Kehidupan sebagai Penerjemah (7): Inteligensi

Juneman Abraham
19 min readJan 14, 2020

--

Pada 2011, saya menerjemahkan sejumlah karya yang saya pilih dalam bidang psikologi, semata-mata untuk memperkaya materi kuliah Psikologi Umum bagi mahasiswa di fakultas psikologi. Terjemahan ini tidak dimaksudkan pertama-tama untuk dikutip. Kendati demikian, apabila hendak dikutip juga, Anda dapat menerakan hal sebagai berikut di dalam Daftar Pustaka Anda:

….

Psikolog Perancis, Alfred Binet (1857–1911), memulai pendekatan psikometrik terhadap inteligensi. Binet ditunjuk oleh Pemerintah Perancis untuk mengembangkan sebuah metode pengukuran kemampuan belajar, juga metode untuk mendeteksi anak-anak yang akan menghadapi kesulitan dalam sistem sekolah. Bersama dengan Theodore Simon, Binet menerbitkan tes inteligensi pertama pada 1905. Pengembangan tes Binet dipandu oleh dua prinsip (Matarazzo, 1992). Pertama, Binet meyakini bahwa inteligensi meningkat selama masa kanak-kanak. Apabila sebuah butir tes inteligensi merupakan ukuran kemampuan yang valid, anak yang lebih tua akan lebih mudah mengerjakannya daripada anak yang lebih muda usianya. Kedua, Binet meyakini bahwa peningkatan inteligensi selama masa kanak-kanak bukan karena perkembangan ketajaman (acuity) atau ketepatan (precision) sensorik, juga bukan merupakan hasil langsung dari pendidikan atau pelatihan. Kedua keyakinan ini menuntun Binet berkontribusi dalam konstruksi tes inteligensi. Pertama, meskipun memeriksa kemampuan di sekolah, Binet menghindari butir-butir inteligensi yang mensyaratkan pengalaman atau yang menyerupai pekerjaan sekolah. Kedua, Binet berfokus pada tes-tes penalaran abstrak yang, meskipun tidak diajarkan langsung di sekolah, namun kinerja atas tes-tes ini meningkat seiring usia. Binet dan Simon (1905) menyatakan, “We give him [the child] nothing to read, nothing to write, and submit him to no test in which he might succeed by means of rote learning.”

Dari sini, kita melihat bahwa Binet secara eksplisit membedakan antara kemampuan (abilitas) dengan prestasi (achievement). Ia memiliki tujuan memprediksi prestasi bukan dari pembelajaran atau prestasi saat ini, namun dari sebuah ukuran kemampuan penalaran abstrak. Hal ini tercermin dalam 30 butir tes inteligensi Binet-Simon pada 1905, yang mereduksi ketergantungan pada pelatihan atau pengalaman khusus, misalnya (1) mendefinisikan kata-kata abstrak dan menamai warna-warna sederhana, (2) mengingat daftar belanjaan, (3) mengurutkan berat (3, 6, 9, 12, dan 15 gram), (4) membuat salinan “kasar” (tidak perlu rapi dan rinci) berdasarkan memori dari stimulus bentuk yang ditampilkan kepada anak namun yang kemudian disingkirkan dari pandangan (bentuk kotak, intan, dan silinder), serta (5) menyusun kalimat yang mengandung kata-kata yang telah diberikan (misalnya, “Paris”, “fortune”, dan “river”).

Dalam tiap-tiap kategori butir tes, dibuat beragam tingkat kesulitan, yang didefinisikan berdasarkan usia rata-rata di dalam mana masalah dapat dijawab secara tepat. Sebagai contoh, Binet menemukan bahwa membuat salinan sebuah silinder lebih sulit (membutuhkan lebih banyak inteligensi) daripada menyalin sebuah intan. Dengan menyajikan stimulus secara visual (ketimbang memberikan instruksi “Gambarlah sebuah intan”), Binet menyingkirkan peran pengalaman dan kosa kata dari situasi tes. Dengan kemudian menyingkirkan stimulus dari pandangan anak, Binet menyingkirkan kemungkinan penyalinan perseptual secara langsung, sehingga anak harus mengandalkan representasi internalnya. Binet menemukan bahwa kemampuan untuk membuat salinan itu sulit dilatih. Bahkan pelatihan kemampuan membuat salinan sebuah gambar tidak dapat ditransfer anak untuk membuat salinan gambar lain yang sama sulitnya. Jadi, inteligensi tidak dihasilkan dari pengalaman latihan, namun berkembang independen dari pengalaman.

Usia Mental

Hal berikutnya yang penting dari Binet adalah bagaimana menyekor sebuah tes kemampuan. Oleh karena tes Binet adalah tes berskala besar, Binet mengetahui pada usia berapa anak-anak dapat menyelesaikan setiap butir tesnya, dan tesnya dapat diskor dalam kaitan dengan sebuah “usia mental”. Binet mengembangkan penggunaan skor usia mental karena dua alasan. Pertama, ia menemukan bahwa butir-butir tes dalam satu kategori dapat disusun dalam kaitannya dengan usia mental yang diperlukan untuk menyelesaikannya. Kedua, ia juga menemukan bahwa anak-anak yang dapat menyelesaikan sebuah butir dalam sebuah kategori pada tingkat kesulitan tertentu secara umum menyelesaikan butir-butir dari kategori-kategori yang lain pada tingkat kesulitan yang sama.

