yang berbasiskan pengalaman religius spesifik; sedangkan psikologi merepresentasikan pengetahuan ilmiah.

4. Model integrasi. Sudut pandang ini berbasiskan pra-anggapan bahwa pengetahuan psikologis dan religius mendorong ke arah sebuah kebenaran harmonis mengenai manusia, yang perlu dalam perkembangan manusia dan dalam pengentasan penderitaan eksistensi.

Bab ini ditulis dari sudut pandangan reduksionisme metodologis, yang membatasi pertimbangan mengenai psike manusia pada tingkat ilmu alam dengan turut menghormati makna faktor-faktor lingkungan bagi perkembangan dan keberfungsian manusia. Dengan mengikuti model paralelisme tentang agama dan psikologi, bab ini mengasumsikan bahwa psikologi merupakan sebuah ilmu (sains) yang berurusan dengan pengalaman mental, yang merupakan fungsi dari aktivitas sistem saraf pusat (SSP). Isu-isu spiritual atau pun religius tidak tercakup dalam ilmu psikologis yang dimaksud khusus dalam bab ini.

Meskipun psike dan organisme nampak merupakan keseluruhan yang tak dapat dibagi, pemikiran ilmiah (menurut paradigma kontemporer) bersifat analitis. Jadi, pembagian tradisional dalam ranah psikomotor (keperilakuan, behavioral, eksekutif), kognitif (intelektual), dan emosional dari SSP masih berguna. Ada pengakuan terhadap posibilitas/kemungkinan bahwa evolusi manusia masih dapat berlangsung (in status nascendi) serta bahwa sejumlah fenomena psikis mungkin tidak bisa.

Kesadaran (Consciousness), Kesadaran Diri, dan Keinsafan (Awareness)

Psikologi kesadaran berada dalam relasi mutual dengan psikologi umum. Setiap teori signifikan tentang kesadaran memiliki implikasi yang penting untuk teori umum dari psikologi, dan sebaliknya (Kokoszka, 2007). Beragam pendekatan teoretik telah diajukan untuk menjelaskan kesadaran (consciousness) dan variasi perubahan kesadaran (ASC). Barrus (1987) telah menemukan 20 definisi yang berbeda tentang kesadaran dalam sebuah kajian literatur. Definisi ini terentang mulai dari definisi-definisi yang berurusan dengan pengetahuan terjalin atau mutual tentang lingkungan internal dan eksternal sampai dengan definisi-definisi yang berurusan dengan keadaan atau perubahan keadaan keinsafan (awareness). Namun demikian, sebagai sebuah pengalaman fundamental, kesadaran merupakan fenomena yang nyata. Kita akrab dengan kesadaran oleh pengalaman alamiah sehari-hari; namun definisi atau bahkan deskripsi yang persis dan diterima secara umum belum pernah dirumuskan. Sejumlah peneliti berpendapat bahwa mustahil kita mendefinisikan kesadaran, sementara peneliti yang lain menganggapnya sebagai epifenomena atau produk sampingan yang tidak penting dari aktivitas mental.

Pada permulaan refleksi kita terhadap dunia mental kita, kita dihadapkan pada sebuah pertanyaan: siapa yang mempelajari, dan apa yang dipelajari? Jawabnya nampak nyata: Kita mempelajari diri kita sendiri, namun kita merupakan subjek peneliti dan objek penelitian pada saat yang sama. Solusi terhadap masalah ini sangat penting untuk penyelidikan lebih lanjut. Kemampuan untuk mengenali keadaan psikologis diri sendiri disebut sebagai kesadaran diri (self-consciousness). Tindakan/aksi kesadaran diri dimengerti sebagai sebuah observasi terhadap kondisi kesadaran diri orang sendiri (introspeksi), sebagai fenomena kognitif yang dicirikan dengan pembagian ego menjadi pengamat (the observer) dan yang diamati (the observed), yang dimediasikan oleh proses-proses kognitif lainnya.

Tindakan kesadaran diri merupakan fenomena yang berbeda dari kesadaran (consciousness). Betapapun, kita juga mengalami kesadaran ketika kita tidak sedang mengamati diri kita sendiri, yakni ketika perhatian (atensi) kita difokuskan pada observasi terhadap dunia eksternal. Perasaan yang sama juga mengiringi kita selama tidur.

Jaspers (1963) memandang bahwa istilah kesadaran (consciousness) menyiratkan keinsafan akan pengalaman (awareness of experience), keinsafan tentang sebuah objek, dan refleksi diri. Oleh karena istilah kesadaran sering digunakan dalam hal-hal yang mencakup hanya satu atau dua dari ketiga dimensi tersebut, kita dapat mengintegrasikan lebih banyak pandangan dan data tentang kesadaran yang menggambarkan komponen-komponennya.

Dengan pertimbangan lebih lanjut, kesadaran dimengerti sebagai sebuah pengalaman fundamental, yang merupakan sebuah “perasaan” (“feeling”) atau sebuah “intuisi” yang mengiringi pengalaman fenomena psikis, atau, sebagaimana dinamai oleh Jaspers, sebuah keinsafan akan pengalaman. Hamilton (Lalande dalam Kokoszka, 2007) menyatakan bahwa:

“Kesadaran tidak dapat didefinisikan; kita mungkin secara penuh insaf bahwa kesadaran itu ada, namun kita tidak mampu tanpa kebingungan menyampaikan kepada orang lain sebuah definisi mengenai apa yang kita sendiri secara jelas aprehensikan/pahami.”

Kesadaran merupakan sebuah fenomena elementer; karenanya, kesadaran tidak dapat dideskripsikan lebih persis lagi. Tidak ada fenomena yang lebih mendasar atau elementer yang dapat diaplikasikan pada definisi tentang kesadaran. Dengan memikirkan kesadaran, kita harus merujuk pada pengalaman privat kita. Bilikiewicz (1979) menyatakan bahwa apabila kita tidak mengalami kesadaran, tidak seorang pun yang dapat menjelaskan kepada kita apakah kesadaran itu. Penjelasan semacam itu tidak akan bermakna apa-apa, sama halnya seperti upaya yang ditujukan untuk menggambarkan warna-warni kepada seorang yang buta. Oleh karena itu, dalam membicarakan kesadaran, kita dapat mengembangkan perbandingan-perbandingan dan metafora-metafora yang berbeda atau mendeskripsikan hanya kondisi-kondisinya yang berbeda.

Keinsafan (awareness) dimengerti sebagai aspek keperilakuan, yang teramati dari kesadaran, yakni terjaga (awake) dan tanggap (responsif) terhadap lingkungan sekitar, “the state of being responsive, or the state of the brain’s activity at such a time” (Hebb, 1966, h. 286). Dengan mengamati manusia lain, saya dapat mengenali bahwa ia insaf (mungkin sadar); namun pengalaman menjadi sadar (being conscious), saya alami secara langsung, tanpa perlu adanya pengenalan terhadap keadaan psikis saya sendiri (tanpa kesadaran diri atau refleksi diri).

