Kehidupan sebagai Penerjemah (8): Motivasi dan Emosi

Juneman Abraham
34 min readJan 14, 2020

--

Pada 2011, saya menerjemahkan sejumlah karya yang saya pilih dalam bidang psikologi, semata-mata untuk memperkaya materi kuliah Psikologi Umum bagi mahasiswa di fakultas psikologi. Terjemahan ini tidak dimaksudkan pertama-tama untuk dikutip. Kendati demikian, apabila hendak dikutip juga, Anda dapat menerakan hal sebagai berikut di dalam Daftar Pustaka Anda:

Reeve, J. (2009). Understanding motivation and emotion (5th ed.) (Penerjemah/Translator: Juneman Abraham). Hoboken, NJ: Wiley.

Apakah motivasi itu? Apakah motivasi merupakan sebuah hasrat? Sebuah perasaan? Sebuah cara berpikir? Serangkaian proses? Sebuah perjuangan? Sebuah kebutuhan, atau sekumpulan kebutuhan? Pada bagian lanjut dari Bab ini, disajikan sejumlah aspek motivasi yang hampir disetujui oleh setiap orang yang mempelajari motivasi dan emosi.

Mempelajari motivasi merupakan hal yang menarik. Mengapa? Karena mempelajari motivasi berarti mengetahui siapa diri kita, mengapa kita menginginkan hal yang kita inginkan, dan bagaimana meningkatkan kualitas hidup kita. Ketika kita mencoba menjelaskan mengapa orang melakukan apa yang mereka lakukan, kita dapat menengok pada teori-teori motivasi untuk belajar tentang sifat dasar manusia, perjuangan untuk mencapai prestasi dan kekuasaan, hasrat seks biologis dan hasrat intimasi psikologis, emosi-emosi seperti rasa takut dan marah, penanaman talenta dan penumbuhkembangan kreativitas, pengembangan minat dan kompetensi, serta pembuatan rencana dan penetapan tujuan. Topik motivasi juga memiliki kegunaan praktis. Akan sangat berguna untuk mengetahui dari manakah motivasi datang, mengapa kadangkala motivasi berubah dan mengapa kadangkala tetap, dalam kondisi apa sajakah motivasi meningkat dan menurun, aspek-aspek motivasi apa sajakah yang dapat dan tidak dapat berubah, serta jenis-jenis motivasi apa sajakah yang menghasilkan keterlibatan (engagement) dan kesejahteraan pribadi (well-being). Dengan mengetahui hal-hal semacam itu, kita dapat menerapkan pengetahuan kita pada situasi-situasi, seperti memotivasi karyawan, membimbing (coaching) atlet, mengkonseling klien, membangkitkan anak-anak, membimbing siswa, atau mengubah cara kita berpikir, merasa, dan berperilaku.

Mengapa orang berolahraga? Ini merupakan pertanyaan motivasional, yang jawabnya ada di Tabel 1.

Tabel 1. Alasan motivasional untuk berolahraga

Seorang peneliti motivasi akan menanyakan sebagian atau semua pertanyaan berikut ini: Apakah orang yang menetapkan tujuan untuk berolahraga akan secara aktual berolahraga lebih banyak ketimbang orang yang tidak menetapkannya? Apakah olahraga sungguh-sungguh meredakan stres, mengurangi depresi, memberikan perasaan puas? Apabila olahraga menghasilkan efek-efek tersebut, dalam kondisi apa sajakah efek-efek tersebut dihasilkan? Setiap pertanyaan ini memerlukan pengujian ilmiah, oleh sebab teori motivasi bersifat ilmiah. Penelitian tentang motivasi berkisar pada upaya untuk menjawab dua pertanyaan mendasar (Reeve, 2009): (1) Apa yang menyebabkan tingkah laku?, dan (2) Mengapa tingkah laku bervariasi intensitasnya?

Pertanyaan pertama, “Apa yang menyebabkan tingkah laku?” dapat juga dinyatakan begini, “Mengapa dia melakukan itu?” dan “Mengapa ia melakukan sesuatu tertentu pada waktu tertentu?” Kita menyaksikan orang bertingkah laku, namun kita tidak dapat melihat sebab-sebab yang mendasari atau yang menghasilkan tingkah laku tersebut. Kita melihat orang memperlihatkan upaya yang keras dan kegigihan (persistensi), atau tidak sama sekali, namun alasan-alasannya tidak terobservasi. Motivasi merupakan bidang studi ilmiah untuk menjawab pertanyaan ini. Guna sungguh-sungguh menjelaskan “Apa yang menyebabkan perilaku?” kita perlu memperluas satu pertanyaan umum ini menjadi serangkaian pertanyaan spesifik, misalnya, “Mengapa tingkah laku mulai?” (inisiasi) “Ketika mulai, mengapa tingkah laku bertahan?” (persistensi), “Mengapa tingkah laku diarahkan menuju sejumlah tujuan, namun juga diarahkan menghindari arah yang lain?” (keterarahan pada tujuan), “Mengapa tingkah laku berubah dalam arahnya?” (perubahan), “Mengapa tingkah laku berhenti?” (terminasi), “Kapan tingkah laku berhenti?”, “Apa yang akan dilakukan selanjutnya setelah menghentikan tingkah laku”, dan sebagainya.

Motivasi dan emosi tidak hanya mempengaruhi tingkah laku, melainkan juga mempengaruhi pikiran, perasaan, harapan dan aspirasi kita. Jadi, pertanyaan “Apa yang menyebabkan tingkah laku” dapat diperluas menjadi “Apa yang menyebabkan aktivitas kita — tidak hanya tingkah laku, tetapi juga pikiran, perasaan, dan harapan kita?”

Pertanyaan kedua, “Mengapa tingkah laku bervariasi dalam intensitasnya?” dapat juga ditanyakan demikian, “Mengapa tingkah laku itu kuat dan bertahan pada satu waktu, namun lemah dan rentan pada waktu yang lain?” dan “Mengapa orang yang sama memilih untuk melakukan hal-hal yang berbeda pada waktu-waktu yang berbeda?” Tingkah laku bervariasi dalam intensitasnya, dan intensitas ini bervariasi dalam individu dan antar individu yang berbeda. Gagasan bahwa motivasi dapat bervariasi dalam individu berarti bahwa seseorang dapat secara aktif terlibat dengan tingkah laku dalam satu waktu, namun orang yang sama dapat pasif dan lesu pada waktu yang lain. Gagasan bahwa motivasi dapat bervariasi antar individu bermakna bahwa, bahkan dalam situasi yang sama, sejumlah orang dapat secara aktif terlibat (motivasi kuat) sementara orang yang lain pasif dan lesu (motivasi lemah).

