Kehidupan sebagai Penerjemah (6): Bahasa dan Berpikir
Pada 2011, saya menerjemahkan sejumlah karya yang saya pilih dalam bidang psikologi, semata-mata untuk memperkaya materi kuliah Psikologi Umum bagi mahasiswa di fakultas psikologi. Terjemahan ini tidak dimaksudkan pertama-tama untuk dikutip. Kendati demikian, apabila hendak dikutip juga, Anda dapat menerakan hal sebagai berikut di dalam Daftar Pustaka Anda:
Lund, N. (2003). Language and thought (Penerjemah/Translator: Juneman Abraham). New York, NY: Routledge.
Topik bahasa dan pikiran berhubungan dengan psikologi kognitif. Solso (1998, h. 2) mendefinisikan psikologi kognitif sebagai “the scientific study of the thinking mind”. Dengan demikian, psikologi kognitif mencakup beragam ranah penelitian, termasuk di antaranya bahasa dan pikiran. Bahasan dan pikiran memegang peran sentral dalam semua aktivitas manusia karena merupakan medium kehidupan mental dan sosial kita. Bahasa digunakan baik untuk berkomunikasi dengan orang-orang lain maupun untuk memantau pikiran internal kita. Sebagaimana Harley (2001, h. 1) menyatakan, “Dalam sejumlah hal atau lainnya, bahasa begitu mendominasi aktivitas sosial dan kognitif kita, sedemikian sehingga kita sulit membayangkan apa itu kehidupan tanpanya.” Banyak orang memandang kemampuan menggunakan bahasa dan pikiran rasional sebagai kualitas manusia yang unik, dan bahwa kemampuan-kemampuan inilah yang membedakan manusia dari binatang.
Bahasa
Kemampuan berbahasa manusia merupakan keahlian yang kompleks yang sulit dimuat dalam sebuah definisi yang sederhana. Di samping itu, bahasa manusia dapat mewujud dalam banyak bentuk, serta dapat diucapkan (spoken), dituliskan (written), atau ditandakan (signed). Salah satu jalan untuk memayungi kompleksitas bahasa adalah dengan mengidentifikasikan sejumlah karakteristik yang menggambarkan ciri-ciri mendasarnya. Sebagai contoh, Hockett (1960) mendeskripsikan 16 (enam belas) “karakteristik rancangan”, antara lain adalah penggantian (displacement), kesewenangan (arbitrariness), makna (semanticity), dan produktivitas.
● Displacement adalah kemampuan menggunakan bahasa untuk mendiskusikan hal-hal yang terlepas dari ruang dan waktu. Sebagai contoh, Anda dapat membicarakan peristiwa-peristiwa yang terjadi kemarin di Timor Leste.
● Kesewenangan (arbitrer) adalah sifat simbolik dari bahasa. Bunyi-bunyian, simbol-simbol, atau tanda-tanda yang kita gunakan untuk merepresentasikan gagasan-gagasan atau objek-objek adalah sewenang-wenang. Sebagai contoh, “kata ‘anjing’” tidak berbunyi seperti gonggongan anjing. Kata “anjing” juga tidak nampak seperti anjing ketika dituliskan. Kata tersebut hanya mewakili anjing. Tidak ada penjelasannya.
● Semantisitas merupakan makna yang kita muati dalam simbol-simbol yang sewenang-wenang tadi. Kata-kata memiliki makna terbagi (shared meaning) yang mengomunikasikan gagasan-gagasan antara orang yang satu dengan orang yang lain.
● Produktivitas menggambarkan kreativitas bahasa. Kita dapat menciptakan dan mengerti sejumlah besar kalimat-kalimat baru oleh karena kita mampu mengombinasikan dan mengombinasikan-ulang kata-kata dengan menggunakan aturan-aturan. Bahkan serangkaian kata yang aneh yang belum pernah kita dengar sebelumnya dapat kita mengerti apabila disajikan sebagai sebuah kalimat.
Ada sejumlah komponen bahasa yang menjadi objek studi masing-masing bidang terkait. Misalnya, fonologi merupakan studi tentang bunyi-bunyian yang dibuat dalam ucapan serta cara bunyi-bunyian ini dikombinasikan bersama. Morfologi berurusan dengan struktur kata, karena kata-kata disusun oleh satu atau lebih unit-unit yang lebih kecil yang disebut morfem. Semantik merupakan studi tentang makna kata atau makna kombinasi kata-kata. Sintaks merupakan aturan-aturan tentang bagaimana kata-kata dan frase-frase (kelompok-kelompok kata) dapat dikombinasikan bersama. Aturan-aturan sintaksis inilah yang mengatur apakah kombinasi-kombinasi kata itu gramatikal (sesuai dengan tata bahasa) ataukah tidak.
Pragmatik merupakan studi tentang penggunaan bahasa untuk berkomunikasi. Dalam sebuah percakapan, ada hal-hal yang lebih dari sekadar membagi semantik dan sintaks umum, karena percakapan mensyaratkan berbicara bergantian (turn — taking), responsif terhadap orang lain, dan sebagainya. Pragmatik meninjau penggunaan bahasa dalam interaksi sosial. Soenjono Dardjowidjodjo (2003) memberikan contoh. Kalau kita mendengar orang berkata, “Aduh, panas benar ya, di sini!”, kita dapat memahaminya sebagai permintaan untuk kita membuka jendela atau menyalakan kipas angin, bukan hanya sekadar memahami apa yang ia katakan. Dardjowidjodjo selanjutnya memberikan contoh kembali. Coba bayangkan percakapan antara dua orang yang sudah saling mengenal, sebagai berikut. A: “Ada rokok, nggak?” B: “Ada.” Akan terasa aneh bagi A bila setelah menjawab “Ada” B hanya berhenti di situ saja, tidak mengeluarkan bungkus rokoknya. Keanehan ini disebabkan oleh karena kalimat A bukanlah semata-mata kalimat pertanyaan, tetapi sekaligus juga kalimat permintaan. Tidak mustahil pula bahwa antara kalimat sayu dengan kalimat berikutnya tidak ada kaitan sintaktiknya. C: “Aduh, lapar nih.” D: “Tuh, di pojok ada warung.” Nampak di sini bahwa kalimat C dan D tidak ada kaitan sintaktiknya. Namun, maknanya jelas: Jika Anda memang lapar dan mau makan, pergilah ke warung di pojok jalan itu (Dardjowidjodjo, 2003).
Teori-teori bahasa yang berbeda mengenai pemerolehan bahasa (language acquisition) cenderung berfokus pada komponen-komponen kebahasaan yang berbeda pula. Ada yang berkonsentrasi pada sintaks, dan ada yang berkonsentrasi pada pragmatik.