Sementara Binet meyakini bahwa ada banyak kemampuan yang berbeda, dan tidak mempedulikan adanya struktur inteligensi, ia mulai berbicara tentang kemampuan (abilitas) sebagai konstruk uniter (tunggal, satu kesatuan). Sebagai contoh, apabila seorang anak berusia 5 tahun secara normal dapat menggambar sebuah kotak tetapi bukan sebuah silinder, dan secara normal dapat membuat kalimat yang memuat kata “kue” tapi bukan “keberuntungan”, maka usia rata-rata 5 tahun dapat mendefinisikan “kue” dan menggambar sebuah kotak. Kedua kemampuan ini (mendefinisikan kue dan menggambar kotak) nampaknya merupakan kemampuan yang sangat berbeda namun keduanya sebenarnya bersama-sama mendefinisikan sebuah “usia mental” yang koheren. Usia mental lah yang menentukan apakah anak-anak akan mampu menangani tingkat sekolah tertentu.

Binet menemukan bahwa usia mental anak dapat berbeda signifikan dari usia kronologisnya (usia menurut kalender), dan hal ini membutuhkan bantuan ekstra di sekolah. Sejumlah anak memiliki kinerja sama dengan rata-rata anak-anak dengan usia yang lebih tua. Sejumlah anak meraih skor-skor yang sama dengan anak-anak dengan usia yang lebih muda. Apabila dua orang anak dengan usia kronologis yang berbeda ditemukan memiliki tingkat usia mental yang sama, maka anak yang lebih muda disimpulkan lebih mampu secara intelektual (lebih inteligen). Guna mengekspresikan kedua konsep ini, Binet mengembangkan pembedaan antara usia mental dan usia kronologis. Usia kronologis menjawab pertanyaan, “Berapa usia anak ini?”. Usia mental menjawab pertanyaan “Pada tingkat kinerja tertentu, berapa usia rerata anak yang dapat mengerjakan tugas ini?”.

Dengan demikian tes Binet-Simon tidak diskor dalam kaitannya dengan jumlah butir yang dijawab secara benar, melainkan dalam kaitannya dengan usia kronologis rerata anak yang mampu meraih skor tersebut — yang dianggap sebagai usia mental efektif subjek yang dites — dibandingkan dengan usia kronologis anak tersebut.

Konsep “IQ”

Sebagaimana kita lihat di atas, Binet menyekor tesnya dalam kaitan dengan usia mental anak yang harus dibaca bersamaan dengan usia kronologisnya. William Stern (1912) melihat bahwa kedua angka ini berhubungan dan dapat digunakan untuk menghasilkan sebuah angka tunggal, yang disebut intelligence quotient (IQ):

IQ = Usia mental / Usia kronologis x 100

Definisi ini berfungsi pada anak-anak pada usia di bawah 17 tahun, namun tidak berfungsi pada usia di atasnya. Mengapa? Karena skor tes inteligensi tidak terus meningkat seiring dengan usia kronologis setelah usia 16–18 tahun, sehingga menimbulkan masalah yang nyata. Jika anda berusia 17 tahun dan usia mental Anda sama seperti rerata anak usia 17 tahun juga, maka IQ Anda adalah (17/17 x 100), atau 100. Berapakah IQ Anda ketika usia kronologis Anda 55 dengan mengasumsikan bahwa kemampuan Anda tetap sama dan tidak meningkat? Anda akan memiliki usia mental 17 dan usia kronologis 55, sehingga IQ Anda hanya 31, yang diperoleh dari (17/55 x 100).

Solusi terhadap dilema ini disadari oleh Wechsler (1975) yang mengenali bahwa pokok pikiran kunci sistem skor Binet bukanlah penggunaan usia mental melainkan deviasi (simpangan) usia mental seorang anak dari usia mental rerata anak umumnya pada usia kronologisnya. Hal ini disebut “IQ simpangan” (deviation IQ), bukan lagi merupakan hasil dari pembagian usia mental dengan usia kronologis, melainkan berdasarkan skor persentil seseorang dalam kelompok (cohort) usianya. Dalam sistem ini, orang secara rata-rata pada usia berapapun memiliki skor IQ 100. Skor di atas atau di bawah ini memiliki simpangan baku (standard deviation / SD / σ) 15. Gambar 25 menunjukkan “distribusi normal” atau kurva lonceng skor-skor IQ, dalam mana kebanyakan orang mengelompok di tengah di sekitar angka 100, dan sejumlah kecil orang memiliki skor entah di atas atau di bawah angka rerata (mean) 100 ini. Yang patut diingat bahwa 95% skor IQ terletak dalam rentang ± 2 SD dari rerata, yakni antara 70 dan 130.