Teori Motivasi

Guna menjelaskan mengapa orang melakukan apa yang mereka lakukan, kita memerlukan teori motivasi. Inti teori motivasi adalah untuk menjelaskan proses-proses apakah yang memberikan kepada perilaku itu energi dan arah (menuju tujuan). Energi menyiratkan bahwa tingkah laku memiliki kekuatan, sehingga dapat cukup kuat, intensif, dan persisten. Arah menyiratkan bahwa tingkah laku memiliki tujuan (goal, outcome). Proses-proses yang memberikan energi dan arah kepada tingkah laku berasal dari kekuatan (forces) baik di dalam diri maupun di dalam lingkungan, sebagaimana nampak dalam Gambar 29. Motif merupakan pengalaman internal (kebutuhan, kognisi, dan emosi) yang memberikan energi kepada tendensi (kecenderungan) mendekat dan menghindar. Peristiwa-peristiwa eksternal adalah tawaran-tawaran lingkungan, sosial, budaya yang menarik atau menolak individu untuk terlibat atau tidak terlibat dalam tingkah laku tertentu.

Gambar 29. Sumber motivasi

Sebuah motif merupakan proses internal yang memberikan energi dan mengarahkan perilaku. Jadi, motif merupakan istilah umum untuk menggambarkan payung atas kebutuhan-kebutuhan, kognisi-kognisi, dan emosi-emosi. Perbedaan antara motif dengan kebutuhan, kognisi, dan emosi adalah pada tingkat analisisnya. Kebutuhan, kognisi, dan emosi hanya merupakan tiga jenis spesifik dari motif.

Kebutuhan (needs) merupakan kondisi-kondisi dalam individu yang esensial dan perlu bagi pemeliharaan kehidupan dan pengasuhan pertumbuhan dan kesejahteraan. Lapar dan haus merupakan contoh dua kebutuhan biologis yang bangkit dari kebutuhan tubuh akan makanan dan minuman. Makanan dan minuman esensial dan perlu bagi pemeliharaan biologis, kesejahteraan (well-being), dan pertumbuhan. Kompetensi dan kebersamaan (belongingness) merupakan contoh dari dua kebutuhan psikologis yang bangkit dari kebutuhan diri akan penguasaan lingkungan dan hubungan antarpribadi yang hangat. Kompetensi dan kebersamaan esensial dan perlu bagi pemeliharaan psikologis, kesejahteraan, dan pertumbuhan. Kebutuhan-kebutuhan melayani organisme, dengan cara menghasilkan keinginan (wants), hasrat (desires), dan perjuangan (strives) yang memotivasi tingkah laku apapun yang perlu bagi pemeliharaan kehidupan serta peningkatan kesejahteraan dan pertumbuhan. Ada jenis-jenis kebutuhan spesifik, seperti kebutuhan fisiologis, kebutuhan psikologis, dan kebutuhan sosial.

Kognisi merujuk pada peristiwa mental, seperti pikiran, keyakinan, ekspektasi (harapan), dan konsep diri. Sumber-sumber kognitif dari motivasi berkisar pada cara orang berpikir. Sebagai contoh, ketika mahasiswa atau atlet melibatkan diri dalam sebuah tugas, mereka memiliki dalam pikirannya sejumlah rencana atau tujuan, mereka memegang keyakinan tentang kemampuan mereka, mereka memelihara ekspektasi akan kesuksesan dan kegagalan, mereka memiliki cara-cara untuk menjelaskan kesuksesan dan kegagalan mereka, serta mereka memiliki pemahaman mengenai siapa diri mereka sekarang dan menjadi siapa diri mereka diperjuangkan. Sumber-sumber kognitif dari motivasi adalah rencana dan tujuan, keyakinan dan harapan, serta diri.

Emosi merupakan fenomena subjektif-fisiologis-fungsional-ekspresif berjangka pendek (short-lived) yang mengorkestrasikan atau mengorganisasikan cara-cara kita bereaksi secara adaptif terhadap peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan kita. Emosi mengorganisasikan empat aspek pengalaman yang saling berkaitan, yakni (1) Perasaan (feelings), yaitu deskripsi subjektif dan verbal dari pengalaman emosional, (2) Kesiapan fisiologis (physiological preparedness), yakni bagaimana tubuh kita secara fisik memobilisasi dirinya untuk menghadapi tuntutan situasi, (3) Fungsi (function), apa yang secara spesifik kita inginkan untuk kita penuhi pada momen tersebut, dan (4) Ekspresi, bagaimana kita mengkomunikasikan pengalaman emosional kita secara publik kepada orang lain. Dengan mengelola keempat aspek ini menjadi sebuah pola koheren, maka emosi memungkinkan kita untuk mengantisipasi dan bereaksi secara adaptif terhadap peristiwa kehidupan. Sebagai contoh, ketika kita menghadapi sebuah ancaman terhadap kesejahteraan pribadi kita, kita merasa takut, denyut jantung kita meningkat, kita ingin meloloskan diri (escape), dan sudut bibir kita tertarik ke belakang sedemikian rupa sehingga orang lain dapat mengenai dan merespons pengalaman kita. Emosi lain, seperti marah (anger) dan gembira (jot) memperlihatkan pola-pola koheren serupa yang mengorganisasikan perasaan, kesiapan, fungsi, dan ekspresi kita sedemikian sehingga memungkinkan kita untuk menanggulangi (cope) secara sukses kondisi-kondisi yang kita hadapi.

Peristiwa-peristiwa eksternal merupakan sumber motivasi dari lingkungan, sosial, budaya yang memiliki kapasitas untuk memberikan energi dan mengarahkan perilaku. Sumber lingkungan motivasi kita eksis sebagai rangsangan atau stimuli (misalnya, uang) atau peristiwa (misalnya, pujian). Sumber lingkungan ini juga eksis sebagai situasi umum dan iklim sekeliling (misalnya, iklim kelas, gaya pengasuhan), atau sebagai kebudayaan di mana kita hidup. Insentif penawaran uang seringkali menjadi insentif untuk tingkah laku mendekat (approach behavior), sedangkan bau lingkungan yang tidak enak seringkali merupakan insentif bagi tingkah laku menghindar (avoidance behavior). Peristiwa eksternal (uang, bau) memperoleh kapasitas untuk memberikan energi dan mengarahkan perilaku sejauh uang dan bau ini memberikan sinyal bahwa tingkah laku tertentu akan menghasilkan konsekuensi hadiah (reward) atau hukuman (punishment). Jadi, insentif eksternal mendahului tingkah laku dan secara fungsional menarik (pull) tingkah laku mendekat, atau secara fungsional mendorong (push) tingkah laku menghindar.