Perubahan Kesadaran

Konsep ASC diperkenalkan oleh Ludwig (1966), dan sampai dengan saat ini masih merupakan gagasan yang paling populer yang digunakan untuk mendeskripsikan keadaan-keadaan kesadaran yang dianggap tidak biasa (unusual) namun yang tidak abnormal (not abnormal), meskipun telah dipertanyakan sepanjang waktu oleh para kaum behavioris. ASC melukiskan keadaan-keadaan yang berbeda secara signifikan dari keadaan kesadaran biasa, dan bukan merupakan simtom dari gangguan mental apapun (Kokoszka, 2000). Namun demikian, sejumlah peristilahan lain telah diajukan, seperti alternate state of consciousness (Zinberg, 1977), mystical-like states (Stace, 1979) yang berbau religius, ultraconsciousness (Dean, 1983) yang berbau psikiatrik, serta disturbed states of consciousness (Aggernaes, 1975).

ASC didefinisikan oleh Ludwig (1966, h. 225) sebagai:

“setiap keadaan mental dari kesadaran, yang diinduksi (dipengaruhi) oleh beragam manuver atau agen fisiologis, psikologis, atau farmakologis, yang dapat dikenali secara subjektif oleh individu itu sendiri (atau oleh pengamat objektif terhadap individu tersebut) sebagai sesuatu yang merepresentasikan penyimpangan yang cukup (sufficient deviation) dalam pengalaman subjektif atau fungsi psikologis dari norma-norma umum bagi individu tersebut selama kesadaran terjaga (alert waking consciousness). Penyimpangan yang cukup ini dapat direpresentasikan oleh preokupasi yang lebih besar dari biasanya terhadap sensasi-sensasi internal atau proses-proses mental internal, perubahan-perubahan dalam karakteristik-karakteristik pikiran, serta dalam derajat tertentu ketidakmampuan menguji realitas.”

Menurut Ludwig (1966), variabel-variabel berikut ini memainkan peran utama dalam produksi ASC:

1. Reduksi/pengurangan stimulasi ekstrospektif dan/atau aktivitas motorik, misalnya, isolasi, pembatasan soliter (dalam laut, di udara, atau di gurun), tidur dan fenomena terkait, keadaan deprivasi sensorik eksperimental, dan sebagainya.

2. Peningkatan stimulasi ekstrospektif dan/atau aktivitas motorik dan/atau emosi, misalnya pencucian otak (brainwashing), keadaan trans (shamanistic and prophetic trance) sepanjang upacara kesukuan/tribal, dan sebagainya.

3. Peningkatan kewaspadaan (alertness) atau keterlibatan mental, misalnya dalam membaca, menulis, memecahkan masalah, penyaksian panjang terhadap sebuah metronome atau stroboskop.

4. Penurunan kewaspadaan atau relaksasi fakultas/sensorik kritis (keadaan mind yang pasif), misalnya keadaan-keadaan mistis, transendental, nubuat, pengalaman estetik atau hipnotik-diri, lamunan, keadaan-keadaan asosiasi bebas sepanjang terapi psikoanalitik, dan sebagainya.

5. Adanya faktor-faktor somato-psikologis, seperti hipoglikemia, hiperglikemia, hiperventilasi, kurang tidur, mabuk, trauma otak, agen farmakologis, dan sebagainya.

Kondisi-kondisi ASC adalah sebagai berikut (Ludwig, 1966): (1) Alterations in thinking; (2) Disturbed time sense; (3) Loss of control; (4) Change in emotional expression; (5) Body image change; (6) Perceptual distortions; (7) Change in meaning or significance; (8) Sense of ineffable; (9) Feelings of rejuvenation; (10) Hypersuggestibility.

Variasi Pengalaman Subjektif Perubahan Kesadaran

Keadaan kesadaran kita nampak nyata dan normal dalam kebanyakan waktu. Pengalaman-pengalaman yang tak biasa hampir selalu lekas terubahkan menjadi “normal”, yang dapat dijelaskan, misalnya, “Hal ini normal, karena saya tadi mabuk, lelah, terangsang, terkesan, dan sebagainya”. Dengan demikian, dalam pemikiran awam ada kecenderungan untuk tidak memperhatikan perubahan pengalaman dalam keadaan kesadaran seseorang. Kendati demikian, hasil sejumlah penelitian menunjukkan bahwa keadaan-keadaan seperti halusinasi, mistis, dan hipnotik adalah umum. Pengalaman-pengalaman tersebut berada dalam rentang kemungkinan pengalaman kita. Namun demikian, dalam psikologi pengalaman itu kita sebut sebagai ASC. Kajian mengenai peristiwa ASC disajikan berikut ini. Penelitian-penelitian ASC mengindikasikan bahwa isi pengalaman subjektif dari orang-orang yang sakit mental secara kualitatif tidaklah berbeda dari yang dimiliki orang sehat. Ada sejumlah pengalaman ASC oleh orang sehat yang dilaporkan dengan tingkat yang sama oleh orang dengan skizofrenia, dan bahkan pengalaman-pengalaman yang dianggap sebagai umum (tipikal) bagi pasien psikosis dilaporkan oleh sejumlah orang sehat dalam kelompok kontrol dalam persentase yang signifikan.

Psikologi kontemporer menerima bahwa orang dapat secara alamiah mengalami berbagai ragam keadaan kesadaran, yang secara tradisional dianggap “tidak biasa” (unusual). Sudut pandang ini berbasiskan pertimbangan teoretis ketimbang data penelitian empiris yang masih langka. Penelitian-penelitian yang ada yang ditujukan secara langsung untuk mengestimasi peristiwa ASC hanya sangat sedikit dan terfragmentasi. Namun demikian, ada sejumlah penelitian yang menunjukkan bahwa fenomena seperti halusinasi, pengalaman puncak (peak experiences), pengalaman hipnotik (hypnotic-like experiences), dan pengalaman “keluar dari tubuh” (out-of-the-body) adalah umum atau biasa (common). Penelitian-penelitian ini memang memiliki banyak keterbatasan oleh karena metode yang digunakan. Pada kenyataannya, para peneliti menyelidiki opini-opini dari subjek-subjek mengenai peristiwa/pengalaman tersebut. Pengalaman yang digambarkan para subjek mungkin dimengerti dalam cara yang berbeda-beda oleh subjek-subjek yang diteliti. Hal ini dapat disebabkan karena kesulitan dalam deskripsi yang tidak tegas dan tidak persis tentang ASC dari Ludwig (1966) di atas. Dalam wawancara, ada risiko menyugesti subjek jawaban yang diharapkan. Penyelidikan tentang fenomena yang berbeda juga dapat dipertanyakan. Namun demikian, menurut Wallace dan Fisher (1991, h. 12):

“penelitian tentang kesadaran mensyaratkan bahwa kita melepaskan dalam jumlah cukup kekakuan/rigiditas kita dalam pengumpulan data untuk mengizinkan asesmen terhadap respons-respons yang mungkin tidak dianggap murni secara ilmiah oleh kaum behavioris radikal. Dengan demikian, respons-respons verbal dapat diizinkan dan merupakan hal yang penting dalam penelitian tentang kesadaran. Lebih jauh lagi, secara alamiah, banyak dari respons ini mungkin tidak dapat dibagi.”