Gambar 25. Distribusi normal skor-skor IQ

WAIS-III: Sebuah Contoh Tes IQ Modern

Barangkali, tes inteligensi manusia yang paling luas digunakan dan divalidasi adalah Wechsler Adult Intelligence Scale atau WAIS. WAIS Revisi III (Wechsler, 1997) mengandung 13 sub-tes (Gambar 26). Empat sub-tes mengukur Pemahaman Verbal (Verbal Comprehension), yang terdiri atas Kosa Kata (Vocabulary, mengenai makna kata-kata), Keserupaan (Similarities, menemukan hal apa yang sama di antara dua kata), Informasi (pertanyaan-pertanyaan pengetahuan umum), Komprehensi (pengertian atas permasalahan praktis, peribahasa, dan norma-norma sosial). Empat sub-tes mengukur Organisasi Perseptual, yang terdiri atas Melengkapi Gambar (Picture Completion, mendeteksi unsur-unsur yang hilang dalam gambar-gambar objek-objek yang umum), Rancangan Blok (Block Design, tes spasial/keruangan, dalam mana subjek diminta mereproduksi pola-pola dua dimensi dengan menggunakan kubus-kubus yang memiliki sisi-sisi dengan warna-warna yang berbeda), Penalaran Matriks (Matrix Reasoning), dan Penyusunan Gambar (Picture Arrangement, mengatur atau menyusun serangkaian gambar kartun menjadi sebuah urutan cerita). Tiga sub-tes mengukur memori kerja (working memory), yakni Aritmatik (permasalahan aritmatika mental yang disajikan dalam situasi praktis), Digit Span (rangkaian angka terpanjang yang disajikan secara verbal yang dapat diingat secara tepat baik dalam urutan ke depan maupun urutan dari belakang), serta Letter-number sequencing (menyajikan urutan huruf-huruf dan angka-angka secara acak, dan subjek diminta untuk mengurutkan ulang dan menyebutkan kembali urutan angka terpisah dari urutan huruf, misalnya, “7 Z J 4 K 9 B 8 F 2” menjadi “24789, BFJKZ”). Dua sub-tes mengukur kecepatan pemrosesan, yang terdiri atas Digit Symbol-Coding dan Symbol Search. Sekarang tes Wechsler ini bahkan sudah mencapai revisi keempatnya (Wechsler, 2008); lihat Gambar 27.

Gambar 26. WAIS III

Gambar 27. WAIS IV

WAIS diadministrasikan atau diselenggarakan secara individual oleh pengetes yang terlatih, dengan batasan waktu tertentu dan perangkat yang dipersyaratkan. Tes ini menghabiskan satu jam atau lebih. Tidak semua tes inteligensi menghabiskan waktu, sekompleks dan intens menggunakan pengetes individu seperti WAIS. Tes Raven (Raven, Raven, & Cour, 1998) membutuhkan waktu 30 menit atau kurang, berfokus pada sebuah tugas tunggal, dan dapat diselenggarakan secara kelompok.

Struktur Kemampuan

Meskipun semua ilmuwan berurusan dengan data yang sama, penjelasan (teori) mereka terhadap data mungkin berbeda. Dalam tes inteligensi, ada dua pendekatan utama, yakni (1) yang menekankan generalitas (keumuman) kemampuan, (2) yang berfokus pada perbedaan antar kemampuan.

Charles Spearman dan Inteligensi Umum

Terkait pengalaman Binet, kenyataan yang paling berpengaruh adalah adanya hubungan positif lintas ukuran-ukuran kemampuan yang beragam, yang menunjukkan eksistensi sebuah faktor terorganisasi yang mendasari korelasi ini. Penelitian empiris paling awal tentang kemampuan kognitif umum tersebut dilakukan oleh Charles Spearman (1863–1945) yang mengistilahkan inteligensi umum ini sebagai “faktor g” (Spearman, 1904). Spearman menyatakan bahwa g bukanlah sebuah fakultas kemampuan atau modul tunggal, sehingga tidak pernah diukur secara langsung atau terobservasi dalam satu tingkah laku tunggal. Melainkan, Spearman menyatakan bahwa inteligensi merupakan sebuah properti (atribut) umum untuk semua proses kognitif. Spearman memandang inteligensi sebagai sebuah “energi mental”, yang memberikan energi kepada fakultas kemampuan dan fungsi-fungsi yang berbeda.

Binet menemukan bahwa tesnya dapat ditingkatkan dengan mempertahankan butir-butir tes dari rentang domain (ranah) yang luas. Serupa dengan itu, Spearman menyatakan sebuah tes inteligensi yang bagus harus berkonsentrasi tidak hanya pada pengembangan sebuah jenis pertanyaan tunggal untuk mengukur g, melainkan mencakup seluas mungkin diversitas atau keragaman butir-butir tes sebagai unsur yang akan memunculkan kemampuan umum. Kebutuhan akan butir-butir tes jangkauannya yang luas disebutnya sebagai “indifference of the indicator”, yang menunjukkan bahwa g mempengaruhi semua jenis kemampuan, bahwa ukuran-ukuran tertentu yang dipilih untuk mengukur g tidaklah masalah, serta bahwa makin berbeda ukuran-ukuran yang digunakan makin baik.

Spearman mengumpulkan dan meneliti pola-pola korelasi antar sejumlah besar tes kemampuan yang berbeda. Ia mengamati pola yang jelas bahwa semua tes tersebut dari ranah (domain) apapun berkorelasi positif satu dengan yang lain. Hal ini disebutnya sebagai “positive manifold”. Spearman mengembangkan metode statistik analisis faktor, sebagiannya untuk menunjukkan bahwa korelasi yang konsisten positif ini mencerminkan sebuah faktor umum yang mendasari. Bahwa tes-tes kemampuan yang berbeda dipengaruhi oleh satu dasar penyebab umum. Eksistensi faktor g dengan baik diilustrasikan oleh 13 sub-tes WAIS-III yang disajikan di atas. Ketika WAIS-III diberikan kepada sebuah kelompok representatif yang terdiri atas beberapa ribu orang dewasa, korelasi rata-rata dari tiap-tiap sub-tes dengan semua sub-tes lain sangat substansial, yakni 0,49. Faktor kemampuan umum (g atau general ability) ini telah diteguhkan dalam ratusan set data yang dikumpulkan sepanjang abad terakhir, yang mampu menjelaskan 50% variansi dalam rangkaian tes (battery of tests) yang beragam dan komprehensif manapun (Carroll, 1993).