Ekspresi Motivasi

Bagaimana Anda dapat menyebut bahwa seseorang termotivasi, atau tidak termotivasi, atau hanya sedikit termotivasi? Atau, termotivasi menuju suatu hal ketimbang hal lain? Semua orang dimotivasikan/termotivasi, jadi kita perlu mengkalimatkan ulang pertanyaan kita menjadi, “Bagaimana Anda dapat menyatakan kualitas (jenis) dan kuantitas (jumlah) motivasi orang lain?” Sebagai contoh, apabila Anda melihat para remaja bertanding dalam olahraga tenis, bagaimana Anda mengetahui bahwa seseorang lebih termotivasi ketimbang orang yang lain? Bagaimana Anda mengetahui apakah seorang pemain memelihara kualitas motivasi yang lebih tinggi ketimbang yang lain?

Motivasi merupakan sebuah pengalaman privat, tak teramati, dan nampak misterius. Anda tidak dapat melihat motivasi orang lain. Ketika Anda berjalan, Anda tidak dapat melihat rasa haus, tujuan, dan tingkat motivasi berprestasi dari orang-orang yang berpapasan dengan Anda. Namun, Anda dapat mengobservasi tingkah laku orang tersebut dan memantau informasi tingkah laku itu untuk menyimpulkan adanya motivasi.

Ada dua cara penyimpulan motivasi. Pertama, mengobservasi manifestasi perilaku dari motivasi. Sebagai contoh, untuk menyimpulkan rasa lapar, kita menyaksikan apakah orang itu makan lebih cepat dari biasanya, menggigit dengan bertenaga, berbicara tentang makan sepanjang percakapan, dan mengabaikan tradisi sosial demi memperoleh kesempatan makan. Bertindak cepat, bertenaga, dan sempit dalam tindakan menggambarkan bahwa ada kekuatan yang memberikan energi dan mengarahkan perilaku konsumsi orang itu. Kedua, memberikan atensi lebih dekat kepada anteseden (peristiwa pendahulu) yang diketahui membangkitkan keadaan motivasional. Setelah 72 jam deprivasi (kekurangan) makanan, seseorang akan lapar. Setelah merasa terancam, orang akan merasa takut. Setelah memenangi sebuah kompetisi, seseorang akan merasa kompeten. Deprivasi makanan menimbulkan rasa lapar, penilaian adanya ancaman menimbulkan rasa takut, dan seterusnya. Ketika kita mengetahui anteseden motivasi seseorang, kita dapat meramalkan kondisi motivasional seseorang, dan kita dapat melakukan prediksi tersebut dengan cukup percaya diri. Namun anteseden-anteseden ini tidak selalu dapat diketahui. Lebih sering motivasi harus disimpulkan dari ekspresinya melalui tingkah laku, keterlibatan (engagement), fisiologi, dan laporan diri (self-report).

Sejumlah ahli menyatakan adanya delapan aspek tingkah laku mengekspresikan kehadiran (presensi), intensitas, dan kualitas motivasi (Atkinson & Birch, 1970, 1978; Bolles, 1975; Ekman & Friesen, 1975). Kedelapan aspek tersebut adalah perhatian (atensi), upaya (effort), latensi, kegigihan (persistensi), pilihan (choice), probabilitas (peluang) respons, ekspresi wajah, dan gestur badaniah. Kedelapan aspek tingkah laku tersebut disajikan dalam Tabel 2. Ketika tingkah laku menunjukkan perhatian (on-task attention), upaya yang intensif, latensi yang pendek, kegigihan yang lama, tingginya probabilitas respons, tingkat ekspresi wajah dan gestur yang tinggi, atau ketika individu mengejar objek tujuan spesifik ketimbang objek yang lain, maka hal-hal ini merupakan bukti untuk menyimpulkan kehadiran sebuah motif yang relatif intensif. Sebaliknya, ketika tingkah laku kadang-kadang redup (off-task) dan menunjukkan ketiadaan upaya, latensi yang lama, persistensi yang rentan, rendahnya probabilitas kejadian tingkah laku, ekspresi wajah dan gestur yang minimal, atau individu mengejar alternatif objek-tujuan, maka hal-hal ini merupakan bukti untuk menyimpulkan tiadanya motif atau setidaknya kehadiran motif yang relatif lemah.

Aspek

Penjelasan

Atensi

Perhatian, konsentrasi dan fokus pada tugas.

Upaya

Perjuangan ketika mencoba memenuhi sebuah tugas.

Latensi

Waktu penundaan respons seseorang terhadap paparan peristiwa rangsang.

Kegigihan

Waktu antara permulaan respons sampai dengan berhentinya respons.

Pilihan

Ketika disajikan atau diberikan pilihan dua atau lebih rangkaian tindakan, orang tersebut menunjukkan preferensi/kesukaan pada satu rangkaian tindakan ketimbang yang lain.

Peluang respons

Jumlah atau persentase kejadian di mana terjadi respons yang terarah pada tujuan, dibandingkan dengan peluang yang tersedia untuk tingkah laku tersebut terjadi.

Ekspresi wajah

Gerak-gerik wajah, seperti mengerutkan hidung, menaikkan bibir atas, menurunkan kening (contoh dari ekspresi wajah jijik).

Gestur badaniah

Postur, pergeseran titik berat badan, dan pergerakan lengan, tangan, dan kaki. Contoh: mengepalkan tangan.

Tabel 2. Ekspresi tingkah laku dari motivasi

Keterlibatan (engagement) merujuk pada intensitas perilaku, kualitas emosi, dan investasi pribadi sepanjang sebuah kegiatan (Fredricks, Blumenfeld, & Paris, 2004; Halusic, Tseng, & Reeve, 2008; Wellborn, 1991). Guna memantau keterlibatan, orang harus memantau dan mencatat perilaku, emosi, kognisi, dan suara/pernyataan, sebagaimana Gambar 30.

Gambar 30. Empat aspek keterlibatan

Keterlibatan perilaku menggambarkan sejauh mana orang menampilkan perhatian, upaya, dan kegigihan. Keterlibatan emosi mengekspresikan sejauh mana kegiatan orang menunjukkan emosi positif, seperti minat dan kegembiraan; ketimbang emosi negatif, seperti kesedihan dan kemarahan. Keterlibatan kognitif mengekspresikan sejauh mana orang secara aktif memantau seberapa baik kegiatan yang dilakukan serta menggunakan strategi-strategi belajar dan pemecahan masalah. Suara atau pernyataan menunjukkan sejauh mana orang mengekspresikan kebutuhan, preferensi (pilihan), hasrat dari diri serta berupaya untuk mengubah kondisi lingkungan menjadi lebih baik. Sebagai contoh, untuk menyimpulkan motivasi mahasiswa yang duduk di sebelah Anda sepanjang kelas, amatilah atensi dan upayanya (keterlibatan perilaku), minat dan kegembiraannya (keterlibatan emosi), pemrosesan dan pemantauannya terhadap situasi (keterlibatan kognitif), serta partisipasi verbal dan kontribusinya dalam kuliah (suara/pernyataan). Keempat aspek keterlibatan ini secara positif berhubungan, dan aspek-aspek tersebut secara kolektif mengkomunikasi status motivasi seseorang dalam sebuah aktivitas dari waktu ke waktu.