Halusinasi

Sejak akhir abad ke-19, para peneliti meminati statistik kejadian simtom-simtom psikopatologis tertentu di antara orang-orang yang disebut sehat mental. Pengalaman-pengalaman tersebut ditangani sebagai gangguan psikologis (psychological disturbances) dan secara intuitif diperkirakan terjadi lebih sering daripada sakit mental (mental illnesses). Penelitian pertama mengenai hal ini dilakukan oleh Society for Psychical Research of London pada 1894 (Sidwick, dkk.). Dalam sebuah survey kuesioner terhadap 17.000 subjek, sebanyak 9,8% mengaku telah mengalami sedikitnya satu episode halusinasi. Dalam sebuah replikasi penelitian ini, sebanyak 14,3% orang dari 1.519 subjek mengalami halusinasi (West, 1948). McKellar (1968) menemukan halusinasi pada 125 dari 500 subjek. Mott, Small, dan Anderson (1965), ketika mewawancarai 50 orang sehat, menemukan halusinasi auditorik pada 32% dari mereka.

Posey dan Losch (1983, 1984) menyajikan data yang menunjukkan peristiwa halusinasi auditorik tipe suara adalah sebanyak 71% dari 375 orang mahasiswa normal. Yang paling sering (39%) mendengar pikirannya berbicara keras, dan mendengar sebuah suara memanggil namanya keras ketika sendirian (36%). Dalam penelitian Bentall dan Slade (1985) yang dilakukan pada mahasiswa, 15,4% mahasiswa memiliki pengalaman mendengar suara seseorang dan tidak menemukan adanya orang, serta 17,6% sering mendengar sebuah suara meneriakkan apa yang mereka pikirkan.

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Edisi Keempat (DSM IV), keadaan depersonalisasi yang parah (misalnya, “mengalami perasaan terpisah/detached”) terjadi di antara 30 sampai dengan 70% dari orang dewasa muda (American Psychiatric Association, 1994).

Keadaan Mistis dan Pengalaman Puncak

Penelitian Taft (1969) mengenai pengalaman puncak dan pengalaman lainnya yang berhubungan dengan pembiaran ego (ego permissiveness) menunjukkan frekuensi yang relatif tinggi dari beragam pengalaman ASC di antara orang sehat. Dalam kelompok yang terdiri dari 254 subjek, utamanya partisipan dari Summer School for Adults yang diorganisasikan oleh University of Western Australia, dipastikan bahwa 40% orang telah mengalami emosi gembira (joyful) yang sangat kuat yang nampaknya “membutakan” mereka seperti cahaya yang mempesona (dazzling light). Sebanyak 35% subjek merasakan “rasa diri besar” yang bersumber dari otoritas dan iluminasi batin, penuh penyingkapan rahasia dan makna, tidak aktifnya kemauan, perasaan diserap dan dicengkeram oleh sebuah kekuatan superior dengan kontrol yang lebih tinggi, penyerahan diri; 31& merasakan mind atau kesadarannya bergerak terlepas dari badan, atau mengalir ke bagian-bagian tubuh yang berbeda, atau mengalir keluar dari badan. Dalam penelitian-penelitian yang lain, frekuensi peristiwa pengalaman puncak dalam sebuah sampel representatif 1.000 orang yang tinggal dekat San Fransisco, 50% ditemukan telah mengakui bahwa diri mereka mengalami kontak dengan orang suci (the sacred), 82% mengalami kecantikan/keindahan alam, dan 39% harmoni dengan alam semesta (Wuthnow, 1978). Dalam studi serupa, 45% subjek mengaku telah mengalami unitas/kesatuan yang lengkap dengan Tuhan atau alam semesta (Greeley & McCready, 1979).

Dalam sampel acak dari 100 mahasiswa Inggris, 65% menyatakan bahwa mereka pernah sekali mengalami “insaf atau terpengaruh oleh sebuah kehadiran atau sebuah kekuatan, entah Anda menyebutnya sebagai Tuhan atau tidak, yang berbeda dari diri Anda sehari-hari.” Pada 23% kasus ini, itu merupakan keinsafan akan kekuatan yang mengendalikan dan memandu orang tersebut, dan pada 22% merupakan keinsafan akan kehadiran Tuhan. Pengalaman-pengalaman tersebut paling sering terjadi dalam situasi sendiri atau dalam kesenyapan, sebanyak 35%; distress atau pengambilan keputusan yang berat, sebanyak 34%; kontak yang intim dengan alam, 26%; dan berada dengan teman dekat atau orang yang dipercaya, 21% (Hay, 1979). Dalam penelitian terhadap sebuah populasi representatif, dalam sampel 1.865 orang di Inggris Raya, Hay dan Morisy (1978) menemukan bahwa 34,6% subjek mengalami pengalaman puncak, dalam hal mana persentasenya lebih tinggi pada wanita, orang tua, individu yang berpendidikan lebih baik, serta pada mereka yang berasal dari kelas sosial yang lebih tinggi, dan orang-orang dengan kerangka berpikir yang baik.

Pengalaman Hipnotik

Para peneliti yang meneliti hipnosis menemukan peristiwa alamiah fenomena “seperti-terhipnosis” (hypnotic-like). Shor (1959) yang mempelajari hipnosis dan fenomena hipnotik memberikan kuesioner tentang ASC kepada dua kelompok: satu kelompok terdiri atas 85 mahasiswa, kelompok lainnya 65 mahasiswa. Penelitian ini direplikasi di Polandia dalam sebuah kelompok yang terdiri atas 625 mahasiswa (Siuta, 1987). Sejumlah butir dalam kuesioner tersebut berurusan dengan pengalaman kesadaran, sebagai berikut:

● “…. duduk menatap ke ruangan, berpikir tentang bukan apapun dan sulit insaf tentang berjalannya waktu”, ada 89% di kelompok Amerika Serikat, serta 81,8% di Polandia.

● “sepenuhnya terbenam hanyut dalam alam atau dalam kesenian (misalnya, di gunung, pada samudera, memandang pahatan, dan sebagainya) serta memiliki perasaan akan kekaguman, inspirasi, dan kebesaran/keluhuran (grandeur) melingkupi Anda sehingga Anda merasa seolah-olah seluruh keadaan kesadaran Anda secara sementara terubahkan”, ada 74% di Amerika Serikat, serta 93,1% di Polandia.

Erickson mengklaim bahwa ketika menerapkan hipnosis, ia dan rekan-rekan kerjanya mengamati 90 menit tendensi siklis terjadinya kondisi trans (trance) umum sehari-hari (Erickson, Rossi, & Rossi, 1976; Erickson & Rossi, 1979; Rossi, 1986). Mereka menganggap hipnosis sebagai utilisasi mekanisme mental pasien itu sendiri.

Pengalaman Mendekati Kematian dan Pengalaman Keluar Tubuh

Deskripsi tentang pengalaman orang-orang yang luput dari kematian atau telah dibawa kembali ke kehidupan setelah kematian klinis disajikan oleh Moody (1976) dalam bukunya “Hidup Sesudah Mati” (“Life After Life”). Buku ini memulai penelitian ilmiah mengenai pengalaman mendekati kematian (near death experiences/NDE). Menurut sejumlah penelitian (Ring, 1980; Sabom, 1982), yang mencakup sebuah jajak pendapat nasional pada sebuah populasi umum, dilaporkan bahwa sekitar 5% dari populasi orang dewasa Amerika memiliki pengalaman dekat kematian. Sebanyak 30 sampai 40% individu memiliki pengalaman tersebut (Gallup & Porter, 1982). Pengalaman NDE yang paling umum (Ring, 1980, 1985) mencakup pengalaman sebagai berikut: Pengalaman kedamaian (60%), “memasuki kegelapan” (53%), pengalaman meninggalkan tubuh (37%), “persepsi cahaya” (33%), pengalaman membuat sebuah pilihan atau kemauan untuk berjalan kembali ke kehidupan (33%), meninjau/menyorot kehidupan sendiri (25%).