Faktor g bukanlah huruf terakhir yang terkait dengan struktur kemampuan. Pada 1904, Spearman menyatakan bahwa tes kemampuan apapun dapat diuraikan (dekomposisi) menjadi g beserta satu atau lebih komponen yang lebih spesifik. Pada 1937, Spearman mengelaborasi teori ini, dan menyatakan bahwa tidak hanya semua tes berkorelasi satu dengan yang lain (g), serta tes-tes tunggal cenderung memuat variasi yang unik bagi dirinya sendiri (spesifik), melainkan juga-juga tes-tes membentuk kluster-kluster (kelompok-kelompok) seperti “verbal”, “spasial”, atau “atensi”. Hal-hal ini dikenal sebagai “group factors” (faktor kelompok). Karya Thurstone memperlihatkan penekanan pada faktor-faktor kelompok ini. Menurut Thurstone, ada tujuh faktor kelompok kemampuan mental primer, yakni penalaran (reasoning), keluwesan berbahasa (word fluency), kemampuan terkait angka (number facility), pemahaman verbal (verbal comprehension), kecepatan perseptual (perceptual speed), visualisasi keruangan (spatial visualization), dan ingatan asosiatif (associative memory).

Model Kemampuan Hierarkis

Sementara Spearman berfokus pada unsur umum dari semua ukuran kemampuan, para peneliti lain berfokus pada perbedaan-perbedaan antar kemampuan, serta pada kenyataan bahwa kita dapat menemukan individu yang kuat pada satu jenis kemampuan dan lemah pada tipe kemampuan yang lain. Salah satu tokoh utama yang menekankan pandangan ini adalah Lewis Thurstone (1887–1955), yang mengembangkan teori “kemampuan mental primer” (primary mental abilities), yang mengidentifikasi tujuh kemampuan utama yang berbeda, sebagaimana telah disebutkan di atas.

Persamaan antara Thurstone dengan Binet atau Spearman adalah bahwa mereka semua mengakui adanya jenis-jenis kemampuan yang berbeda. Perbedaan utama antara Thurstone dengan Binet atau Spearman adalah Thurstone menganggap kemampuan-kemampuan yang berbeda itu saling bebas (independen) satu sama lain. Thurstone menyatakan bahwa bukti yang nampak dari adanya faktor kemampuan umum merupakan artefak tes, misalnya karena disebabkan kenyataan bahwa banyak tugas melibatkan lebih dari satu kemampuan mental primer. Sebagai contoh, sebuah teka-teki (puzzle) matematika yang disajikan secara verbal mungkin dibantu oleh imajeri (pembayangan) visual. Thurstone dan para pengikutnya berargumen bahwa g semata-mata merupakan “perata-rataan” (averaging) kemampuan seseorang pada ranah-ranah atau bidang-bidang yang independen satu dengan yang lain. Pandangan mengenai tiadanya korelasi antar semua kemampuan tetap bertahan hingga sekarang ini dalam bentuk teori kecerdasan ganda (multiple intelligence theory) (Gardner, 1983).

Apabila separuh variabilitas kemampuan disebabkan karena faktor umum tunggal, ada dua pertanyaan yang muncul. Pertama, apakah basis (dasar) faktor ini? Kedua, apakah struktur untuk separuh variasi kemampuan yang lain? Penting untuk memahami bagaimana keseluruhan struktur inteligensi manusia dimengerti oleh para peneliti kontemporer. Carroll (1993) menyimpulkan bahwa sementara separuh variasi/perbedaan dalam bateri tes besar apapun disebabkan oleh kemampuan umum (general ability), perbedaan sisanya memiliki struktur tiga lapis (three-tier structure) yang serupa dengan yang dikemukakan Spearman. Faktor g mendasari hal yang disebut Carrol faktor stratum-II (yang disebut Spearman sebagai faktor kelompok atau group factors). Di bawah stratum-II adalah stratum-III. Pada tingkat ini terletak kemampuan-kemampuan yang spesifik untuk sebuah tes tunggal atau sebuah bidang kemampuan yang sangat sempit. Model ini cukup mirip cakupannya dengan hal yang disebut psikolog kognitif dewasa ini sebagai modul-modul kognitif. Struktur ini dapat dicontohkan dengan struktur WAIS. Dengan menggunakan Analisis Faktor Konfirmatori, ditemukan bahwa ke-13 sub-tes WAIS memiliki empat kelompok bidang kognitif (Gambar 28; berdasarkan Carroll, 1993). Skor-skor dari keempat bidang kognitif tersebut berinterkorelasi rata-rata sebesar 0,8. Hal ini mendukung adanya sebuah faktor tunggal, general yang mempengaruhi masing-masing keempat kemampuan tersebut.