Ketika orang dan binatang bersiap untuk terlibat dalam beragam aktivitas, wilayah-wilayah dalam otak menjadi teraktiviasi. Sistem saraf dan hormon membuat dan juga melepaskan beragam substansi kimiawi (neurotransmitter, hormon) yang memberikan dasar biologis bagi kondisi motivasional dan emosional (Andreassi, 1986; Coles, Ponchin, & Porges, 1986). Dalam sebuah pidato publik, misalnya, pembicara mengalami stres emosional akut dalam berbagai tingkat, dan emosionalitas tersebut memanifestasikan dirinya secara fisiologis melalui bangkitanya katekolamin plasma atau adrenalin (Bolm-Avdorff, Schwammle, Ehlenz, & Kaffarnik, 1989). Guna mengukur perubahan neural (persarafan) dan hormonal, para peneliti menggunakan tes-tes darah, tes-tes saliva (air liur), peralatan psikofisiologis, dan mesin-mesin yang mengamati aktivitas neural dalam otak (misalnya, positron emission tomography / PET scan). Dengan menggunakan ukuran-ukuran ini, peneliti motivasi memantau kegiatan otak, kegiatan hormonal, denyut jantung, tekanan darah, tingkat respirasi (pernapasan), diameter pupil mata, konduktansi kulit, aktivitas otot skeletal, dan indikasi lainnya dari fungsi fisiologis guna menyimpulkan keberadaan dan intensitas dari kondisi motivasional dan emosional, sebagaimana Tabel 3.

Kegiatan

Penjelasan

Kegiatan otak

Pengaktifan struktur-struktur otak, seperti amigdala (untuk emosi) atau korteks prefrontal (menetapkan tujuan).

Kegiatan hormon

Zat-zat kimiawi dalam air liur atau darah, seperti kortisol (stres) atau katekolamin (reaksi lawan atau lari / fight-or-flight).

Kegiatan kardiovaskular

Kontraksi dan relaksasi jantung dan pembuluh darah (misalnya, terhadap insentif yang menarik, atau tugas yang sulit/menantang).

Kegiatan mata/okular

Perilaku mata, seperti ukuran pupil (perluasan aktivitas mental), kedipan mata (perubahan kondisi kognitif), gerakan mata (pikiran reflektif).

Kegiatan elektrodermal

Perubahan-perubahan elektris atau kelistrikan dari permukaan kulit (ekspresi keterancaman atau signifikansi rangsang)

Kegiatan skeletal atau otot

Kegiatan otot, seperti ekspresi wajah (emosi spesifik) atau gestur badaniah (hasrat untuk meninggalkan kejadian).

Tabel 3. Kegiatan otak dan fisiologis sebagai ekspresi motivasi

Secara umum, orang juga dapat melaporkan motivasinya, misalnya dalam wawancara atau kuesioner. Seorang pewawancara dapat memeriksa kecemasan dengan menanyakan bagaimana perasaan cemas seseorang dalam setting tertentu atau dengan meminta orang untuk melaporkan gejala-gejala terkait kecemasan, seperti masalah pencernaan atau pikiran-pikiran tentang kegagalan. Kuesioner memiliki sejumlah keuntungan, misalnya mudah diadministrasikan, dapat diberikan kepada banyak orang secara simultan, dan dapat menargetkan informasi yang sangat spesifik (Carlsmith, Ellsworth, & Aronson, 1976). Namun, kuesioner juga memiliki kelemahan atau bahaya. Banyak peneliti menemukan ketidaksesuaian antara yang mereka nyatakan (dalam kuesioner) dengan apa yang mereka lakukan. Lebih lanjut, terdapat juga ketidaksesuaian antara apa yang orang nyatakan mengenai perasaan mereka dengan apa yang diindikasikan oleh aktivitas psikofisiologis tentang perasaan mereka (Hodgson & Rachman, 1974). Dengan demikian, apa yang orang nyatakan tentang motif-motif mereka seringkali bukan merupakan motif-motif yang diekspresikan oleh tingkah laku dan fisiologis mereka. Misalnya, kesimpulan apakah yang dapat diambil ketika seseorang secara verbal melaporkan rendahnya kemarahan namun menunjukkan latensi yang cepat untuk bertindak agresif, akselerasi yang cepat dalam denyut jantung, alis mata yang mengerut? Oleh karena kesenjangan ini, peneliti motivasi secara umum lebih mempercayai dan mengandalkan ukuran-ukuran tingkah laku, keterlibatan dan fisiologis ketimbang laporan diri.

Tema-tema Dalam Studi Motivasi

Studi atau penelitian motivasi mencakup serangkaian asumsi, hipotesis, teori, temuan, dan ranah aplikasi (terapan). Namun studi motivasi juga memiliki sejumlah tema-tema serupa yang mengintegrasikan asumsi, hipotesis, teori, temuan, dan aplikasi kedalam sebuah bidang studi yang koheren (Reeve, 2009), yakni (1) Motivasi bermanfaat bagi adaptasi, (2) Motif-motif mengarah atensi dan menyiapkan aksi, (3) Motif-motif bervariasi sepanjang waktu dan mempengaruhi arus tingkah laku, (3) Ada berbagai jenis motivasi, (5) Motivasi mencakup tendensi mendekat dan menjauh, (6) Studi motivasi menunjukkan apa yang orang inginkan, (7) Agar berkembang, motivasi memerlukan kondisi-kondisi suportif, (8) Tidak ada yang lebih praktis daripada teori motivasi yang baik.

Motivasi Bermanfaat Bagi Adaptasi

Keadaan senantiasa berubah, lingkungan kita juga selalu berubah (di rumah, sekolah, tempat kerja). Tuntutan-tuntutan terhadap waktu yang kita miliki bisa muncul dan mereda, peluang-peluang datang dan pergi, relasi dengan orang lain yang saling mendukung kadangkala berubah menjadi buruk. Berhadapan dengan arus peluang dan ancaman yang senantiasa berubah, orang membutuhkan sarana untuk mengambil tindakan korektif yang diperlukan agar dapat memelihara dan meningkatkan kesejahteraan pribadinya. Motivasi dan emosi memberikan sumber yang luar biasa besar yang memungkinkan orang beradaptasi dengan perubahan lingkungan ini.