Pada saat yang sama, minat ilmiah meningkat terhadap pengalaman meninggalkan tubuh (out-of-body experiences/OBE). Mula-mula para subjek telah diselidiki, utamanya oleh para psikolog, yang mengkonseptualisasikan OBE sebagai persepsi eksta-sensorik, proyeksi astral, atau perjalanan astral. Gabbard (1994, h. 5) mendefinisikan OBE sebagai “sebuah perubahan kesadaran (ASC) dalam hal mana subjek merasa bahwa mind-nya atau keinsafan dirinya terpisah dari tubuh fisiknya, serta bahwa perasaan keinsafan diri ini lebih hidup (vivid) dan lebih nyata daripada sebuah mimpi.” Penelitian terhadap peristiwa pengalaman OOB mengindikasikan tingkat pengalaman sebanyak 8% (Haraldsson, dkk., 1977) sampai dengan 13% (Blakemore, 1982) dan 14% (Palmer, 1979), serta 34% (Green, 1967).

Peristiwa Perubahan Kesadaran

Secara umum kondisi kesadaran (a state of consciousness) dideskripsikan baik oleh isi (content)-nya maupun bentuk (forma)/cara mengalaminya. ASC, sebagaimana dikemukakan di atas, merupakan suatu keadaan dalam hal mana isi kesadaran yang “luar biasa” (“extraordinarycontent) dialami, atau dalam hal mana cara mengalaminya “tidak biasa” (“unusual”), atau bilamana kedua situasi tersebut terjadi pada saat yang sama. “Keluarbiasaan” tersebut mungkin dapat dianggap subjektif (artinya: berasal dari sudut pandang subjek yang mengalami), atau dapat diikuti dari sudut pandang pendekatan teoretik. Orang dapat dengan mudah memahami bahwa sudut pandang subjektif dan objektif tidak harus serupa. Faktanya, sudut pandang subjektif belum pernah dipelajari secara ekstensif. Kita akan sulit menemukan penelitian terhadap pengalaman yang dianggap tidak biasa oleh para subjek. Di sisi lain, ada juga sejumlah kecil penelitian mengenai peristiwa pengalaman ASC dari sudut pandang teoretik.

Dalam studi preliminer mengenai pengalaman ASC, sebuah pertanyaan terbuka ditambahkan ke dalam States of Mind and Consciousness Questionnaire yang diberikan kepada mahasiswa Universitas Polandia (Kokoszka, 2007). Sebanyak 65 dari 206 (31%) mahasiswa yang menyelesaikan kuesioner tersebut merespons terhadap pertanyaan berikut, “Kami memohon Anda menggambarkan pengalaman yang Anda anggap sebagai paling tidak biasa serta menarik. Mohon gambarkan keadaannya, tingkat kekerapannya, dan pengalaman yang mengiringinya.” Responsnya sebagai berikut:

● 13 subjek (20%) melaporkan perasaan memiliki kemampuan parapsikologis (misalnya, prekognisi, telepati, levitati/pengapungan di udara).

● 12 subjek (18%) menggambarkan kehilangan perasaan realitas (loss of a sense of reality), yang mewujud dalam berbagai situasi yang berbeda, misalnya berada dalam situasi berbahaya, kontak dengan alam, suasana hati yang sangat baik atau sangat buruk. Fenomena déjà vu dan deja vecu dilaporkan oleh 7 subjek (11%) dan pengalaman kontak langsung dengan Tuhan atau Santa Maria dilaporkan oleh 6 orang (9%). Pengalaman lainnya yang kurang sering terjadi adalah pengalaman pencerahan supraintelektual (4 orang, 6%), kontak dengan sebuah kekuatan supranatural (4–6%), perubahan pengalaman badan (4–6%), pengalaman meninggalkan tubuh (3–5%), kehilangan perasan kendali terhadap tubuh sendiri (2–3%), perasaan menyatu dengan apapun (2–3%), pengalaman lupa total (2–3%), dan mispersepsi lainnya (4–6%).

Studi pendahuluan ini menunjukkan bahwa menurut opini para subjek, pengalaman yang mereka anggap sebagai paling tidak biasa tergolong dalam kategori utama pengalaman parapsikologis (20%), fenomena serupa-mistik (perasaan kontak dengan Tuhan, kekuatan supranatural, dan dengan apapun — 18%), dan perubahan perasaan akan realitas (18%).

Penelitian Perubahan Kesadaran dan Psikologi Kesadaran

Sebagaimana dipaparkan di atas, pengalaman ASC adalah pengalaman umum manusia. Tingkat pengalaman umum tersebut lebih tinggi daripada yang dialami orang-orang yang mengalami gangguan mental. Pengalaman-pengalaman tersebut juga tidak dapat dijelaskan secara tegas dalam konteks psikopatologi. Temuan ini mendukung hipotesis bahwa kesadaran bersifat multi-tingkat serta bahwa ada variasi keadaan kesadaran yang dapat dialami seseorang. Peristiwa ASC nampaknya cukup banyak terjadi sedemikian sehingga tidak dapat diabaikan oleh psikologi. Memang mudah untuk berspekulasi dan menjelaskan pengalaman ASC dengan berbagai teori, mulai dari konsep-konsep psikoanalitik (mengenai keadaan transisional atau insidental dari regresi yang cukup mendalam) sampai dengan gagasan pengalaman puncak yang disebutkan oleh psikologi humanistik. Namun demikian, belum ada teori ASC yang terdokumentasi dengan baik. Penelitian komprehensif yang ditujukan untuk pemetaan dan pemahaman dunia batin (inner world) dari pengalaman kita masih merupakan tantangan bagi psikologi kontemporer.