Gambar 28. Struktur tiga lapis WAIS

Inteligensi Terkristal dan Inteligensi Mengalir

Sebagaimana telah kita lihat di atas, tes-tes inteligensi dapat memuat butir-butir yang mengasumsikan pengetahuan khusus yang sangat sedikit, serta butir-butir yang harus pernah dipelajari oleh seseorang dan tersimpan dalam memorinya. Teori inteligensi mengalir (fluid intelligence) dan inteligensi terkristal (crystallized intelligence) (Gf-Gc) dikembangkan oleh Cattell pada tahun 1940-an dan diperluas oleh Horn (1998). Cattell membedakan kemampuan mengalir (fluid ability) dan kemampuan terkristal (crystallized ability). Kemampuan mengalir adalah pemecahan permasalahan ketika pengalaman dan pengetahuan sebelumnya sedikit digunakan. Kemampuan terkristal berasal dari pendidikan dan pengalaman yang berkembang sepanjang waktu. Cattell dan Horn berpendapat bahwa kemampuan mengalir lebih bersifat diwariskan/diturunkan (heritable), sedangkan kemampuan terkristal menunjukkan lebih besarnya pengaruh lingkungan keluarga dan kebudayaan. Kedua kemampuan ini nampaknya merupakan efek dari kemampuan umum sampai dengan masa dewasa. Sepanjang masa dewasa, faktor-faktor genetik dan lingkungan mulai menunjukkan efeknya pada inteligensi. Kemampuan mengalir menunjukkan sensitivitas yang lebih besar terhadap efek-efek ini dan lebih cepat mengalami kemunduran/penurunan daripada kemampuan terkristal (Craik & Salthouse, 2000).

Gardner: Kecerdasan Ganda

Howard Gardner (1983) mengajukan teori kecerdasan ganda (multiple intelligences), berdasarkan penelitian terhadap (1) “orang-orang terpelajar” (savants) yang memiliki sekumpulan kemampuan tinggi namun memiliki skor yang sangat rendah dalam kebanyakan ukuran kemampuan, (2) pasien-pasien neuropsikologis yang telah kehilangan kemampuan yang relatif terbatas (misalnya, kemampuan untuk mengenali wajah), serta (3) para ahli (experts) yang memperlihatkan kinerja keahlian yang luar biasa dalam sebuah bidang terbatas, seperti musik. Gardner menggunakan kelompok-kelompok tersebut untuk mengkontraskannya dengan progresi atau kemajuan perkembangan normal yang diobservasi dan diukur oleh Binet. Gardner menyatakan bahwa inteligensi hendaknya mencakup kemampuan atau abilitas musikal, badaniah-kinestetik, linguistik (kebahasaan), logis-matematik, keruangan (spasial), interpersonal (antarpribadi), dan intrapersonal. Hal ini sebenarnya tidak kontroversial, karena Spearman pun sangat spesifik ketika menyatakan bahwa ukuran g yang paling bagus hendaknya mencakup semua posibilitas kemampuan. Kebanyakan teori inteligensi umum juga mencakup tugas-tugas linguistik, logis, dan keruangan, serta mengakui bahwa tingkah laku dihasilkan oleh aktivitas sejumlah besar “modul-modul” otak yang terspesialisasi.

Hal yang menjadi ciri khas teori Gardner bukanlah adanya pengakuan terhadap kemampuan multipel ini, melainkan hipotesis Gardner bahwa kemampuan-kemampuan ini tidak membentuk sebuah faktor umum (general factor). Dalam hal ini, Gardner sebenarnya mengulangi argumen Thurstone bahwa kemampuan-kemampuan mental utama adalah saling bebas. Ingat, bahwa Thurstone juga mengidentifikasikan tujuh kemampuan mental utama yang saling independen. Gardner tidak mengembangkan skala kecerdasan untuk memeriksa kemampuan-kemampuan yang diajukannya, dan teori kecerdasan ganda terus-menerus diuji. Penelitian tetap menunjukkan hasil atau kenyataan yang konsisten adanya korelasi positif antar tes-tes kemampuan yang berbeda serta adanya faktor g. Sebagai contoh, kemampuan intrapersonal dan interpersonal berkorelasi dengan kemampuan umum (Mayer, Caruso, & Salovey, 1999). Bahkan dansa pop (yang dianggap sebagai kecerdasan kinestetik) berkorelasi lebih banyak dengan indikasi umum kompetensi personal (Brown, dkk., 2005).

Kognisi dan Biologi

Penelitian-penelitian tentang inteligensi manusia telah mengarah pada pencarian basis biologis (neurologis) dari inteligensi. Hal-hal biologis yang diketahui berkorelasi dengan kemampuan adalah kecepatan pemrosesan informasi, volume otak, dan konektivitas otak. Sejumlah penelitian sejak tahun 1970-an menunjukkan korelasi antara kecepatan waktu reaksi (yang dipengaruhi pemrosesan informasi) dan IQ.

Sementara itu, hubungan antara volume otak dengan inteligensi telah menjadi topik perdebatan ilmiah sejak 1830-an. Klaim mengenai adanya relasi tersebut sangat dikritik oleh sejarawan ilmu Steven Gould sebagai “ilmu semu” (pseudoscientific), karena data yang bias dan lemah (Gould, 1996). Nampaknya gagasan bahwa sesuatu yang nampak superfisial seperti ukuran otak berasosiasi dengan inteligensi sungguh-sungguh nampak dapat dipertanyakan. Namun demikian, bukti-bukti ilmiah dewasa ini nampaknya membantah kritik Gould. Volume otak nampaknya merupakan salah satu basis biologis terkuat yang berkorelasi dengan inteligensi. Salah satu laporan ilmiah pertama yang ketat tentang relasi ini berasal dari Nancy Andreasen (Andreasen, dkk, 1993), seorang ilmuwan kognitif yang meminati kreativitas dan kinerja-kinerja luar biasa. Meta-analisis baru-baru ini terhadap 37 penelitian tentang relasi antara inteligensi dan volume otak yang berasal dari teknik-teknik pencitraan otak modern telah menunjukkan bahwa korelasinya hampir 0,33 (McDaniel, 2005). Korelasi ini sedikit lebih tinggi pada perempuan ketimbang laki-laki, dan juga lebih tinggi pada orang dewasa ketimbang anak-anak. Namun demikian, untuk semua kelompok usia dan jenis kelamin, volume otak berkorelasi positif dengan inteligensi.