Ketika orang berjalan berjam-jam tanpa makanan, dan ketika persediaan makanan langka, maka muncul kelaparan. Ketika batas-batas waktu pekerjaan yang dihadapi menjadi semakin banyak, maka muncul stres. Ketika orang memiliki perasaan kendali terhadap pencapaian di atas masalah yang sulit, perasaan penguasaan (mastery) dan kompetensi bangkit. Perubahan-perubahan dalam kelaparan, stres, dan motivasi penguasaan memungkinkan orang memiliki sistem adaptif yang kompleks. Kondisi-kondisi motivasional ini memberikan sarana kunci bagi individu untuk menanggulangi secara sukses tuntutan-tuntutan kehidupan yang tak terhindarkan, senantiasa berubah, dan tak teramalkan. Apabila kondisi-kondisi motivasional tersebut dihilangkan, maka orang akan segera kehilangan sumber vital untuk beradaptasi dan memelihara kesejahteraan pribadi. Siapapun yang ingin mengurangi berat badan, menulis puisi kreatif, atau belajar bahasa asing tanpa pertama-tama menghadirkan motivasi akan lekas menyadari bahwa motivasi bermanfaat untuk adaptasi, bahwa motivasi mempersiapkan dan memungkinkan kita untuk mengurangi berat badan, menunjukkan kinerja secara kreatif, dan mempelajari keterampilan kompleks.

Ketika motivasi terganggu, adaptasi pribadi juga terganggu. Orang yang merasa tak berdaya (helpless) dalam upayanya mengendalikan nasib mereka cenderung untuk lekas menyerah ketika tertantang (Peterson, Maier, & Seligman, 1993). Rasa tidak berdaya mengurangi kapasitas orang untuk menanggulangi tantangan-tantangan kehidupan. Orang yang dikuasai, dikontrol atau diserang oleh orang lain cenderung menjadi datar dan lumpuh secara emosional, tidak memiliki pengharapan dan aspirasi sehubungan dengan kebutuhan psikologis internal mereka (Deci, 1995). Sebaliknya, bila mahasiswa bergairah dengan studinya, bilamana karyawan percaya diri dengan keterampilannya, bilamana atlet menetapkan tujuan yang lebih tinggi; maka dosennya, penyelianya, dan pelatihnya dapat meyakini bahwa masing-masing orang ini akan mampu beradaptasi secara sukses terhadap lingkungan uniknya. Orang dengan motivasi berkualitas tinggi beradaptasi dengan baik; orang dengan defisit motivasi akan tergeletak.

Motivasi Mengarahkan Atensi dan Menyiapkan Aksi

Lingkungan secara terus-menerus menuntut atensi (perhatian) kita dengan beragam cara. Sebagai contoh, ketika kita berkendara masuk ke jalan, kita perlu melakukan banyak hal, seperti menemukan tujuan, bekerjasama dengan pengendara lain, menghindar menabrak mobil lain, mendengar dan merespons percakapan penumpang mobil kita yang lain (bila ada), dan sebagainya. Seorang mahasiswa secara simultan perlu meraih nilai yang bagus, memelihara persahabatan lamanya, makan makanan yang sehat, menyeimbangkan uang dan waktu, merencanakan masa depan, mencuci pakaian, mengembangkan bakat artistik, mengikuti sederet berita dunia, dan sebagainya. Kondisi motivasional kita mengarahkan atensi kita untuk dialokasikan pada satu arah. Motif-motif memiliki cara untuk memperoleh dan seringkali menuntut atensi kita sedemikian sehingga kita mengindahkan satu aspek lingkungan dan bukan aspek yang lain.

Motif-motif mempengaruhi tingkah laku dan mempersiapkan kita bertindak dengan mengarahkan atensi kita untuk menyeleksi sejumlah perilaku dan rangkaian tindakan di atas perilaku dan tindakan yang lain, sebagaimana diilustrasikan dalam Tabel 4.

Aspek lingkungan

Motif yang terbangkitkan

Rangkaian tindakan yang relevan dengan motif

Urgensi motif

Buku

Minat

Membaca bab.

*

Cola

Haus

Minum cola

*

Suara-suara yang akrab

Afiliasi

Berbicara dengan teman-teman

***

Sakit kepala

Penghindaran rasa sakit

Mengambil aspirin

****

Kurang tidur

Istirahat

Merebahkan diri, tidur

*

Kompetisi yang akan segera berlangsung

Prestasi

Praktik/latihan keterampilan

**

Tabel 4. Motivasi seorang mahasiswa

Keempat kolom tabel tersebut terdiri atas (1) beragam aspek lingkungan, (2) motif yang umumnya dibangkitkan oleh peristiwa lingkungan, (3) tindakan yang sesuai dengan motif, serta (4) tingkat prioritas hipotetis sebagaimana ditentukan oleh intensitas motif terkait. Sementara keenam rangkaian tindakan dimungkinkan, atensi tidak dialokasikan secara sama karena motif yang dibangkitkan bervariasi dalam kekuatannya (dilambangkan dengan jumlah tanda bintang pada kolom paling kanan). Oleh karena minat, rasa haus, dan istirahat tidak urgen pada waktu tertentu (ditandai dengan satu bintang), maka saliensi (kemenonjolan)-nya rendah dan tidak menarik atensi. Motif untuk menghindari nyeri sakit kepala sangat menonjol/intensif (lima tanda bintang) dan karenanya menjadi calon yang kuat untuk menarik perhatian dan menyalurkan tingkah laku untuk mengambil sebuah aspirin. Sakit (pain), sebagaimana banyak motif lainnya, memiliki kemampuan intrinsik untuk menarik, memegang, dan mengarahkan atensi kita (Bolles & Fanselow, 1980; Eccleston & Crombes, 1999). Dengan demikian, motif-motif mempengaruhi tingkah laku dengan menangkap atensi, menginterupsi apa yang sedang dikerjakan, mendistraksi (mengalihkan atau mengacaukan) kita dari melakukan hal-hal yang lain, dan memasukkan prioritas kedalam pikiran, perasaan, dan tingkah laku kita.