Deskripsi yang sangat komprehensif mengenai kondisi-kondisi kesadaran disajikan beberapa tahun yang lampau oleh James (1904) dan Jaspers (1963). Fenomenologi keadaan kesadaran belum pernah menjadi topik untuk penelitian eksperimental sistematik. Permasalahan telah lama dihindari, utamanya disebabkan karena ketidakpercayaan umum terhadap deskripsi-deskripsi introspektif. Sekarang para ilmuwan telah mengakuinya sebagai sebuah pengalaman manusia dengan makna yang secara krusial penting, yang tidak boleh diabaikan oleh psikologi dan psikiatri. Selama lebih kurang satu dekade terakhir, kita dapat mengamati kebangkitan bertahap dari riset-riset mengenai pikiran yang berkelanjutan (ongoing thoughts) (Singer, 1988) dan pengalaman yang mengalir (flow experience) (Csikszentminhalyi, 1988; Klinger, 1978). Ada juga kemajuan dalam metodologi penelitian-penelitian tersebut. Sebuah metode yang reliabel dan valid untuk pemetaan empiris dan kuantifikasi kesadaran telah dikembangkan oleh Pekala (1991). Penelitian eksperimental yang dilakukannya terhadap fenomenologi keadaan kesadaran berurusan dengan keadaan-keadaan spesifik yang diperkenalkan sebelumnya, dan selanjutnya dinilai secara retrospektif. Meskipun demikian, penelitian mengenai pengalaman internal masih sangat sulit, dan pengetahuan yang didokumentasikan secara ilmiah memiliki pengaruh yang sangat terbatas atau bahkan tidak memiliki makna praktis. Bahasan sebelumnya telah menunjukkan bahwa ASC merupakan pengalaman umum. Namun demikian, deskripsi-deskripsi tentang ASC nampak sangat sederhana atau bahkan artifisial (dibuat-buat) bila dibandingkan dengan variasi subtil (samar) dari pengalaman sehari-hari kita. Analisis literatur, pengalaman sehari-hari, dan secara khusus pengalaman-pengalaman psikoterapeutik mengindikasikan bahwa terdapat sebuah spektrum keadaan kesadaran yang berbeda antar individu.

Sejumlah orang tidak memiliki kemampuan terkait dengan pengalaman emosi yang bersifat sadar, sementara orang yang lain mampu mengamati dan menggambarkan secara rinci variasi dari perasaan mereka. Dengan perkataan lain, ada orang-orang yang “buta emosi” (“emotionally blind”). Bagi mereka, semuanya jelas dan rasional. Namun ada juga orang-orang yang dunia perasaan (world of feelings)-nya begitu kaya sehingga mereka memiliki kesulitan dalam membuat keputusan apapun. Sejumlah orang hidup dalam aktivitas yang sangat intensif dan berkelanjutan sedemikian sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk menghabiskan sementara waktu dalam keadaan pikiran yang pasif (passive state of mind) untuk mengobservasi dunia batin mereka. Sejumlah dari mereka secara sadar menghindari kemungkinan pengalaman keadaan kesadaran oleh karena kecemasan bahwa keadaan-keadaan tersebut dapat merangsang mereka. Di sisi lain, ada orang-orang yang menghabiskan sejumlah besar waktu mereka dalam dunia imajiner internal mereka. Pada saat yang sama, validitas dari metode introspektif masih dipertanyakan.

Oleh karena minimnya data empirik sistematik mengenai fenomenologi variasi pengalaman ASC, maka penelitian lebih lanjut di Indonesia nampak sebagai sebuah urgensi. Instrumen yang dapat digunakan adalah The State of Mind and Consciousness Questionnaire (Kokoszka, 1992, 1993) yang berisi pertanyaan-pertanyaan mengenai (1) keadaan pengalaman kondisi kesadaran spesifik, (2) kekerapan/frekuensinya, (3) pengalaman-pengalaman yang mengiringinya yang terdiri atas sebuah daftar 47 pengalaman. Daftar ini dikonstruksi menurut karakteristik ASC (Ludwig, 1966), deskripsi ultrakesadaran (Dean, 1973), keadaan mistik (Stace, 1976), pengalaman mendekati kematian (Moody, 1976), dan tingkat pralogis dari organisasi psikis (Mazurkiewicz, 1980). Para subjek penelitian dapat diizinkan untuk memberikan deskripsinya sendiri juga. Selanjutnya, peristiwa pengalaman kesadaran dapat dikategorisasikan ke dalam (1) deskripsi situasi, (2) keadaan psikis diri sendiri, (3) proses psikis dan sensoris diri sendiri, (4) aktivitas motorik, dan (5) peristiwa lainnya.

Para peneliti yang terlibat dalam studi-studi tentang kesadaran memfokuskan minat mereka pada sejumlah proses yang mungkin mengarah kepada ASC. Banyak dari mereka berharap bahwa penelitian tentang meditasi, hipnosis, dan deprivasi sensorik akan memiliki makna penting bagi psikologi.

Meditasi

Meditasi merujuk pada sehimpunan teknik yang secara umum memuat upaya sadar untuk memfokuskan atensi dalam sebuah cara yang bersifat non-analitik, serta sebuah upaya untuk tidak tinggal dalam pikiran yang diskursif dan permenungan yang hati-hati (Shapiro, 1980, h. 14). Tak dapat diragukan, meditasi merupakan salah satu dari kondisi yang paling banyak diteliti yang mengantar ke ASC. Karya Wallace, Benson, dan Wilson (1971) tentang meditasi merupakan karya yang penting dalam hal ini. Penelitian psikologis mereka menunjukkan bahwa terdapat perubahan spesifik yang berasal dari meditasi, yang dikonseptualisasikan sebagai respons relaksasi, yakni “keadaan hipometabolik” spesifik dari regenerasi psikofisik yang dimengerti sebagai reaksi tropotropik (Benson, 1975). Namun demikian, kajian terhadap bukti-bukti eksperimental dari reduksi/pengurangan keterbangkitan somatik dalam meditasi oleh Holmes (1984, h. 1) tidak menunjukkan adanya perbedaan yang konsisten antara para subjek yang bermeditasi dan subjek yang beristirahat dalam ukuran-ukuran denyut jantung, aktivitas elektrodermal, tingkat respirasi, tekanan darah sistolik dan diastolik, suhu kulit, konsumsi oksigen, aktivitas EMG, aliran darah, atau beragam faktor-faktor biokimia. Sebuah eksperimen penting yang mendokumentasikan reaksi-reaksi psikofisiologis spesifik dalam meditasi belum pernah dilakukan. Kita hanya memiliki sejumlah laporan yang rentan untuk ditafsirkan secara beragam. Temuan terinci tentang meditasi telah disajikan dalam sejumlah kajian, termasuk kajian terhadap penelitian-penelitian pencitraan saraf (neuroimaging), dan kesimpulannya disampaikan dalam jurnal Meditation Research: The State of Art (Walsh, 1993, h. 60). Kesimpulannya masih valid hingga saat ini, yakni:

“Sementara banyak orang telah mempelajari secara eksperimental tentang meditasi, penelitian masih berada pada tahapan awal. Sampai dengan saat ini, hanya relatif sedikit yang dapat disimpulkan mengenai hubungan antara tujuan tradisional meditasi dan ukuran-ukuran eksperimental.”

Deprivasi Sensorik

Kondisi-kondisi deprivasi sensorik telah menarik perhatian para peneliti (misalnya, Heron, Benxton, & Hebb, 1953; Reed, 1979). Hasil-hasil penelitian awal menunjukkan adanya perubahan dramatis dalam keadaan kesadaran pada kondisi deprivasi sensorik, namun hal ini tidak didukung oleh eksperimen-eksperimen lebih lanjut. Analisis literatur oleh Reed (1979) menunjukkan bahwa terdapat terlalu sedikit bukti yang menunjukkan adanya hubungan sederhana antara deprivasi sensorik dan pengalaman-pengalaman halusinatorik patologis. Namun demikian, ada bukti yang kuat bahwa di bawah kondisi deprivasi sensorik orang mengalami after-images (kesan bahwa gambar tetap hidup/nyata di hadapan mata meskipun stimulus gambarnya tersebut telah dihilangkan), mispersepsi, ilusi, lamunan, fantasi, dan variasi bayangan lainnya. Reed membedakan efek-efek kognitif fundamental dari deprivasi sensorik, sebagai berikut: (a) ketidakmampuan memelihara perhatian/atensi, (b) kemunduran/deteriorasi dalam berpikir logis, © peningkatan keinsafan akan pembayangan/imajeri yang tidak dikehendaki (unwilled) dan anomali perseptual, (d) disorientasi sementara. Masalah konsentrasi mengimplikasikan pelemahan perasaan akan waktu. Gangguan dalam berpikir logis berimplikasi pada gangguan dalam pekerjaan berangkai (gangguan dalam pengalaman waktu).