Kompleksitas bahasa menimbulkan banyaknya metode yang mempelajarinya (Lund, 2003). Studi tentang hubungan antara bahasa dan pikiran seringkali dilakukan dengan menggunakan studi-studi kebahasaan lintas budaya. Studi-studi ini meninjau baik perbedaan dalam tata bahasa antar bahasa maupun jumlah kata yang digunakan untuk merujuk pada objek-objek atau situasi-situasi dalam berbagai budaya/negara. Namun demikian, studi-studi ini masih problematik karena tidak mungkin untuk melakukan penerjemahan langsung (direct translations) dari satu bahasa ke bahasa lainnya. Pendekatan studi lainnya adalah dengan meninjau jenis-jenis bahasa yang digunakan anak-anak pada tahap-tahap perkembangan kognitif yang berbeda, guna menentukan apakah perkembangan kognitif dan perkembangan linguistik itu terkait. Aspek-aspek sosial dan kultural dari bahasa juga melibatkan perbandingan antar kelompok. Perbandingan ini dapat digunakan untuk menyelidiki apakah perbedaan linguistik antar kelompok memengaruhi berpikir/pikiran.
Perkembangan bahasa dipelajari dengan dua cara utama, yakni observasi alamiah (natural observation) atau tes terstruktur yang lebih formal (structured testing) (Owens, 2001). Observasi alamiah melibatkan pengumpulan contoh-contoh ucapan/ujaran (speech) dari anak-anak dalam lingkungan alamiah, seperti di rumah atau sekolah. Data ini dapat dikumpulkan dengan beragam cara (perekaman suara/audiotaping, perekaman video/videotaping, catatan harian orangtua, dan sebagainya), serta dapat tak berstruktur (ketika peneliti hanya merekam percakapan-percakapan dengan anak) atau pun berstruktur (ketika peneliti mencoba untuk memperoleh ujaran mengenai sebuah topik). Keuntungan nyata dari observasi alamiah adalah bahwa pengamatan ini memberikan gambaran umum tentang ujaran normal seorang anak yang mungkin tidak dapat kita dengar dalam studi yang lebih formal. Namun demikian, meskipun metode ini dapat memberikan gambaran umum tentang produksi ucapan, metode ini mungkin kehilangan data bahasa yang jarang digunakan. Di samping itu, perilaku anak yang diamati dapat tidak mencerminkan kompetensi linguistiknya (Owens, 2001). Teknik-teknik yang lebih formal seperti tes-tes terstruktur atau eksperimen-eksperimen memungkinkan peneliti untuk mengumpulkan informasi yang mungkin tidak dapat diakses/diperoleh dari pengamatan alamiah. Sebagai contoh, kita sulit untuk menilai atau melakukan asesmen terhadap komprehensi/pemahaman bahasa seorang anak dari observasi alamiah, namun hal ini relatif mudah kita lakukan dengan menggunakan tes-tes terstruktur. Tes-tes juga memungkinkan peneliti untuk mempelajari bentuk-bentuk ujaran yang jarang terjadi (misalnya, kalimat pasif). Namun demikian, teknik-teknik ini tidak memerlihatkan bagaimana anak tersebut menggunakan bahasa dalam penggunaan sehari-hari, jadi mungkin lebih mencerminkan penggunaan bahasa dalam tes daripada dalam bahasa normal. Ukuran lain yang digunakan dalam studi perkembangan bahasa adalah MLU (mean length of utterance). Ini merupakan ukuran dari rerata jumlah kata dalam sebuah kalimat yang digunakan seorang anak. Secara normal MLU dihitung dengan mencacah jumlah kata yang digunakan dalam 100 kalimat dan selanjutnya membaginya dengan angka 100. MLU merupakan suatu ukuran kompleksitas ujaran anak-anak. Penting untuk kita ketahui bahwa pengertian/komprehensi anak-anak tentang bahasa tidak selalu tercermin dalam ujaran/ucapan atau produksi katanya. Dalam tahap-tahap awal pemerolehan bahasa, komprehensi secara umum mendahului produksi.
Berpikir
Berpikir (thinking) merupakan sebuah proses kompleks yang memengaruhi setiap aspek dari kehidupan kita. Namun demikian, kita kurang mengapresiasinya dan menganggapnya sudah terberi begitu saja (“taken for granted”). Istilah “berpikir” mencakup sejumlah aktivitas yang sulit untuk didefinisikan, namun Solso (1998, h. 420) membatasinya sebagai:
“Sebuah proses dengan mana sebuah representasi mental baru dibentuk melalui transformasi/pengubahan informasi oleh interaksi kompleks dari atribut-atribut mental, seperti menilai (judging), mengabstraksikan, menalar (reasoning), membayangkan (imaging), dan memecahkan masalah”.
Solso mencatat bahwa ada tiga gagasan dasar tentang berpikir. Pertama, berpikir bersifat kognitif. Dengan perkataan lain, berpikir melibatkan sebuah pemrosesan internal informasi. Kedua, berpikir melibatkan manipulasi pengetahuan. Ketiga, berpikir diarahkan menuju pemecahan/solusi. Namun demikian, Eysenck dan Keane (2000) menyatakan bahwa berpikir dapat bervariasi arahnya, dari yang relatif tak terarah (misalnya, lamunan) sampai dengan yang terarah (misalnya, memecahkan masalah persamaan matematis atau mengambil keputusan).
Pemecahan masalah (problem solving) merupakan ciri umum dari hampir setiap aspek kehidupan kita. Permasalahan terjadi dalam kerja, dalam interaksi sosial, dan sebagainya. Sebuah masalah terjadi bila kita memiliki sebuah tujuan, namun tidak mengetahui bagaimana mencapainya. Sebagai contoh, Anda ingin menghubungi seorang kawan, namun ia telah kehilangan perangkat teleponnya. Dalam hal ini terdapat tujuan yang jelas, namun cara/jalan untuk mencapainya belum atau tidak jelas. Pengambilan keputusan (decision making) berurusan dengan penilaian (judgments), serta melibatkan pemeriksaan (asesmen) dan selanjutnya pemilihan dari sejumlah alternatif. Sebagai contoh, Anda harus memutuskan apakah akan mengambil liburan pendek di sebuah lokasi yang mahal ataukah mengambil liburan panjang di sebuah lokasi yang lebih murah biayanya. Eysenck dan Keane (2000) menyatakan bahwa pemisahan antara pemecahan masalah dan pengambilan keputusan mencerminkan bagaimana penelitian tentang berpikir (thinking) berkembang secara historis. Pemisahan kedua bahasan ini tidak tercermin dalam pemikiran sehari-hari, karena seringkali keputusan-keputusan yang kita buat adalah mengenai permasalahan dalam kehidupan kita. Namun demikian, pembagian/pemisahan tersebut berguna sebagai objek studi (subject matter).