Motivasi Bervariasi Sepanjang Waktu dan Mempengaruhi Arus Tingkah Laku

Motivasi merupakan sebuah proses dinamis (berubah, naik, turun) ketimbang merupakan sebuah peristiwa diskret atau kondisi statis. Motivasi bergerak seperti aliran konstan “sungai” kebutuhan, kognisi, dan emosi. Di samping itu, orang selalu memelihara banyak motif yang berbeda pada suatu momen waktu. Umumnya, pada suatu waktu ada satu motif yang paling kuat (mendominasi) dan paling tepat; sementara motif yang lain relatif subordinat (dorman). Motif yang paling kuat umumnya memiliki pengaruh paling besar pada perilaku kita, namun tiap-tiap motif subordinat dapat menjadi dominan seiring dengan perubahan situasi dan karenanya dapat juga mempengaruhi serta berkontribusi terhadap arus tingkah laku.

Sebagai ilustrasi, mari kita bayangkan sebuah sesi belajar di mana seorang siswa duduk di belakang sebuah meja dengan buku di tangannya. Tujuan siswa ini adalah membaca buku tersebut, sebuah motif yang relatif kuat pada saat ini karena sebentar lagi siswa tersebut akan menghadapi ujian. Siswa tersebut membaca selama satu jam, namun sepanjang waktu ini, rasa ingin tahunnya terpenuhi, rasa lelah menghampiri, dan beragam motif subordinat (seperti rasa lapar dan afiliasi) mulai meningkat kekuatannya. Mungkin bau ayam goreng dari teman dekat di tetangga sebelah membuat siswa tersebut ingin melangkahkan kaki ke rumah tetangganya. Atau, mungkin siswa tersebut melihat sahabatnya melewati pintu rumahnya dan meningkatkan kekuatan relatif dari motif afiliasi. Apabila motif afiliasi meningkat kekuatannya sampai tingkat dominan, maka arus tingkah laku siswa akan bergeser arahnya dari belajar menjadi berafiliasi.

Arus tingkah laku di atas terdiri atas rangakaian tiga tingkah laku, X, Y, dan Z (yaitu, belajar, makan, dan berafiliasi; Atkinson, Bongort, & Price, 1977) sebagaimana nampak dalam Gambar 31.

Gambar 31. Arus tingkah laku dan perubahan kekuatan motif-motif yang mendasarinya

Gambar tersebut menunjukkan perubahan dari kekuatan masing-masing dari ketiga motif tersebut yang menghasilkan arus tingkah laku yang teramati. Pada suatu waktu, motif X (belajar) merupakan motif dominan, sementara motif Y dan Z relatif subordinat. Pada waktu kedua, motif Y (makan) meningkat kekuatannya mengatasi motif X, sementara motif Z tetap subordinat. Pada waktu ketiga, motif Z (berafiliasi) menjadi relatif dominan dan mempengaruhi arus tingkah laku. Secara keseluruhan, gambar tersebut memperlihatkan bahwa (1) kekuatan motif berubah dari waktu ke waktu, (2) orang memelihara beragam motif dengan beragam intensitas yang dapat meraih atensi dan berpartisipasi dalam arus tingkah laku pada kondisi yang tepat, (3) motif-motif bukanlah sesuatu yang dimiliki atau tidak dimiliki oleh seseorang, melainkan motif-motif bangkit dan reda seiring perubahan kondisi.

Ada Beragam Jenis Motif

Dalam pikiran banyak orang, motivasi merupakan sebuah konsep tunggal. Ciri-ciri utamanya adalah jumlahnya dan tingkat intensitasnya. Sebagai sebuah konstruk tunggal, motivasi dapat tidak ada, rendah, sedang, tinggi, atau sangat tinggi dalam konteks seberapa banyak yang dimiliki seseorang. Para praktisi (guru, manajer, pelatih) yang memandang motivasi sebagai sebuah konsep tunggal berfokus pada pertanyaan, “Bagaimana saya dapat meningkatkan motivasi pada siswa, karyawan, atau atlet saya?”.

Sebaliknya, sejumlah teoris motivasi menunjukkan bahwa ada tipe-tipe (jenis-jenis) motivasi. Sebagai contoh, motivasi intrinsik berbeda dari motivasi ekstrinsik (Ryan & Deci, 2000a). Motivasi belajar berbeda dari motivasi untuk menunjukkan kinerja (Ames & Archer, 1988). Motivasi untuk mendekati kesuksesan berbeda dari motivasi untuk menghindari kegagalan (Elliot, 1997). Dengan perkataan lain, manusia itu kompleks dari sudut pandang motivasional (Vallerand, 1997).

Lihatlah ketika atlet sedang berlatih, karyawan sedang bekerja, dan dokter sedang merawat pasien. Anda akan melihat variasi intensitas motivasi. Yang penting juga menanyai atlet mengapa ia berlatih, menanyai pekerja mengapa ia bekerja, dan seterusnya. Mengetahui jenis motivasi orang adalah penting karena sejumlah jenis motivasi menuntut kualitas pengalaman yang lebih tinggi, kinerja yang lebih baik, dan hasil yang lebih sehat secara psikologis ketimbang jenis motivasi yang lain. Sebagai contoh, siswa yang belajar karena motivasi intrinsik (karena minat, rasa ingin tahu) menunjukkan lebih banyak kreativitas, emosi positif dan pembelajaran konseptual ketimbang siswa yang belajar karena motivasi ekstrinsik (karena stiker peringatan, deadlines; Deci & Ryan, 1987). Dalam situasi prestasi, siswa yang tujuannya mendekati kesuksesan (“Tujuan saya adalah memperoleh nilai A”) menunjukkan kinerja yang lebih tinggi ketimbang mahasiswa yang mampu yang tujuannya menghindari kegagalan (“Tujuan saya adalah tidak memperoleh nilai F”) (Elliot, 1999). Ketika orang melaksanakan diet, mereka dengan motivasi otonom seringkali lebih sukses dengan makan makanan yang lebih sehat. Sementara itu, mereka dengan motivasi terkontrol seringkali gagal diet dan jatuh dalam tingkah laku disfungsional seperti bulimia (Pelletier, dkk., 2004). Seringkali dalam sebuah tim atlet, dalam pabrik dengan ratusan pekerja, dan dalam rumah sakit penuh dokter, orang-orang tidak banyak bervariasi dalam tingkat (kuantitas) motivasi; namun justru bervariasi dalam jenis (kualitas) motivasi.