Akhir-akhir ini, para peneliti menggunakan istilah “teknik stimulasi lingkungan terbatas” (“restricted environmental stimulation technique”/REST) untuk menggantikan istilah deprivasi sensorik.

Hipnosis

Hipnosis merupakan fenomena kontroversial. Meskipun hipnosis dipertimbangkan sebagai sebuah ASC dan bahwa pengalaman ini dapat dicapai dalam sebuah penelitian terkontrol, hasil-hasil penelitian mengenai hal ini sejauh ini belum memberikan makna penting bagi psikologi ASC. Salah satu definisi hipnosis adalah, “Hipnosis merupakan keadaan dalam mana individu mengubah persepsi, memori, atau suasana hatinya dalam menanggapi sugesti-sugesti yang diadministrasikan dalam konteks yang sesuai” (Orne & Dinges, 1988, h. 42). Teori-teori hipnosis dapat dibagi menjadi (Wallace & Fisher, 1991):

● “Teori-teori trans/trance”, yang mempostulasikan bahwa hipnosis merupakan sebuah proses yang melibatkan ASC, termasuk “kedalaman trans” (“trance depth”).

● “Teori-teori sosial”, memandang hipnosis sebagai pembangkitan peran subjek yang dihipnosis sebagaimana didefinisikan oleh orang yang menghipnosis (hipnotis) dan masyarakat.

● “Teori-teori tugas-motivasional”, menyatakan bahwa hipnosis merupakan predisposisi dalam keadaan keinsafan yang normal untuk mengindahkan komando dan sugesti dari seorang hipnotis.

● Menurut Erickson, Rossi, dan para pengikutnya (Erickson, dkk., 1976; Rossi, 1986), hipnosis merupakan cara-cara yang secara ritual menginduksi peningkatan dan penghidupan perilaku ultradian/periodik alamiah tertentu, yakni “trans umum sehari-hari” (“common everyday trance”).

Umpanbalik Biologis

Umpanbalik biologis (biofeedback) merupakan sebuah proses dalam hal mana seseorang belajar secara andal memengaruhi respons-respons fisiologis yang (a) tidak biasa dalam keadaan kendali volunter/sengaja, (b) biasanya mudah diatur, namun kemampuan pengaturannya hilang oleh karena trauma atau penyakit (Blanchard & Epstein, 1978).

Reaksi-reaksi ini dicapai melalui penerapan perlengkapan yang menyajikan data visual atau auditorik mengenai parameter-parameter fisiologis subjek, misalnya tingkat denyut jantung, resistensi elektrodermal (indikator ketegangan). Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi pengaturan diri (self-regulation) terhadap proses-proses fisiologis melampaui batas-batas pengalaman umum, serta memberikan sejumlah pembenaran bagi deskripsi-deskripsi populer mengenai keadaan-keadaan tidak biasa yang dicapai oleh para praktisi yoga. Saat ini biofeedback dikenal dengan baik sebagai metode terapeutik alternatif atau tambahan untuk menangani banyak gangguan medis, seperti migrain, low back pain, fecal incontinence (tidak dapat menahan buang air besar), hipertensi esensial, gangguan kecemasan. Namun demikian, mekanisme dari tindakan biofeedback ini belum secara penuh ditemukan (Blanchard, 2000).

Keadaan Kesadaran Dalam Tidur

Siklus 90 menitan dari tahapan tidur telah didokumentasikan dengan baik dan diterima secara luas sebagai fakta. Tahapan ini secara umum dibagi menjadi dua keadaan utama; satu diiringi oleh rapid eye movements (tidur REM), dan kedua, tidur non-REM (NREM, yang mengandung empat tahapan di dalamnya). Tidur REM merupakan kondisi terbaik untuk mimpi. Namun demikian, aktivitas mental serupa tidur (dreamlike mentation) terjadi dalam banyak tahapan, termasuk quiet waking, sleep onset, dan bahkan tidur NREM. Mekanisme neurofisiologis dari tidur REM mengantar kepada penciptaan sebuah model mimpi (Hobson, 2000). Menurut model ini:

● Dalam keadaan bangun/terjaga: sensasi dan persepsi hidup dan dihasilkan secara eksternal; pikiran bersifat logis dan progresif; gerakan bersifat berkelanjutan dan sengaja/sukarela.

● Dalam tidur NREM: sensasi dan persepsi tumpul atau tiada; pikiran bersifat logis dan perseveratif; gerakan bersifat episodik dan tidak sukarela (involunter);

● Dalam tidur REM: sensasi dan persepsi hidup dan dihasilkan secara internal; pikiran bersifat tak logis dan aneh (bizarre); gerakan dikomandokan namun terhambat (inhibited).

Penemuan fenomena “lucid dream” (bermimpi, dalam hal mana si pemimpi menyadari fakta bahwa dirinya sedang mengalami mimpi) menunjukkan bahwa seseorang mungkin dapat insaf bahwa dirinya hanya bermimpi serta memanipulasi isi mimpi ketika tertidur. Kemampuan ini mungkin dapat dilatih. Lucid dream menantang pandangan bahwa tidak ada kontrol sadar selama tidur (LaBerge & Gackenbach, 1986; Tholey, 1989).

Hemisfer Otak

Penelitian neurologis terhadap dominasi hemisferik (belahan otak) memiliki pengaruh besar terhadap penelitian ASC, khususnya setelah hasil-hasil penelitian terhadap subjek pasca komisurotomi (pemotongan saraf) (Sperry & Gazzaniga, 1967) yang menunjukkan independensi relatif dan ketidakserupaan fungsi dari hemisfer-hemisfer otak. Kita juga memfokuskan perhatian kita pada penelitian yang menunjukkan perubahan EEG yang menyusuli aktivitas-aktivitas hemisferik yang berbeda (Goldstein, Stoltzfus, & Gardocki, 1972), juga hasil-hasil yang menunjukkan hubungan sederhana antara perubahan aktivitas hemisferik yang terukur oleh EEG dengan siklus hidung yang diekspresikan oleh perubahan siklis dalam aktivitas membran lendir (nasal mucous membranes) yang terjadi bergantian pada kedua bagian hidung. Werntz, Bickford, Bloom, dan Sing-Khulsa (1982) menciptakan sebuah metode yang relatif sederhana untuk meneliti aktivitas hemisferik. Banyak dikotomi-dikotomi psikologis fungsional yang terkait dengan aktivitas hemisfer-hemisfer partikular. Budzynski (1986) menemukan 26 dikotomi dan mengklaim bahwa daftar ini masih belum lengkap. Secara umum hemisfer kiri terkait dengan fungsi-fungsi logis analitis, kausal (sebab akibat), pikiran logis terinci; sementara hemisfer kanan terkait dengan pemikiran intuitif sintetik. Penelitian oleh Basic Rest Activity Cycle (Kleitman, 1982) nampaknya menjanjikan, karena ia menemukan bahwa banyak fungsi-fungsi fisiologis yang berbeda bersifat siklis dalam interval 90 menitan. Dari sudut pandang psikologis, sejumlah penelitian penting menunjukkan sebuah lingkaran (siklus) aktivitas imajinasi dan gaya kognitif.