Pada satu tingkat, studi tentang pemecahan masalah dan pengambilan keputusan bersifat relatif langsung. Peneliti dapat memanipulasi variabel-variabel, seperti pemberian instruksi, jenis masalah, dan sebagainya, serta merekam respons-respons partisipan, seperti kecepatan memecahkan masalah (Robertson, 2001). Namun demikian, kebanyakan peneliti berminat dalam hal-hal yang terjadi antara penyajian masalah dan jawabannya. Dengan perkataan lain, mereka meminati proses-proses pikiran yang mengarah pada jawaban, dan hal ini hanya dapat disimpulkan dari mempelajari perilaku. Pertanyaan mengenai bagaimana mempelajari aktivitas mental, seperti pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, telah mengusik para psikolog sepanjang sejarah psikologi, dan telah menjadi jantung perdebatan. Psikologi mula-mula secara luas merupakan studi tentang kehidupan mental, dan melibatkan metode introspektif. Dengan perkataan lain, studi ini meminta para partisipan untuk mencoba mendeskripsikan pikiran-pikiran mereka sendiri. Metode studi ini berubah dengan munculnya behaviorisme, yang penekanan utamanya adalah pada studi tentang perilaku. Studi tentang aktivitas mental dipandang tidak ilmiah karena tidak dapat diobservasi. Dengan bangkitnya psikologi kognitif, ada minat baru terhadap aktivitas mental. Psikologi kognitif berurusan dengan bagaimana aktivitas mental memediasikan perilaku. Sebagaimana dinyatakan sebelumnya, Solso (1998, h. 2) mendefinisikan psikologi kognitif sebagai “the scientific study of the thinking mind”. Namun demikian, hal ini menimbulkan masalah: bagaimanakah sesuatu yang tidak dapat diamati dapat dipelajari secara ilmiah?
Garnham dan Oakhill (1994) mendeskripsikan dua metode utama untuk mempelajari proses-proses berpikir yang terlibat dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, yakni analisis protokol dan pemodelan komputer. Analisis protokol meminta partisipan untuk “think aloud” (mengucapkan apa saja yang mereka pikirkan) ketika mereka memecahkan masalah atau membuat keputusan. Laporan verbal (protokol) ini selanjutnya dianalisis untuk memperoleh informasi mengenai proses-proses yang terlibat. Asumsi sentral dari pendekatan kognitif ialah bahwa manusia, sebagaimana komputer, harus memproses informasi. Banyak dari pemrosesan informasi ini tidak aksesibel karena kita tidak menyadarinya. Namun demikian, hasil-hasil dari proses-proses ini tersedia (ada) dan membentuk kata-kata serta bayangan-bayangan dari memori kerja kita. Hal-hal inilah yang ditampakkan oleh analisis protokol (Robertson, 2001). Metode kedua untuk mempelajari proses-proses yang terlibat dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan adalah dengan menggunakan pemodelan komputer. Program-program komputer dirancang untuk mensimulasikan pemecahan masalah manusia. Ini juga berbasiskan pendekatan pemrosesan informasi serta gagasan bahwa permasalahan dipecahkan dan keputusan dibuat dalam serangkaian tahap. Model-model komputer didesain untuk mensimulasikan proses pada tiap-tiap tahap ini. Apabila model-model ini berhasil maka dianggap bahwa manusia pun mungkin menggunakan rangkaian (sekuens) proses yang sama untuk memecahkan masalah atau mengambil keputusan.
Hubungan Antara Bahasa dan Berpikir
Suatu ciri komunitas manusia apabila dibandingkan dengan komunitas binatang adalah penggunaan bahasa. Bahasa merupakan sebuah bagian vital dari setiap kebudayaan manusia serta merupakan alat sosial yang mumpuni yang kita kuasai pada usia-usia awal. Ciri kedua dari manusia adalah kemampuan kita untuk memecahkan permasalahan kompleks dan/atau abstrak. Meskipun sejumlah binatang mampu memecahkan permasalahan sederhana, tidak ada yang kapabel untuk memecahkan permasalahan yang terlibat dalam hal-hal seperti eksplorasi ruang atau bahkan dalam perancangan sebuah eksperimen psikologi. Selama berabad-abad, para filsuf telah mempertanyakan apakah kedua kemampuan ini berhubungan, dan, apabila memang berhubungan, bagaimanakah sifat hubungan antara bahasa dan pikiran. Pada permulaan abad terakhir ini, para psikolog ikut serta dalam debat ini. Topik ini telah menghasilkan banyak sekali penelitian.
Piaget melakukan eksperimen guna mengetahui lebih lanjut masalah ini. Piaget meneliti anak-anak untuk melihat bagaimana bahasa terkait dengan pikiran. Menurut Piaget (1924, dalam Dardjowidjodo, 2003), ada dua macam modus pikiran, yakni (1) pikiran terarah (directed) atau pikiran inteligen, dan (2) pikiran tak terarah atau pikiran autistik. Piaget menjelaskan:
“directed thought is conscious, i.e., it pursues an aim which is present to the mind of the thinker; it is intelligent, which means that it is adapted to reality and tries to influence it; it admits of being true or false … and it can be communicated by language. Autistic thought is subconscious, which means that the aims it pursues and the problem it tries to solve are not present in the consciousness; it is not adapted to reality, but create for itself a dream world of imagination; it tends not to establish truth, but so to satisfy desires, and it remains strictly individual and incommunicable as such by means of language.”
Kenyataan bahwa anak berbicara pada orang lain maupun pada dirinya sendiri menimbulkan pertanyaan apakah ada derajat komunikabilitas pada anak. Piaget percaya hal itu ada. Ia menamakan bentuk tengah ini sebagai pikiran egosentris, dan bentuk bahasanya sebagai bahasa egosentris. Sosialisasi dengan anak lain dan alam sekitar menurunkan derajat egosentrisme. Makin besar sosialisasi itu, makin mengecil ujaran egosentrisnya, dan lama-lama hilang.
Sementara itu, psikolog Rusia, Vygotsky (1962, dalam Dardjowidjodjo, 2003) berpandangan bahwa ujaran egosentris tidak hilang tetapi mengalami transformasi genetik dan berubah menjadi apa yang dinamainya inner speech. Hubungan antara inner speech dengan external speech mau tidak mau harus memanfaatkan bunyi, karena ujaran hanya dapat terwujud dengan bunyi fonetik. Namun, ini tidak berarti bahwa inner speech hanyalah wujud batin dari external speech. Inner speech masih tetap suatu ujaran, yakni, pikiran yang berkaitan dengan kata. Bedanya adalah bahwa pada external speech, pikiran itu terwujudkan dalam kata; sedangkan pada inner speech, kata-kata itu lenyap pada saat pikiran itu terbentuk. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa pada saat anak tumbuh, berpikir yang terujarkan menjadi makin kecil, dan setelah dewasa, berpikir tidak lagi dilakukan dengan menggunakan kata yang terujarkan (Dardjowidjodjo, 2003). Jarak yang makin jauh antara inner speech dengan bunyi fonetik yang dipakai untuk mewakilinya mempercepat proses berpikir.