Genetika struktur otak telah mulai diteliti. Dewasa ini telah terdapat sejumlah studi yang menghubungkan heritabilitas struktur otak dengan IQ. Kajian mutakhir mengenai genetika struktur otak dan inteligensi (Toga & Thompson, 2005) menyimpulkan bahwa determinan predominan dari inteligensi dan struktur otak adalah genetik. Dua buah laporan penelitian terhadap anak kembar dalam jurnal Nature Neuroscience menujukkan bahwa ukuran otak dan kemampuan itu heritabel (diwariskan), dan berkorelasi sekitar 0,4. Korelasi ini disebabkan karena efek genetik terbagi di antara anak kembar. Penemuan ini mengimplikasikan adanya gen-gen yang mengendalikan pertumbuhan jaringan otak yang juga mempengaruhi kemampuan. Thompson, dkk. (2001) menunjukkan bahwa volume wilayah frontal otak dan wilayah kebahasaan berkorelasi kuat dengan IQ, dan serupa pada anak-anak kembar identik ketimbang kembar dizigotik. Keserupaan ini barangkali memiliki basis genetik. Penelitian pencitraan otak juga menunjukkan bahwa aktivasi lobus frontal otak (misalnya, sepanjang tugas-tugas yang menuntun atensi terkendali) berkorelasi 0,51 dengan IQ (Gray, Chabris, & Braver, 2003). Literatur modern tentang korelasi otak dengan inteligensi menunjukkan bahwa jumlah sel-sel saraf (volume otak) dan jumlah konektivitas otak meningkatkan kemampuan yang dibutuhkan bagi kemampuan tingkat tinggi.

Pengaruh Lingkungan Terhadap Inteligensi

Sejumlah eksperimen alamiah menunjukkan bahwa sekolah meningkatkan IQ. Data menunjukkan bahwa anak-anak yang bersekolah lebih lama memiliki rerata IQ lebih tinggi. Sebaliknya, skor tes inteligensi anak-anak yang tidak sekolah karena sekolahnya ditutup di sebuah wilayah di Virgnia untuk menghindari integrasi suku menurun sekitar 0,4 simpangan baku setiap tahun sekolah ditutup (Green, Hoffman, Morse, Hayes, & Morgan, 1966). Jensen (1977) dalam eksperimen alamiahnya menunjukkan bahwa anak-anak yang lebih tua yang bersekolah di sekolah yang pembelajarannya sangat sedikit memiliki skor IQ yang lebih rendah ketimbang anak-anak yang lebih muda yang bersekolah di sekolah yang pembelajarannya lebih bagus, padahal anak-anak itu berasal dari keluarga yang sama.

Penjelasan atas korelasi antara sekolah dan IQ adalah karena pendidikan di sekolah membekali anak-anak dengan praktik-praktik terstruktur dan bertujuan meningkatkan kemampuan.

Efek Genetik Terhadap Inteligensi

Genetika perilaku merupakan studi tentang sumbangan genetik terhadap perbedaan antar anggota populasi. Studi ini memeriksa besarnya dan sifat kontribusi gen-gen spesifik. Heritabilitas (pewarisan) genetik berkisar dari 0 sampai 1, dan menggambarkan proporsi variasi antar orang yang disebabkan oleh efek genetik. Banyak penelitian besar yang mengestimasi heritabilitas IQ telah dilakukan, hasilnya berkisar antara 0,5 dan 0,8 (Deary, Spinath, & Bates, 2006). Faktor g sangat heritabel dalam banyak penelitian.

Namun demikian, efek genetik dan lingkungan terhadap kemampuan tidak konstan, melainkan berkembang cukup dramatis sepanjang waktu. Pada awal-awal kehidupan, khususnya sebelum sekolah, kontribusi lingkungan terhadap IQ anak cukup tinggi (sekitar 0,6) (misalnya, Reynolds, dkk., 2005; Spinath & Plomin, 2003). Namun demikian, ketika anak berkembang, khususnya sejak masa remaja ke depan, heritabilitas naik tajam mencapai sekitar 0,8 pada usia 60 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa ketika kita berkembang dan meraih lebih banyak kendali atas lingkungan kita, peran variabel keluarga, kebudayaan, atau status sosial menjadi minimal. Seiring dengan kematangan seseorang, ia mungkin memulai aktivitas-aktivitas yang didasarkan atas preferensi dan kemampuan internal, personal berbasiskan genetik; meskipun perlu lebih banyak studi lintas budaya guna mengetahui keuniversalan klaim ini.

Dalam banyak sampel yang digunakan dalam penelitian heritabilitas, orang-orang dari tingkat status sosial ekonomi terendah tidak memiliki representasi/keterwakilan. Kebanyakan sampel juga tidak mencakup populasi non-kulit putih. Heritabilitas inteligensi mungkin berbeda bagi orang dengan latar belakang sosial yang berbeda. Namun, studi-studi, seperti yang dilakukan van Ijzendoorn dan Juffer (2005), menunjukkan bahwa lingkungan yang sangat buruk memiliki efek negatif signifikan terhadap IQ. Memisahkan anak dari lingkungan tersebut, atau upaya remediasi dengan memberikan anak lingkungan yang lebih baik, dapat meningkatkan efek positif. Meskipun demikian, masih belum jelas apakah perbedaan ini akan tetap bertahan seiring anak bertambah usianya dan/atau pengaruh keluarga berkurang.