Temuan-temuan Neurologis

Ada sejumlah data dari penelitian neurologis yang berurusan dengan pengalaman-pengalaman subjektif. Sejumlah temuan ini mengindikasikan adanya koeksistensi dari tanda-tanda lobus temporal, pengalaman anomali, dan pengalaman religius. Sindrom blindsight (suatu kondisi medis dalam hal mana seorang buta merespons terhadap stimuli visual tanpa secara sadar mempersepsinya) (Weiskrantz, 1986) digambarkan di antara para pasien neurologis yang mengklaim tidak melihat stimuli tertentu namun demikian merespons terhadap informasi dasar yang disampaikan oleh stimuli tersebut. Hal ini menyiratkan adanya disosiasi dari keinsafan terhadap kemampuan untuk mendiskriminasikan stimuli visual. Fenomena prosopagnosia merupakan kemampuan untuk mempersepsikan wajah yang akrab (familiar) tanpa secara sadar mengenali (rekognisi) mereka. Kedua fenomena tersebut merupakan contoh dualitas tanpa pengalaman subjektif, dan dualitas persepsi subliminal (Merikle, 2000). Kajian literatur psikobiologi tentang ASC yang komprehensif dan terinci serta mutakhir belum memberikan kesimpulan yang tegas.

Teori-teori Klasik Tentang Kesadaran

William James

Dalam psikologi Amerika, kelahiran studi tentang kesadaran paling sering dirunut kepada William James (1890, 1904). Teori mind dari James diketahui sebagai fungsionalisme. Mind merupakan sebuah fungsi dari organisme, yang di samping memungkinkan individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, juga memungkinkan individu untuk mengubah lingkungan sesuai dengan kebutuhannya. Kesadaran memainkan peran khusus dalam proses ini. Menurut James, kesadaran dapat diketahui melalui observasi introspektif, yaitu “meninjau ke dalam mind kita sendiri dan melaporkan apa yang kita temukan di sana” (James, 1890, h. 185). Ia mencatat bahwa keadaan-keadaan kesadaran adalah seperti sebuah arus (stream). Ia mendeskripsikan empat karakteristik utama dari arus tersebut:

1. Setiap pikiran merupakan properti (atribut) dari sebuah kesadaran personal. Tidak mungkin pikiran yang sama merupakan properti dari lebih dari satu kesadaran personal.

2. Pikiran berada dalam perubahan yang konstan. Ketika sebuah keadaan kesadaran atau perubahan kesadaran telah berlalu, keadaan yang ada tidak mungkin identik dengan keadaan sebelumnya. Kesadaran berada dalam keadaan berubah terus-menerus (flux).

3. Kesadaran personal merasakan kontinuitas (keberlanjutan), meskipun bagian-bagian kesadaran mengalir ke satu sama lain dalam aliran-aliran yang bervariasi. Terdapat relasi antar bagian-bagian pikiran. Kontinuitas kesadaran terjadi berkat adanya “tepian” (“fringe”). Tepian ini menghubungkan sebuah datum dengan data lainnya, menghubungkan satu bagian kesadaran dengan bagian lainnya.

4. Arus kesadaran lebih banyak terlibat dalam suatu bagian dari objek kesadaran. Hanya aktivitas dari kesadaran yang terlibat lah yang memberikan perintah kepada perubahan konstan pada pikiran dan perasaan.

Dalam bukunya, The Varieties of Religious Experience, James (1902) membuat sebuah deskripsi terinci mengenai keragaman yang luas dari “keadaan pikiran” (“state of mind”), termasuk “keadaan mistik dan superkesadaran”. Buku James ini dikenal sebagai sumbangsih signifikan pertama terhadap psikologi ASC. James mengakui bahwa kesadaran dapat dipertimbangkan kemungkinannya baik sebagai proses (arus) maupun sebagai keadaan (state). Lebih lanjut, sebagaimana juga ditunjukkan oleh Ludwig (1966), James menyajikan sebuah tesis mengenai diskontinuitas antara kesadaran biasa dan ASC. Dalam karyanya, James memandang kesadaran dengan cara yang berbeda dari tulisan-tulisan yang ada sebelumnya mengenai arus kesadaran. Mellone (1939) melihat bahwa James dalam bukunya mengungkapkan konsep kesadaran subliminal yang merupakan sebuah bentuk kesadaran dalam pengertian arus kesadaran, namun berada pada sebuah tingkat yang berbeda dari kesadaran normal.

Karl Jaspers

Penelitian-penelitian Eropa tentang kesadaran berakar pada analisis fenomenologis Karl Jaspers (1913) dalam karya raksasanya, General Psychopathology. Karya ini masih merupakan salah satu deskripsi yang paling rinci dan jelas mengenai berbagai keadaan kesadaran yang patologis dan nonpatologis.

Menurut Jaspers (1963, h. 10), kehidupan psikis mencakup kesadaran bersamaan dengan mekanisme ekstrasadar dan peristiwa-peristiwa tak sadar. “Pengalaman-pengalaman psikis yang langsung dan aksesibel adalah seperti busa/gelembung (foam) di permukaan laut. Kedalamannya tidak dapat diakses dan hanya dapat dieksplorasi dengan cara tak langsung dan teoretik.”

Istilah “kesadaran” menunjukkan pertama-tama keinsafan batin aktual akan pengalaman (yang dikontraskan dengan eksternalisasi peristiwa yang merupakan subjek penyelidikan biologis). Kedua, kesadaran merupakan dikotomi subjek-objek. Seorang subjek secara intensional mengarahkan dirinya kepada objek yang dipersepsi, dibayangkan, atau dipikirkan oleh dirinya. Ketiga, kesadaran menunjukkan pengetahuan tentang diri yang sadar (keinsafan diri/self-awareness).

Ketidaksadaran pertama-tama bermakna sesuatu yang bukan merupakan sebuah eksistensi batin dan tidak terjadi sebagai sebuah pengalaman. Kedua, ketidaksadaran adalah sesuatu yang tidak dipikirkan sebagai sebuah objek dan menguap pergi tak dipertimbangkan. Ketidaksadaran mungkin telah dipersepsikan dan karenanya dapat diingat kembali (recalled) di kemudian waktu. Ketiga, ketidaksadaran merupakan sesuatu yang belum mencapai pengetahuan tentang dirinya sendiri.