Teori motivasi sosial dari David McClelland menyatakan ada tiga macam motivasi manusia, yakni motivasi berprestasi (n-Ach), motivasi berafiliasi (n-Aff), dan motivasi berkuasa (n-Pow). McClelland mengemukakan bahwa semua orang dalam kehidupan sehari-hari memiliki ketiga motif tersebut, hanya saja kekuatan dan intensitasnya tidak sama antar orang satu dengan orang lainnya. Tabel 5 menunjukkan ciri-ciri perilaku dari ketiga motivasi tersebut (Asnawi, 2007):

Motivasi berprestasi

Motivasi Berafiliasi

Motivasi Berkuasa

  1. Mengambil tanggung jawab pribadi atas perbuatan-perbuatannya.
  2. Mencari umpan balik tentang perbuatannya.
  3. Memilih risiko yang moderat atau sedang dalam perbuatannya.
  4. Berusaha melakukan sesuatu dengan cara-cara baru dan kreatif.
  5. Lebih senang bersama orang lain daripada sendirian.
  6. Sering berhubungan dengan orang lain, termasuk bercakap-cakap di telepon atau berkunjung ke tempat orang lain.
  7. Lebih memperhatikan segi hubungan pribadi yang ada dalam pekerjaannya ketimbang tugas yang ada dalam pekerjaan itu sendiri.
  8. Mencari persetujuan atau kesepakatan dari orang lain.
  9. Melakukan pekerjaan lebih efektif bilamana bekerjasama dengan orang lain dalam suasana kooperatif.
  10. Sangat aktif dalam menentukan arah kegiatan dari kegiatan organisasi di mana ia berada di dalamnya.
  11. Senang mengumpulkan barang-barang atau menjadi anggota suatu organisasi atau perkumpulan yang dapat mencerminkan prestise.
  12. Sangat peka terhadap struktur pengaruh antar pribadi dari kelompok atau organisasi.
  13. Berusaha menolong orang lain walaupun pertolongannya itu tidak diminta, yang dapat meningkatkan martabat, mengendalikan dan memanipulasi orang lain.

Tabel 5. Teori motivasi David McClelland

Emosi juga menunjukkan bahwa motif-motif bervariasi tidak hanya dalam intensitas tetapi juga dalam jenis. Sebagai contoh, seseorang yang sangat marah bertingkah laku cukup berbeda dari orang yang sangat takut. Keduanya memiliki motivasi yang tinggi, namun jenis emosinya berbeda. Jadi analisis motivasional terhadap tingkah laku menjawab dua pertanyaan, “Berapa banyak/intens motivasi?” dan “Apa jenis motivasi?”.

Studi Motivasi Menampakkan Apa Yang Orang Inginkan

Studi tentang motivasi memperlihatkan mengapa orang mengingini apa yang mereka ingini, juga apa yang diingini. Pokok pembahasan motivasi dan emosi mengurusi hal-hal yang kita semua harapkan, hasrati, inginkan, butuhkan, dan takutkan. Studi motivasi dan emosi memeriksa pertanyaan seperti: apakah orang secara mendasar baik ataukah buruk, secara alami aktif ataukah pasif, bersahabat ataukah agresif, altruistik ataukah egosentrik, bebas memilih ataukah dideterminasikan (ditentukan) oleh tuntutan biologis dan sosial, serta apakah orang memelihara tendensi untuk berkembang dan mengaktualisasikan diri.

Teori-teori motivasi menunjukkan hal-hal yang umum terjadi dalam perjuangan manusia dari berbagai kultur, pengalaman hidup, usia, sejarah, dan warisan genetik. Kita semua memelihara kebutuhan fisiologis, seperti lapar, haus, seks, dan sakit. Kita semua mewarisi disposisi biologis, seperti temperamen dan sirkuit-sirkuit neural di otak untuk kenikmatan dan kejijikan. Semua kita memiliki sejumlah kecil emosi dasar, dan kita semua merasakan emosi-emosi ini dalam kondisi yang sama, seperti rasa takut ketika diancam dan distress setelah kehilangan orang yang kita cintai. Semua kita memiliki konstelasi kebutuhan yang sama, seperti kebutuhan akan otonomi (kemandirian), kompetensi, dan keterhubungan (relatedness). Kita semua adalah hedonis (mendekati kenikmatan, menghindari rasa sakit), namun kita lebih menginginkan kegembiraan, kesejahteraan pribadi, dan pertumbuhan pribadi (Seligman & Csikszentmihalyi, 2000).

Para teoritikus juga memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai tujuan motivasi. Tujuan yang paling banyak diakui barangkali adalah mempertahankan homeostatis, yakni pemikiran tentang adanya tingkat optimal untuk berbagai kondisi tubuh (Petri dalam Asnawi, 2007). Ketika tubuh menyimpang terlalu jauh dari tingkat optimal, sirkuit motivasional akan dipicu oleh reseptor pemantau kondisi ini. Muncullah perilaku yang akan membawa tubuh ke tingkat optimalnya. Dengan perkataan lain, homeostatis adalah suatu bentuk tingkah laku yang ingin mencari keseimbangan, atau meniadakan ketidakseimbangan menjadi seimbang yang terdapat dalam dirinya.Yang pasti, beberapa motif bersifat homeostatis. Namun, motif-motif lain tidak mudah dijelaskan dengan konsep homeostatis (misalnya, motif-motif heterostatis).

Teori-teori motivasi juga menunjukkan adanya motivasi-motivasi yang dipelajari melalui pengalaman dan dirancang secara sosial melalui kekuatan kultural. Sebagai contoh, melalui pengalaman-pengalaman unik kita, melalui paparan terhadap model peran (role models), dan melalui kesadaran tentang harapan-harapan kultural, kita memperoleh tujuan-tujuan, nilai-nilai, sikap-sikap, harapan-harapan, cara-cara menjelaskan keberhasilan dan kegagalan kita, aspirasi-aspirasi pribadi, rasa diri (sense of self), dan sebagainya. Hal-hal ini memberikan energi dan mengarahkan tingkah laku kita seturut kekuatan lingkungan, sosial, dan kultural. Studi-studi motivasi memberitahukan kita bagian apa dari keinginan dan hasrat kita yang berakar dari kemanusiaan kita (sifat dasar sebagai manusia, universal), dan juga bagian apa dari keinginan dan hasrat kita yang berakarkan pada pembelajaran pribadi, sosial, dan kultural (hasil enkulturasi).