Dengan berkembangnya proyek genom manusia, para peneliti mulai menemukan gen-gen individu yang mendasari inteligensi manusia (Deary, Spinath, & Bates, 2006). Dalam ksus IQ di bawah 70 (ambang keterbelakangan/retardasi mental), kemampuan mental seringkali dipengaruhi oleh gangguan kromosom utama, seperti Trisomi 21 (adanya salinan kromosom 21 tambahan menimbulkan Sindroma Down). Dari 30.000 gen yang dibawa tiap manusia, 300 di antaranya diketahui berasosiasi dengan keterbelakangan mental. Banyak kasus retardasi mental yang berkaitan dengan abnormalitas kromosom kini dapat dideteksi dini. Hal ini menjadi persoalan etis dan moral, karena perkembangan teknologi deteksi dini ini membuka peluang aborsi janin yang diketahui membawa gen retardasi mental. Tidak seperti retardasi mental, yang seringkali disebabkan oleh abnormalitas genetik mayor, Plomin dan Kovas (2005) menyatakan bahwa retardasi mental ringan (IQ antara 1 dan 2 simpangan baku di bawah rerata populasi) merupakan bagian dari variasi spektrum inteligensi normal. Variansi yang diwariskan dalam spektrum normal tersebut terdistribusi lintas ratusan bahkan ribuan gen, yang masing-masing memiliki efek kecil. Pencarian gen-gen yang terkait inteligensi dilakukan pada 2005 oleh Danielle Posthuma dan kawan-kawan (Posthuma, dkk., 2005) yang menunjukkan bahwa gen atau gen-gen pada kromosom 6 berkaitan dengan inteligensi.

Variabel yang Berkorelasi Dengan Kemampuan Kognitif

Kemampuan kognitif diketahui dapat meramalkan variabel lain. Salah satu korelasi yang paling nyata adalah korelasi antara inteligensi dengan kinerja di sekolah. Dengan mereplikasi pemikiran orisinil Binet, nampak bahwa bakat skolastik sebagaimana diukur oleh tes-tes seperti SAT (Scholastic Aptitude Test) tidak lain adalah faktor g (Frey & Detterman, 2004). Faktor g ini meramalkan tingkat prestasi di sekolah. Korelasi antara IQ dan prestasi sekolah sekitar 0,5, yang bermakna bahwa IQ menjelaskan sekitar 25% dari perbedaan antar orang dalam hasil ujian. Sedangkan, 75% variasi prestasi lainnya bersumber dari (1) faktor-faktor acak yang mempengaruhi prestasi sekolah, (2) perbedaan individual dalam kepribadian seperti keterbukaan hati (Conscientiousness) dan keterbukaan terhadap pengalaman (Openness to Experience) yang mempengaruhi kebiasaan belajar, serta (3) faktor-faktor eksternal seperti dorongan belajar oleh teman sebaya, keluarga, dan guru. IQ masa kanak-kanak juga memprediksikan total tahun pendidikan yang ditempuh orang (Neisser, dkk, 1996). Seberapa banyak orang mampu belajar dapat secara dramatis dipengaruhi oleh pengajaran yang mereka terima, namun tetap terdapat kesenjangan dalam keluaran/hasil pendidikan antara orang-orang dengan IQ tinggi dan IQ rendah. Dalam hal ini, IQ lah yang merupakan peramal kemampuan merespons pengajaran.

Setelah sekolah, kinerja dalam dunia pekerjaan juga paling baik diprediksikan oleh kemampuan umum (Ree & Earles, 1992). Lintas jenis pekerjaan, IQ menjelaskan sekitar 30% perbedaan antar orang dalam hal kinerja (Schmidt & Hunter, 1998). Inteligensi juga berhubungan dengan keluaran-keluaran kehidupan (life outcomes) penting lainnya, baik secara positif maupun negatif (Gottfredson, 1997). Namun demikian, ada relasi-relasi yang sukar dihubungkan secara langsung, misalnya hubungan antara IQ yang lebih rendah dengan serangan kenakalan anak-anak (Moffitt, Gabrielli, Mednick, & Schulsinger, 1981), juga relasi antara IQ yang lebih rendah dengan risiko serta tingkat keparahan gangguan mental (Macklin, dkk., 1998). Inteligensi juga berkorelasi dengan mortalitas (kematian) dan umur panjang. Orang-orang dengan IQ yang lebih tinggi cenderung hidup lebih lama ketimbang yang IQ-nya lebih rendah, meskipun telah mengontrol prediktor-prediktor lain yang terkait dengan risiko mortalitas (misalnya, merokok, kelas sosial rendah) (Whalley & Deary, 2001). Pemahaman efek-efek seperti ini telah menjadi bidang studi baru yang dikenal sebagai “epidemiologi kognitif”.

Stabilitas IQ

Ada bukti-bukti yang menunjang bahwa inteligensi memiliki stabilitas yang tinggi. IQ pada usia 18 tahun dapat diprediksi dengan sangat baik oleh hasil tes IQ pada usia 12 tahun (r = 0,89) atau bahkan usia 6 tahun (r = 0,77) (Jones & Bayley, 1941). Apabila kita merata-ratakan sesi-sesi tes pada setiap kelompok usia untuk menyingkirkan efek kesalahan tes (testing error), korelasi tersebut bahkan menjadi lebih tinggi. Sebagai contoh, korelasi antara sebuah rerata IQ yang diambil pada usia 11, 12, dan 13 tahun, dengan rata-rata tes IQ yang diambil pada usia 17 dan 18 tahun adalah 0,96, yang menunjukkan bahwa IQ berubah sangat sedikit sejak usia 11 tahun ke atas. Skor-skor kemampuan juga tetap stabil lintas rentang kehidupan. Deary, Whalley, Lemmon, Crawford, dan Starr (2000) mengakses skor-skor tes inteligensi semua anak yang berusia 11 tahun di Skotlandia pada 1932. Mereka lalu membawa 100 orang dari sampel ini untuk mengerjakan tes yang identik 66 tahun kemudian. Skor-skor tes inteligensi berkorelasi 0,73 meskipun telah berlalu setengah abad, dan sampelnya telah berusia 77 tahun.