Faktor lain dalam studi bahasa dan pikiran adalah peran budaya (kultur). Ketika kita mempelajari sebuah bahasa dari negara lain, kita menyadari bahwa bukan sekadar kata-kata dan tata bahasa yang berbeda, tetapi juga adat istiadat dan tradisi-tradisi. Bahkan gagasan tentang budaya tersebut dan caranya menangani kehidupan dapat berbeda. Apabila orang-orang yang berbicara bahasa yang berbeda memiliki ada dan gagasan yang berbeda, maka hal ini merangsang pertanyaan berikut: apakah bahasa yang berbeda menimbulkan cara berpikir yang berbeda?
Meskipun ada sejumlah debat mengenai jangkauan bahasa dalam berpikir (misalnya, Carruthers, 1996), sebagai orang dewasa banyak pikiran kita yang nampaknya melibatkan kata-kata dan bahasa. Lebih jauh lagi, kita tidak dapat menggunakan bahasa tanpa berpikir tentang hal yang ingin kita katakan. Dengan demikian, setidaknya pada orang dewasa, bahasa dan pikiran nampak berjalin erat. Ada empat pandangan utama mengenai sifat hubungan antara bahasa dan pikiran (Lund, 2003):
- Bahasa yang kita ucapkan menentukan atau memengaruhi cara berpikir kita (hipotesis relativitas linguistik oleh Whorf).
- Cara berpikir kita menentukan penggunaan bahasa kita (Piaget).
- Bahasa dan berpikir adalah saling bebas (independen) namun secara bertahap (gradual) menjadi saling bergantung (interdependen) selama masa bayi (infancy) (Vygotsky).
- Bahasa dan pikiran saling bebas (independen) (Chomsky).
Hipotesis Relativitas Linguistik
Hipotesis ini (linguistic relativity hypothesis/LRH) menyatakan bahwa bahasa memengaruhi cara orang berpersepsi dan berpikir tentang dunia. Hipotesis ini berkonsentrasi pada perbedaan perbedaan baik dalam kosa kata (vocabulary) maupun tata bahasa (grammar) antar bahasa yang berbeda. Hipotesis ini juga menyatakan bahwa pembicara bahasa tertentu terbawa untuk berpikir, berpersepsi, dan mengingat dunia dalam cara yang khas bagi bahasa tersebut. Dengan demikian, para pengguna berbagai bahasa cenderung untuk memandang dunia secara berbeda. Teori ini seringkali dirunut kepada karya ahli bahasa (linguis) Sapir (1929) yang membandingkan bahasa Inggris dengan sejumlah bahasa Native Americans. Namun demikian, LRH lebih kuat diasosiasikan dengan karya Whorf (1956). Ia merupakan linguis lain yang mempelajari bahasa Native Americans dan melalui studinya ia diyakinkan bahwa perbedaan antar bahasa menentukan jenis pikiran yang dapat dimiliki seseorang. Teori ini seringkali disebut sebagai hipotesis Sapir-Whorf, atau, oleh karena pengaruh besar dari gagasan Whorf, disebut hipotesis Whorfian.
Para psikolog telah mengidenfikasikan setidaknya dua versi LRF yang berbeda dalam penekanan dan implikasinya. Pertama, LRF versi “kuat” (“strong” version), yang menyatakan bahwa bahasa menentukan (determines) pikiran. Kedua, LRF versi “lemah” (“weak” version), yang menyatakan bahwa bahasa memengaruhi (influences) pikiran.
LRF versi kuat menyatakan bahwa bahasa yang kita ucapkan menentukan sifat dari pikiran kita, termasuk jenis-jenis gagasan dan konsep-konsep yang mungkin kita miliki. Hipotesis ini menyatakan bahwa pemikiran-pemikiran yang mungkin ada dalam satu bahasa dapat tidak mungkin ada dalam bahasa yang lain. Whorf melakukan analisis terinci terhadap sejumlah bahasa Native American dan menyimpulkan bahwa perbedaan dalam bahasa, baik dalam tata bahasa maupun jumlah istilah yang digunakan untuk merujuk ke objek-objek, sudah pasti membentuk cara orang berpikir tentang dunianya. Sebagai contoh, Whorf mencatat bahwa orang Inuit menggunakan tujuh kata yang berbeda untuk “salju”, yang masing-masing menunjuk pada salju yang jatuh (falling snow), salju yang mencair (slushy snow), dan sebagainya, sementara itu bahasa Inggris hanya mempunyai satu istilah (snow). Whorf yakin bahwa perbedaan dalam bahasa ini tidak dapat tidak menimbulkan perbedaan dalam cara orang berpikir mengenai salju. Dalam contoh yang lain, Whorf melaporkan bahwa orang Indian Hopi menggunakan hanya satu kata untuk setiap apapun yang terbang, apakah itu pilot, pesawat terbang, serangga, dan sebagainya. Ia juga mencatat perbedaan antara tata bahasa Hopi dan bahasa Inggris. Sebagai contoh, Whorf mengklaim bahwa bahasa Hopi merupakan bahasa yang tidak berdimensi waktu (timeless), karena ia tidak dapat menemukan struktur gramatikal yang jelas untuk membedakan masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Dalam bahasa Inggris (dan kebanyakan bahasa lain), struktur kata kerjanya secara jelas mengindikasikan waktu (tense)-nya. Lebih jauh, dalam bahasa Inggris orang cenderung untuk berbicara mengenai waktu sebagai sesuatu yang dapat dikuantifikasikan secara objektif (misalnya, “I stayed for 3 hours”). Jadi, hari, jam, menit, dan sebagainya, dianggap sebagai data objektif yang sama seperti kilometer, meter, dan milimeter. Sebaliknya, orang Hopi cenderung merujuk waktu secara subjektif atau bagaimana waktu menampakkan diri kepada mereka (misalnya, “I leave in the evening”). Menurut Whorf, perbedaan semacam itu telah menimbulkan perbedaan dalam konsep-konsep yang dibawa dalam masing-masing kultur serta menentukan cara orang berpikir.