Menurut Jaspers (1963, h. 138), kita membayangkan kesadaran sebagai sebuah panggung dalam hal mana fenomena psikis individu datang dan pergi atau sebagai sebuah medium di mana kesadaran bergerak. Sebagai sesuatu yang bersifat psikis, kesadaran secara alamiah berkenaan dengan semua fenomena psikis serta memiliki sejumlah wahana/mode. Sebagai sebuah metafora, kita dapat mengatakan bahwa panggung tersebut dapat mengerut (penyempitan kesadaran), atau medium dapat tumbuh padat (pemekatan kesadaran/clouding of consciousness), dan sebagainya.

Lapangan kesadaran yang jernih (clear consciousness) dalam total keadaan kesadaran diistilahkan sebagai lapangan perhatian (field of attention). Lapangan ini mencakup tiga fenomena yang secara konseptual dekat namun berbeda (distingtif), yakni:

1. Atensi sebagai pengalaman mengarahkan seseorang kepada sebuah objek.

2. Tingkat atensi, yakni derajat kejernihan dan distingsi (keberbedaan yang khas) dari isi kesadaran.

3. Efek dari kedua fenomena di atas pada rangkaian kehidupan psikis lebih lanjut (misalnya, membangkitkan asosiasi-asosiasi lebih lanjut).

Menurut Jaspers, (1963, h. 139–140), ASC memiliki banyak wahana/mode. Faktor umumnya adalah faktor negatif bahwa segenap perubahan dalam kesadaran merepresentasikan “perginya” keadaan kejernihan yang normal, kontinuitas, dan hubungan sadar dengan diri. Keadaan normal kesadaran merupakan derajat yang sangat bervariasi dari kejernihan dan kekomprehensifan, serta dapat memiliki isi yang sangat heterogen. Keadaan normal kesadaran merupakan poin fokus. Di sekitarnya, dalam semua arah, dapat kita temukan terjadinya penyimpangan (deviations), perubahan (alterations), perluasan (ekspansi) dan pembatasan (restriksi) keadaan ini. Menurut Jaspers, ada banyak ASC yang cukup normal dan dapat diakses oleh semua orang (misalnya tidur dan mimpi), dan ada ASC yang bergantung pada kondisi-kondisi tertentu. Jaspers mengapresiasi pendekatan Schultz (1932) mengenai relaksasi sebagai sebuah bentuk hipnosis diri. Jaspers memandang variasi yang luas dari fenomena yoga sebagai “mekanisme-mekanisme normal”.

Sigmund Freud

Freud (1933) menemukan bahwa aktivitas mental tidak bersifat berdimensi tunggal (unidimensional). Melainkan, kesadaran nampaknya berada dalam tiga tingkat. Salah satu dari ketiga tingkat ini cukup nyata, dan merupakan kondisi umum keinsafan akan diri seseorang dan lingkungannya. Ia menyebut tingkat ini sebagai tingkat kesadaran. Namun demikian, ia menemukan bahwa sejumlah informasi tidak lekas tersedia bagi pasien untuk diproses atau ditangani dalam sebuah setting terapeutik. Dengan sejumlah pertolongan melalui terapi dan/atau berlalunya waktu, informasi ini dapat dibawa ke tingkat kesadaran. Ia menyebut tingkat kedua ini sebagai prasadar (preconscious). Akhirnya, Freud menyadari bahwa ada tingkat kesadaran ketiga. Tingkat ini secara ekstrim sulit diakses dan berisi informasi yang mungkin mengganggu atau membahayakan pasien, dan sebagai hasilnya, dihalangi/diblok agar tidak hadir dalam permukaan kesadaran. Informasi yang terhambat ini terkandung dalam ketidaksadaran. Agar informasi ini hadir dalam tingkat kesadaran, seringkali diperlukan terapi yang memakan waktu tahunan. Untuk memperoleh akses ke ketidaksadaran, Freud berminat dalam mimpi-mimpi dari para pasiennya. Ia meyakini bahwa aktivitas mimpi merupakan sebuah sumber yang berharga mengenai materi ketidaksadaran. Ketika para pasien Freud melakukan asosiasi bebas (free association) mengenai mimpi-mimpi mereka, Freud menemukan metode yang ia gunakan paling sering sepanjang kariernya. Bagi Freud (1900), mimpi memuat simtom-simtom neurotik yang disimbolkan. Isi mimpi menampakkan sebuah sistem pikiran, perasaan, dan ingatan tak sadar yang lengkap yang mendasari perilaku sadar.

Freud (1900) meyakini bahwa mimpi-mimpi, sebagai ekspresi dalam ketidaksadaran, memaparkan hasrat-hasrat atau dorongan-dorongan yang ditekan (direpresi) manusia selama kesadaran terjaganya. Sebagai manusia yang beradab, pikiran-pikiran primitif seperti nafsu/syahwat (lust), kebencian (hatred), dan keserakahan (greed) tidak dapat diterima, dan karenanya tidak diakui keberadaannya secara sadar. Namun demikian, selama mimpi, kemampuan untuk mensupresi pikiran-pikiran terlarang tersebut adalah jauh lebih lemah, dan dengan demikian pikiran-pikiran tersebut dapat muncul dalam sebuah mimpi. Pikiran-pikiran yang tak dapat diterima selanjutnya diubah dalam simbol-simbol yang menyembunyikan makna aktualnya. Simbol-simbol ini merupakan tanda-tanda sederhana yang seringkali dapat direduksi pada makna seksual.

Dalam membaca karya-karya Freud, kita dapat merangkum kontribusi utamanya terhadap penelitian tentang kesadaran dan perubahannya dengan mendeskripsikan tiga tingkat kesadaran, serta bagaimana orang dapat memperoleh akses kepada dua tingkat yang lebih rendah, khususnya melalui psikoanalisis dan analisis isi mimpi. Selanjutnya, Freud mengembangkan sebuah koleksi elaboratif tentang simbol-simbol mimpi, yang sering ia jadikan sumber dari mana ia menyimpulkan tanda-tanda makna seksual. Akhirnya, penafsiran mimpi memungkinkan seorang terapis memperoleh akses kepada ketidaksadaran pasien.

Kita dapat menemukan opini Freud mengenai ASC dalam salah satu kertas kerjanya (Freud, 1930). Ia menyajikan pemahamannya mengenai “perasaan oseanik” (oceanic feeling) yang dianggapnya sebagai ASC umum (topikal) dalam psikologi kesadaran kontemporer. Freud menjelaskan perasaan oseanik sebagai sebuah sensasi keabadian (eternity), sebuah perasaan akan sesuatu yang tak terbatas (limitless), bebas (unbounded) (Freud, 1930, h. 767), sebuah perasaan purba akan ego, yang secara alamiah terjadi dalam perkembangan ego, yang dipelihara dalam kehidupan dewasa pada sejumlah orang. Freud berpendapat bahwa perasan ego primer ini:

has been preserved in the minds of many people — to a greater or lesser extent — it would co-exist like a sort of counterpart with narrower and more sharply outlined ego-feeling of maturity, and the ideational content belonging to it would precisely be the notion of limitless extension and oneness with universe — the same feeling as described by my friend as ‘oceanic’” (Freud, 1930, h. 768).

--

--

Juneman Abraham
Juneman Abraham

Written by Juneman Abraham

Psikolog Sosial | Peneliti Psikoinformatika & Psikologi Korupsi | Sains Terbuka | Blog: http://juneman.blog.binusian.org and http://junemanblog.wixsite.com/blog

No responses yet