Bias

Ukuran-ukuran inteligensi harus melalui serangkaian uji statistik yang ketat yang ditujukan untuk mendeteksi adanya bias. Deteksi bias pada dasarnya merupakan sebuah bentuk uji validitas, yang memeriksa apakah perbedaan skor antar kelompok orang disebabkan karena berkurangnya validitas tes bagi kelompok tertentu. Bias merendahkan validitas tes. Tiga jenis utama bias tes adalah bias internal, bias situasional, dan bias eksternal.

Bias internal dapat dideteksi ketika butir-butir tes memperlihatkan hasil yang berbeda untuk kelompok yang berbeda. Butir-butir tes hendaknya memiliki urutan kesulitan yang sama dari yang paling mudah ke yang paling sulit untuk semua kelompok. Perbedaan sebuah kelompok dalam urutan kesulitan ini menunjukkan bahwa butir tes yang bersangkutan bias (tidak berkaitan dengan inteligensi) untuk satu kelompok. Misalnya, seseorang yang tidak berbahasa Indonesia akan jauh lebih sulit menjawab pertanyaan “Bagaimana suara seekor anjing?” ketimbang menyusun sebuah jigsaw atau puzzle untuk membentuk gambar seekor anjing (non-verbal). Bagi orang berbahasa Indonesia, pertanyaan verbal lebih mudah ketimbang bagi imigran yang tidak berbahasa Indonesia. Pola-pola kebalikan dari kesulitan butir ini mengindikasikan bahwa pertanyaan verbal secara internal bias terhadap orang-orang yang tidak berbicara bahasa Indonesia.

Bias situasional disebabkan bukan oleh properti internal tes itu sendiri, melainkan oleh perbedaan dalam bagaimana tes diadministrasikan kepada kelompok-kelompok yang berbeda. Contohnya, bias situasional akan terjadi apabila sebuah kelompok kurang akrab atau lebih cemas dengan lingkungan tes.

Bias eksternal terjadi bilamana sebuah tes membuat prediksi yang secara sistematis berbeda untuk satu kelompok ketimbang kelompok yang lain. Sebagai contoh, tes-tes IQ memprediksikan prestasi sekolah dan penghasilan yang akan diperoleh. Apabila sebuah tes IQ memprediksikan rerata prestasi IQ atau penghasilan dari sebuah kelompok lebih rendah (under-predicted) daripada tingkat prestasi IQ dan penghasilan kelompok itu yang sesungguhnya, maka tes tersebut memiliki bias eksternal.

Perbedaan-perbedaan Kelompok Dalam Inteligensi

Masih terjadi perdebatan ilmiah, apakah kelompok laki-laki lebih inteligen daripada kelompok perempuan. Jawaban atas pertanyaan ini penting karena hasil penelitian yang menekankan keunggulan inteligensi laki-laki atas perempuan pada masa yang lalu telah digunakan untuk membenarkan akses pendidikan dan partisipasi demokratis yang tidak ekual antara laki-laki dan perempuan.

Di samping itu, penelitian-penelitian juga masih berlangsung untuk mengetahui perbedaan IQ antar kelompok ras. Dalam kaitannya dengan kelompok ras, masih dipertanyakan apakah perbedaan ini memiliki basis perbedaan biologis juga, karena faktor-faktor lingkungan di antara kelompok-kelompok ras (seperti nutrisi/gizi, norma-norma sosial, kemiskinan, dan diskriminasi rasial) diduga dapat mempengaruhi perbedaan IQ antar-ras. Kita juga mesti hati-hati dengan bias situasional. Sebagai contoh, Steele dan Aronson (1995) menunjukkan bahwa ketika mahasiswa Afrika-Amerika dibuat jadi meyakini bahwa sebuah tugas verbal yang sulit akan menjadi ukuran diagnostika bagi inteligensi mereka, mereka menunjukkan kinerja yang lebih buruk ketimbang tes inteligensi yang tidak disajikan dengan cara demikian. Steele dan Aronson berargumen bahwa dengan membuat kelompok sadar akan stereotip negatif akan menciptakan perasaan terancam dan rentan yang dapat merusak kinerja kelompok tersebut. Ketika partisipan kulit hitam yang diadministrasikan tes inteligensi menyadari bahwa inteligensi yang lebih rendah (dibandingkan kulit putih) merupakan bagian dari stereotip kelompok mereka, hal ini akan merugikan kinerja mereka, sehingga stereotip rasial yang melekat pada mereka seolah-olah “terkonfirmasi”. Fenomena “ancaman stereotip” ini sebagian menjelaskan disparitas dalam ukuran inteligensi antar kelompok ras.

--

--

Juneman Abraham
Juneman Abraham

Written by Juneman Abraham

Psikolog Sosial | Peneliti Psikoinformatika & Psikologi Korupsi | Sains Terbuka | Blog: http://juneman.blog.binusian.org and http://junemanblog.wixsite.com/blog

No responses yet