Konsep yang sama dapat pula kita terapkan pada bahasa-bahasa di Indonesia. Seperti kita ketahui bahasa Jawa, misalnya, memiliki 15 kategori untuk nasi (Dardjowidjodjo, 2003), yakni pari, gabah, beras, menir, sego, intip, upo, dan seterusnya. Dengan bahasa seperti ini, orang Jawa memandang dunia makanan (nasi) sangat berbeda dengan, misalnya, orang Amerika yang oleh bahasanya dibimbing untuk melihat hanya satu kategori saja, yaitu rice.
LRF versi lemah menyatakan bahwa bahasa memiliki efek yang lebih subtil (samar) pada pikiran serta semata-mata memengaruhi hal-hal apa yang kita persepsikan atau ingat tentang sebuah objek atau peristiwa. Apabila Anda memiliki sebuah kata bagi sesuatu (objek/peristiwa) dalam bahasa Anda, Anda lebih mungkin untuk mengenali dan mengingat sesuatu tersebut ketimbang orang lain yang menggunakan bahasa yang tidak memuat/memiliki kata bagi sesuatu tersebut.
Carmichael, Hogan, dan Walter (1932) menunjukkan bahwa bahasa memengaruhi ingatan. Mereka memerlihatkan seluruh partisipan serangkaian gambar yang tidak bermakna (nonsense pictures; lihat Gambar 24) yang diiringi dengan sebuah label verbal. Namun demikian, separuh partisipan melihat satu set label, dan separuh lainnya melihat set label yang lain. Label verbal tersebut nampak memengaruhi ingatan terhadap gambar tak bermakna. Sebagai contoh, ketika disajikan gambar pertama (lihat original pictures yang ada di tengah pada baris pertama dari Gambar 24) dengan diiringi dengan label “korden dalam sebuah jendela”, para partisipan lebih mengingat gambar tersebut sebagaimana gambaran pada sebelah kiri. Apabila labelnya adalah “intan dalam sebuah segi empat”, partisipan lebih mengingat gambar tersebut sebagaimana gambaran pada sebelah kanan. Temuan ini menunjukkan pengaruh bahasa pada memori terhadap objek-objek.
Gambar 24. Penelitian Carrmichael, Hogan, dan Walter (1932)
Ada lagi penelitian lintas budaya tentang bagaimana bahasa mempengaruhi persepsi warna. Sebagaimana kita ketahui, terdapat perbedaan dalam cara bagaimana para pengucap bahasa yang berbeda menamai warna-warna. Sejumlah bahasa memiliki lebih banyak label untuk warna-warna dasar ketimbang bahasa yang lain. Juga terdapat perbedaan dalam bagaimana warna-warna dibagi ke dalam kategori-kategori. Apabila benar bahwa bahasa memengaruhi persepsi, maka perbedaan dalam label warna seyogianya akan memengaruhi persepsi warna. Sebuah penelitian membandingkan pengenalan warna kuning dan oranye oleh pengucap bahasa Zuni dan pengucap bahasa Inggris (Lenneberg & Roberts, 1956). Bahasa Zuni hanya memiliki satu istilah untuk warna kuning (sedangkan warna oranye merupakan spektrum dari warna kuning). Pengucap bahasa Zuni lebih mungkin melakukan kesalahan dalam pengenalan/rekognisi warna kuning dan oranye. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa memengaruhi persepsi warna.
Lebih mutakhir lagi, Hunt dan Agnoli (1991) mengemukakan sebuah bentuk alternatif dari LRH. Pendekatannya disebut pendekatan kognitif terhadap hubungan antara bahasa dan pikiran. Mereka menyatakan bahwa dengan menggunakan pendekatan kognitif, maka efek dari bahasa terhadap pikiran dapat dikuantifikasikan dan dievaluasi. Argumen sentral mereka adalah bahwa bahasa-bahasa yang berbeda membuat pikiran-pikiran tertentu lebih mudah (easier) atau lebih sulit (harder). Dengan demikian, sejumlah pemikiran atau penalaran adalah lebih mudah dalam sejumlah bahasa ketimbang dalam bahasa yang lain. Hunt dan Agnoli menyebut kemudahan relatif dari pikiran ini sebagai ongkos komputasional. Ongkos (cost) ini lah yang memengaruhi kemungkinan berpikir dalam sebuah cara tertentu. Sebuah kata atau kalimat mungkin mudah dan alamiah dalam sebuah bahasa, namun sulit atau tak dapat dikelola dalam satu detik dalam bahasa yang lain. Seseorang yang menggunakan bahasa ibu lebih mudah untuk memikirkan kata atau kalimat tersebut karena kurang berongkos (less costly). Hunt dan Agnoli mengutip contoh kata “mokita” dari bahasa Kiriwina Guinea Baru, yang apabila diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi “truth everybody knows but nobody speaks” (dalam bahasa Indonesia: “rahasia umum”, “kebenaran yang diketahui oleh setiap orang, namun tidak ada seorang pun yang mengucapkan/membincangkannya”). Dalam kasus ini, kata “mokita” lebih ekonomis/hemat digunakan dan dipikirkan daripada bahasa Inggrisnya. Meskipun pengujar bahasa Inggris dapat mengerti konsep tersebut, namun lebih mudah bagi pengujar Kiriwana untuk menggunakan konsep itu. Hunt dan Agnoli berdasarkan studi-studinya yakin bahwa bahasa-bahasa yang berbeda memiliki tantangan-tantangan yang berbeda kepada kognisi serta memberikan dukungan diferensial kepada kognisi.
Ada sejumlah penelitian yang mendukung hipotesis Hunt dan Agnoli. Mereka mendeskripsikan perbedaan dalam kemampuan aritmetik antar pengujar bahasa yang berbeda. Perbedaan ini cenderung samar namun konsisten. Sebagai contoh, anak-anak pengujar bahasa Inggris harus belajar sejumlah besar ekspresi yang merujuk pada angka. Di samping mempelajari ekspresi dasar 0–9, 10, 100, dan sebagainya, pengujar bahasa Inggris harus mempelajari kata-kata yang berbeda yang merujuk pada 11–19 serta setiap ekspresi dekade (20, 30, dan sebagainya). Sebaliknya, seorang anak yang belajar bahasa Chinese hanya harus mempelajari 14 ekspresi dasar (0–10, 100, 1,000, 10,000). Angka 11 tidak memiliki istilah khusus seperti bahasa Inggris (eleven) namun dirujuk sebagai 10 tambah 1. Ketika belajar aritmetik, anak-anak pengujar bahasa Inggris pada awalnya memiliki permasalahan dalam mempelajari rentang angka pada masa remajanya, namun anak-anak pengujar bahasa Chinese tidak. Hal ini mencerminkan ongkos ekstra dari mempelajari ekspresi numerik tambahan. Selanjutnya, Hoffman, Lau, dan Johnson (1986) mempelajari penggunaan stereotip pada pengujar bilingual (English-Chinese). Mereka memberikan para pengujar bilingual tersebut deskripsi/gambaran tentang orang yang konformis terhadap stereotip English atau Chinese. Selanjutnya para partisipan ditanyai apakah perilaku tertentu merupakan karakteristik dari seseorang. Ketika ditanyai dalam bahasa Inggris, para partisipan menggunakan stereotip English, namun ketika ditanyai dalam bahasa Chinese, mereka menggunakan stereotip Chinese. Jadi bahasa yang digunakan memengaruhi kemudahan penggunaan (cost) sebuah stereotip.
Sejumlah penelitian juga menambahkan dukungan terhadap pendekatan kognitif terhadap LRG dengan menunjukkan pengaruh bahasa terhadap aspek-aspek pikiran yang berbeda, seperti berpikir spasial, perkembangan konsep, dan konsepsi waktu. Sebagai contoh, Boroditsky (2001) membandingkan konsepsi tentang waktu antara pengujar bahasa Mandarin dan pengujar bahasa Inggris. Ia menemukan bahwa pengujar bahasa Mandarin dan pengujar bahasa Inggris merujuk pada waktu dengan cara yang berbeda. Dalam serangkaian studi, mereka menemukan bahwa perbedaan ini tercermin dalam cara orang berpikir tentang waktu. Ia menarik dua kesimpulan utama dari penelitian-penelitiannya:
- Bahasa “merupakan alat yang mumpuni dalam membentuk pikiran” mengenai gagasan-gagasan abstrak (h. 1).
- Bahasa ibu penting dalam “membentuk pikiran habitual” (h. 1).
Kendati demikian, Eysenck dan Keane (2000) mengritik bahwa ada sejumlah unsur dalam hipotesis Hunt dan Agnoli yang belum diselidiki secara penuh. Misalnya, “ongkos komputasional” belum dikuantifikasikan, jadi hampir sama saja dengan LRH versi lemah. Di samping itu, ketika membandingkan pengujar dari kultur yang berbeda-beda, sulit untuk mengisolasi efek bahasa dari efek budaya.
Hal yang penting adalah bahwa ketiga hipotesis tersebut (LRH versi kuat, LRH versi lemah, pendekatan kognitif) sulit untuk diuji. Pertama, menurut Boroditsky (2001), satu masalahnya adalah bahwa orang-orang dalam penelitian tersebut diuji dalam bahasa ibu (native language) mereka, dan dengan demikian instruksi yang diberikan mungkin mengarah pada cara-cara pendekatan tugas yang berbeda. Dalam bahasa Indonesia kita memiliki kata “sama”, dan kita mengerti artinya. Namun demikian, apakah penerjemahan kata tersebut ke dalam bahasa yang berbeda menimbulkan konsep yang identik? Mungkin saja, kata “sama” apabila diterjemahkan ke suatu bahasa artinya adalah “identik”, namun bagi bahasa yang lain artinya adalah “paling mirip”. Kedua, terdapat masalah dari pemisahan efek bahasa terhadap pikiran dari efek budaya dan pengalaman bersama di antara orang-orang yang menggunakan bahasa yang sama. Dengan demikian, apabila ditemukan perbedaan dalam pikiran antar dua kelompok, sulit untuk mengetahui apakah perbedaan ini merupakan efek dari bahasa, ataukah efek dari budaya, ataukah efek dari keduanya.
Pikiran Menentukan Bahasa (Piaget)
Teori yang menyatakan bahwa bahasa bergantung pada pikiran dinyatakan oleh Piaget (1950, 1967). Piaget mempelajari perkembangan kognitif pada anak. Ia meyakini bahwa perkembangan mengikuti sejumlah tahapan. Tahapan ini bersifat sekuensial (berurutan) dan pada setiap tahap seorang anak memperoleh keterampilan kognitif baru. Sebagai contoh, pada kira-kira usia 10 bulan, anak-anak mengembangkan permanensi objek, yakni pengenalan bahwa objek-objek tetap ada meskipun mereka tidak dapat melihatnya. Piaget meyakini bahwa perkembangan bahasa merupakan hasil dari perkembangan kognitif. Dengan perkataan lain, bahasa bergantung pada jenis pikiran yang dimiliki seorang anak. Untuk menggunakan bahasa secara tepat, seorang anak harus pertama-tama mengembangkan gagasan-gagasan atau konsep-konsep. Piaget mencatat bahwa seorang anak dapat menggunakan kata-kata sebelum memahami makna dari kata-kata tersebut, namun hal ini bukan merupakan penggunaan bahasa yang sesungguhnya. Seorang anak dapat semata-mata mengulangi kata-kata, atau bermain dengan kata-kata, tanpa memahami konsep. Hal ini, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, disebut sebagai ujaran egosentrik yang tidak dimaksudkan untuk menyampaikan informasi. Dalam bahasa orang dewasa, tujuan berujar atau berbicara adalah untuk menyampaikan gagasan atau informasi, dan hal ini bersifat sosial. Ucapan hanya dapat digunakan secara sosial apabila anak memahami hal yang dirujuk oleh kata atau kata-kata. Sebagai contoh, seorang anak dapat menggunakan kata “lebih besar” setelah seorang dewasa mengatakannya, namun tidak dapat menggunakan kata tersebut untuk mengomunikasikan mengenai konsep “lebih besar”, kecuali konsep tersebut telah berkembang dalam diri anak. Jadi, pikiran atau konsep menentukan penggunaan bahasa.
Sejumlah penelitian mendukung teori Piaget. Sekelompok penelitian telah membandingkan perkembangan konsep pada anak-anak beserta penggunaan bahasa mereka. Sebagai contoh, Tomasello dan Farrar (1986) meneliti komprehensi kata-kata relasional (“gone”, “down”, “up”) sepanjang perkembangan permanensi objek. Mereka menemukan bahwa kata-kata yang mengindikasikan perubahan pada objek ketika objek tersebut masih ada (“up”/naik, “down” /turun) dimengerti sebelum (lebih dahulu dari) kata-kata yang berkaitan dengan objek yang tidak ada (“gone”/menghilang). Sinclair-de-Zwart (1969) meneliti sekelompok anak dan pertama-tama menentukan apakah mereka dapat melakukan “konservasi”. Konservasi adalah kemampuan untuk menyadari bahwa ketika sesuatu berubah bentuk, sesuatu tersebut tidak berubah dalam massa atau volume (misalnya, setabung kurus tinggi air dituangkan ke dalam sebuah piala yang tipis berubah bentuk namun tidak mengubah volumenya). Ia menemukan bahwa anak-anak yang mampu melakukan konservasi mengerti kata-kata dan frasa-frasa seperti “lebih besar” atau “sama banyaknya dengan”, namun anak-anak yang tidak mampu melakukan konservasi tidak mengerti kata-kata tersebut. Lebih lanjut, bahkan meskipun anak-anak yang tidak dapat melakukan konservasi diberikan pelatihan bahasa yang terkait dengan kata-kata tersebut, mereka tetap tidak menggunakannya secara tepat. Penelitian ini menunjukkan bahwa konsep harus berkembang dahulu sebelum seorang anak dapat menggunakan bahasa yang terkait dengan konsep tersebut.
Cara lain untuk menyelidiki teori Piaget adalah dengan membandingkan perkembangan kognitif dan perkembangan bahasa dari anak-anak ketika salah satu dari kemampuan ini lemah atau cacat (Harley, 2001). Apabila perkembangan bahasa tidak bergantung pada perkembangan kognitif, maka kecacatan dalam perkembangan bahasa akan memiliki pengaruh yang kecil atau bahkan tidak berpengaruh terhadap perkembangan kognitif. Namun demikian, apabila perkembangan kognitif mengalami kecacatan, maka hal ini akan memiliki pengaruh terhadap perkembangan bahasa. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa, secara umum, hipotesis ini didukung oleh kenyataan. Sebagai contoh, perkembangan bahasa dapat mengalami kecacatan pada anak-anak yang tuli, namun sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa perkembangan kognitif mereka normal (misalnya, Furth, 1971). Sebaliknya, kecacatan dalam perkembangan kognitif seringkali dikaitkan dengan kecacatan berbahasa. Harley (2001) menyatakan bahwa ada sejumlah korelasi antara keterampilan kognitif dan keterampilan berbahasa. Secara umum, anak-anak dengan kesulitan belajar akan lebih lambat mengembangkan bahasanya daripada anak-anak yang lain. Namun demikian, kita harus berhati-hati dalam mengambil kesimpulan dari penelitian-penelitian ini karena sifatnya korelasional. Korelasi tidak menunjukkan hubungan sebab-akibat (bahwa kecacatan dalam perkembangan pemikiran/kognitif menyebabkan kecacatan berbahasa), serta bahwa mungkin saja baik kecacatan belajar maupun kecacatan berbahasa disebabkan oleh faktor yang lain.
Meskipun Harley (2001) telah menunjukkan bahwa terdapat hubungan umum antara perkembangan kognitif dan perkembangan bahasa, namun ada sejumlah perkecualian. Sebagai contoh, Yamanda (1990) telah melaporkan studi kasus tentang “Laura” yang memiliki kesulitan belajar parah namun memiliki perkembangan bahasa yang normal. Laura memiliki estimasi tingkat inteligensi (intelligence quotient/IQ) 41. Ia menunjukkan masalah dengan kebanyakan tugas-tugas kognitif, namun ia mampu mengerjakan tugas-tugas linguistik kompleks. Yamanda meyakini bahwa hal ini menunjukkan bahwa proses-proses kognitif (pikiran) dan bahasa adalah distingtif (berbeda). Bellugi, dkk. (1991) telah mempelajari anak-anak dengan sindrom Williams. Sindrom ini menyebabkan kecacatan pada kemampuan kognitif dan tingkat IQ rendah, namun tidak memengaruhi keterampilan bahasa (dalam kenyataannya, orang-orang dengan sindrom Williams nampak menikmati penggunaan bahasa dan menggunakannya secara baik). Kedua penelitian ini menyatakan bahwa bahasa tidak bergantung pada pikiran, melainkan bahwa kedua kemampuan ini terpisah.
Masalah lain dari teori Piaget adalah bahwa teori ini nampaknya meremehkan peran bahasa dalam meningkatkan perkembangan kognitif dan sosial. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa, ketimbang sekadar merupakan produk dari perkembangan kognitif, pemerolehan keterampilan berbahasa dapat mempercepat (mengakselerasi) perkembangan kognitif. Sebagai contoh, Luria dan Yudovich (1971) telah melaporkan kasus-kasus dari anak-anak laki-laki kembar yang pada usia 5 tahun memiliki keterampilan bahasa dan kognitif yang sangat parah oleh karena tiadanya stimulasi lingkungan. Mereka ditempatkan dalam rumah-rumah yang terpisah, dan salah satu dari anak kembar tersebut diberikan pelatihan khusus dalam bahasa namun pasangan kembarnya tidak. Yang diberikan pelatihan bahasa menunjukkan kemajuan pesat dalam berbagai hal. Penelitian ini menunjukkan bahwa pemerolehan bahasa bukan sekadar merupakan hasil dari perkembangan kognitif melainkan juga meningkatkan perkembangannya.
Interdependensi Bahasa dan Pikiran (Vygotsky)
Vygotsky (1962) mempelajari perkembangan anak, dan berdasarkan observasinya terhadap ujaran awal dan monolog anak-anak, ia mengajukan sebuah teori kompleks mengenai interaksi antara pikiran dan bahasa. Ia menyatakan bahwa pada awalnya pikiran dan bahasa saling bebas (independen) dan memiliki asal usul yang terpisah. Selama tahapan ini, pikiran bersifat non-verbal dan utamanya berbasiskan citra-citra (images). Sementara itu, bahasa bersifat pra-intelektual dan tidak terkait dengan pikiran. Pada usia sekitar 2 tahun, pikiran dan bahasa mulai terkoneksi, dan anak-anak mulai menggunakan bahasa dalam pikiran mereka, serta ujaran anak-anak mulai merepresentasikan pikiran mereka. Bahasa dan pikiran mulai menjadi saling bergantung (interdependen). Namun demikian, interdependensi bahasa dan pikiran bukan merupakan proses instan, dan keduanya secara gradual menjadi semakin saling bergantung antara usia 2 dan 7 tahun. Vygotsky meyakini bahwa bahasa memiliki dua fungsi, yakni untuk berkomunikasi dengan orang lain (fungsi eksternal) dan untuk memantau pikiran (fungsi internal). Orang-orang dewasa secara umum bagus dalam memisahkan kedua fungsi tersebut, namun anak-anak sebelum usia 7 tahun sulit melakukannya. Antara usia 2 dan 7 tahun anak-anak seringkali berbicara tentang gagasan-gagasan dan pikiran-pikiran mereka, dan sebagai hasilnya komunikasi dapat membingungkan. Sebagaimana Piaget, Vygotsky menyebut jenis ujaran ini sebagai egosentrik, namun berbeda dengan Piaget (sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya), ia melihat ujaran egosentrik sebagai bentuk panduan diri (self-guidance) yang terjadi karena belum diinternalisasikan. Vygotsky menekankan pentingnya bahasa dalam perkembangan bahasa anak-anak dan interdependensi antara bahasa dan pikiran. Ia (Vygotsky, 1972, h. 186) mengklaim bahwa:
The relation of thought and word is not a thing but a process, a continual movement back and forth from thought to language and from word to thought.
Vygotsky mengembangkan gagasannya dari observasinya terhadap anak-anak dan penggunaan bahasanya. Apabila seorang anak kecil diberikan sebuah tugas yang sulit dikerjakan, ia akan seringkali berbicara sampai solusinya. Penggunaan ujaran di sini bukanlah untuk berkomunikasi namun untuk mengarahkan dan memantau pikiran-pikiran, dan nampaknya menunjukkan kekacauan antara fungsi internal dan eksternal dari bahasa. Ia meyakini ujaran batin (inner speech) dapat dipelajari melalui ujaran egosentrik dan dengan demikian dapat diobservasi dan dieksperimenkan. Teori Vygotsky juga didukung oleh bukti bahwa keterampilan bahasa dapat menolong meningkatkan perkembangan kognitif (misalnya, Luria & Yudovich, 1971).
Suatu masalah dalam mengevaluasi teori Vygotsky adalah bahwa, meskipun ia mendeskripsikan gagasannya secara rinci, ia tidak mendeskripsikan rincian metode yang digunakannya dalam meneliti anak-anak. Hal ini menyebabkan sulitnya untuk mereplikasi (mengulangi) penelitiannya serta sulit untuk menilai temuan-temuannya (Harley, 2001).
Aspek Sosial Kultural Bahasa
Pada bahasan-bahasan sebelumnya di atas, telah didiskusikan pengaruh penggunaan bahasa-bahasa yang berbeda pada pikiran. Namun demikian, terdapat pula perbedaan bahasa dalam penggunaan satu bahasa dalam sebuah budaya. Di samping itu, cara kita berbicara mencerminkan latar belakang kultural dan sosial kita. Ada variasi bahasa yang disebabkan sejumlah faktor, seperti kelas, asal etnis, jenis kelamin, usia, dan wilayah geografis. Di samping itu, bahasa yang kita gunakan tidaklah tetap dan kita cenderung untuk menggunakan gaya-gaya berbahasa yang berbeda yang disesuaikan dengan situasi. Sebagai contoh, mahasiswa akan menggunakan bahasa yang berbeda ketika mereka berjalan bersama dengan teman-temannya dibandingkan ketika mereka mendiskusikan esai dengan dosen mereka, yakni dengan berganti dari gaya informal ke gaya yang lebih formal.
Variasi sosial dan kultural dalam bahasa memunculkan sejumlah pertanyaan. Pertama, apakah sifat dari perbedaan antar kelompok sosial dan kultural yang berbeda? Kedua, apakah variasi dalam bahasa memengaruhi kognisi? Pertanyaan ini berkaitan dengan diskusi hipotesis LRF versi lemah yang telah dikemukakan sebelumnya, namun dalam hal ini, ketimbang meninjau perbedaan antar bahasa, kita meninjau perbedaan antar versi-versi dari bahasa yang sama. Pertanyaan lainnya adalah apakah pengaruh sosial dari perbedaan dalam satu bahasa? Sebagai contoh, apakah variasi dalam bahasa memengaruhi persepsi individu atau kelompok?
Bernstein (1961, 1971) menyatakan bahwa anak-anak kelas-pekerja (working-class) dan anak-anak kelas menengah (middle-class) menggunakan kode-kode bahasa (language codes) yang berbeda, yang disebutnya sebagai kode terbatas (restricted code) dan kode rinci (elaborate code). Kode terbatas terdiri atas kalimat-kalimat singkat dengan bentuk-bentuk tata bahasa yang relatif sederhana, cenderung lebih banyak menggunakan kata ganti (pronouns) daripada kata benda (nouns), serta bergantung konteks (karena rujukan terhadap kata ganti “it” atau “them”, dan sebagainya, hanya dapat dimengerti dalam konteks). Kode elaboratif terdiri atas kalimat-kalimat yang lebih panjang dengan tata bahasa yang kompleks, lebih banyak terdapat kata sifat serta lebih banyak menggunakan kata benda daripada kata ganti, serta dengan demikian bebas konteks (context-independent). Bernstein (2000, h. 451) menggambarkan kedua kode tersebut dengan dua cerita yang ditulis mengenai serangkaian empat gambar yang sama, sebagai berikut:
a) They’re playing football and he kicks it and it goes through there it breaks the window and they’re looking at it and he comes out and shouts at them because they’ve broken it so they runaway and then she looks out and she tells them off.
b) Three boys are playing football and one boy kicks the ball and it goes through the window the ball breaks the window and the boys are looking at it and a man comes out and shouts at them because they’ve broken the window so they run away and then
that lady looks out of her window and she tells the boys off.
Cerita (a) mengilustrasikan kode terbatas, karena menggunakan banyak sekali kata ganti dan sulit dimengerti tanpa melihat gambarnya (context-bound). Cerita (b) mengilustrasikan kode elaboratif, menggunakan lebih banyak kata benda serta dapat diikuti ceritanya tanpa melihat keempat gambar tersebut (bebas konteks). Bernstein (1971) mengklaim bahwa anak-anak kelas pekerja memiliki akses terbatas terhadap kode elaboratif, dan oleh karena sosialisasinya, mereka sangat terbatas juga dalam menggunakan kode terbatasnya.
Bernstein meyakini bahwa penggunaan kode terbatas merupakan sebab dari prestasi rendah (educational underachievement) pada anak-anak kelas-pekerja. Namun demikian, Labov (1972) tidak setuju dengan sejumlah kesimpulan Bernstein. Setelah meneliti bahasa anak-anak Afrika-Amerika, Labov meyakini bahwa keliru apabila bahasa kelas pekerja dipandang terbatas atau inferior. Pada kenyataannya, ada dialek-dialek yang berbeda yang menggunakan sejumlah aturan yang berbeda oleh kelas pekerja, namun sama kayanya dengan bahasa Inggris Standar. Ia menyebutnya African-American dialect Black English Vernacular (BEV), namun istilah yang dipakai saat ini adalah African-American Vernacular English (AAVE). AAVE selanjutnya menjadi lapangan penelitian yang penting karena memiliki implikasi yang luas terhadap pendidikan.
Perbedaan jenis kelamin dalam penggunaan bahasa dimulai pada masa kanak-kanak. Perbedaan ini mempengaruhi baik isi (kosa kata) maupun gaya percakapan. Lakoff (1975) meyakini bahwa perempuan disosialisasikan untuk menggunakan gaya atau pola bicara yang tidak mengandung muatan otoritas, dan hal ini mencerminkan ketidakadilan antar jenis kelamin dalam masyarakat. Hal ini telah dikritik sebagai pandangan yang stereotipik dan negatif tentang bahasa perempuan.