Agar Berkembang, Motivasi Membutuhkan Kondisi Yang Mendukung

Motivasi seseorang tidak dapat dipisahkan dari konteks sosialnya. Motivasi seorang anak dipengaruhi oleh dan dalam beberapa hal bergantung pada konteks sosial yang diberikan oleh orangtuanya. Motivasi seorang siswa dipengaruhi oleh sekolahnya. Hal yang sama dapat disebutkan untuk motivasi atlet yang dipengaruhi pelatihnya, motivasi pasien yang dipengaruhi dokternya, dan motivasi warga negara yang dipengaruhi oleh kulturnya. Lingkungan dapat bersifat mengasuh dan suportif (mendukung) motivasi-motivasi ini, atau lingkungan dapat menolak, membuat frustrasi, dan mengikis motivasi-motivasi ini. Mereka yang dikelilingi oleh konteks sosial yang mendukung serta mengasuh kebutuhan dan perjuangan mereka menunjukkan vitalitas yang lebih besar, mengalami pertumbuhan pribadi, dan berkembang lebih baik ketimbang mereka yang dikelilingi oleh penolakan dan frustrasi sosial (Keyes, 2007; Ryan & Deci, 2000b). Dengan mengenali peran konteks sosial dalam motivasi dan kesejahteraan orang, para peneliti motivasi berupaya untuk menerapkan prinsip-prinsip motivasi yang memungkinkan motivasi tersebut berkembang subur dalam bidang-bidang pendidikan, kerja, olahraga, terapi, dan sebagainya.

Dalam bidang pendidikan, pemahaman motivasi dapat diterapkan untuk meningkatkan keterlibatan siswa dengan kelas, mengembangkan motivasi untuk belajar dan mengembangkan talenta, mendukung hasrat untuk berprestasi ketimbang gagal (drop out), dan mendukung guru-guru bagaimana memberikan iklim kelas yang suportif. Dalam bidang kerja, pemahaman motivasi dapat diterapkan untuk meningkatkan produktivitas dan kepuasan pekerja, untuk membangun keyakinan yang percaya diri dan resilien, untuk menjaga pengaruh buruk stres, dan untuk menstrukturkan pekerjaan sedemikian sehingga memberikan pekerja tingkat optimal tantangan, kendali, keragaman, dan keterhubungan dengan para pekerja lain. Dalam bidang olahraga, pemahaman motivasi dapat diterapkan untuk mengidentifikasikan alasan-alasan pemuda berpartisipasi dalam olahraga, untuk merancang program latihan yang meningkatkan kesetiaan berlatih jangka panjang, serta meramalkan efek dari faktor-faktor (kompetisi antarpribadi, umpan balik kinerja, dan penetapan tujuan) terhadap kinerja. Dalam bidang terapi, pemahaman motivasi dapat diterapkan untuk meningkatkan kesejahteraan mental dan emosional, untuk mengembangkan perasaan optimisme, mengembangkan mekanisme defensif yang matang atau dewasa, menjelaskan paradoks mengapa upaya kontrol mental seringkali menjadi bumerang, serta untuk mengapresiasi kontribusi hubungan antar pribadi terhadap motivasi dan kesehatan mental.

Tidak semua upaya memotivasi orang lain itu berhasil. Terdapat “seni” atau “kiat” untuk memotivasi orang lain. Hal yang sama juga berlaku bagi upaya memotivasi diri sendiri. Sebagai contoh, ambillah waktu untuk memantau emosi-emosi yang diekspresikan oleh anak-anak, siswa-siswi, para pekerja, atlet dan klien ketika mereka sedang dimotivasi oleh orang lain. Ketika orang berhasil beradaptasi dan kondisi motivasional mereka meningkat, orang mengekspresikan emosi positif seperti gembira, harapan, minat, dan optimisme. Namun ketika orang dikuasai oleh lingkungan mereka dan kondisi motivasional mereka jatuh, orang mengekspresikan emosi-emosi negatif seperti kesedihan, ketidakberdayaan, frustrasi, dan stres.

Tidak Ada Yang Lebih Praktis Daripada Sebuah Teori Yang Baik

Bagaimana Anda menjawab pertanyaan motivasional seperti, “Apa yang menyebabkan Dian belajar rajin dan lama?” Untuk menghasilkan jawaban, Anda mungkin mulai dengan sebuah analisis dengan akal sehat; misalnya, “Dian belajar begitu rajin karena ia memiliki harga diri yang tinggi.”. Di samping itu, Anda mungkin mengingat contoh-contoh serupa dari pengalaman pribadi Anda ketika Anda berupaya demikian rajin, dan Anda mungkin menggeneralisasikan pengalaman tersebut pada situasi khusus ini (misalnya, “Terakhir kali saya belajar rajin disebabkan karena saya akan menghadapi ujian besar keesokan harinya.”). Strategi ketiga adalah menemukan pakar dalam topik tersebut dan menanyainya (misalnya, “Tetangga saya adalah seorang guru senior. Saya akan menanyainya mengenai pendapatnya mengapa Dian belajar sedemikian rajin.”). Semua strategi penjelasan ini adalah baik, namun sumber lain yang penting adalah sebuah teori yang baik.

Sebuah teori merupakan serangkaian variabel (misalnya, efikasi diri, tujuan, upaya) dan relasi-relasi yang diasumsikan antar variabel tersebut (misalnya, keyakinan efikasi diri yang kuat mendorong orang untuk menetapkan tujuan, dan sekali tujuan sudah ditetapkan, maka tujuan mendorong upaya yang tinggi). Teori-teori memberikan kerangka konseptual untuk menginterpretasikan hasil pengamatan tingkah laku. Teori-teori berfungsi sebagai jembatan intelektual yang menghubungkan pertanyaan dan problem motivasional dengan jawaban-jawaban dan solusi-solusi yang memuaskan. Dengan adanya teori motivasi, peneliti mendekati pertanyaan atau masalah motivasional, sebagai berikut, “Menurut teori goal-setting, alasan Dian belajar demikian rajin dan demikian lama adalah karena ….”.

Teori Motivasi

Referensi lebih lanjut

Achievement motivation

Arousal

Attribution

Cognitive dissonance

Cognitive evaluation

Differential emotions

Drive

Dynamics of action

Effectance motivation

Ego development

Expectancy x value

Facial feedback hypothesis

Flow

Goal setting

Learned helplessness

Opponent process

Positive affect

Psychodynamics

Reactance

Self-actualization

Self-determination

Self-efficacy

Sensation seeking

Stress and coping

Elliot (1997)

Berlyne (1967)

Weiner (1986)

Harmon-Jones dan Mills (1999)

Deci dan Ryan (1985)

Izard (1991)

Bolles (1975)

Atkinson dan Birch (1978)

Harter (1981)

Loevinger (1976)

Vroom (1964)

Laird (1974)

Csikszentmihalyi (1975)

Locke dan Latham (2002)

Peterson, Maier, dan Seligman (1993)

Solomon (1980)

Isen (1987)

Westen (1998)

Wortman dan Brehm (1975)

Rogers (1959)

Ryan dan Deci (2000a)

Bandura (1997)

Zuckerman (1994)

Lazarus (1991)

Tabel 6. Daftar teori-teori motivasi

Tabel 6 memperlihatkan 24 teori motivasi. Teori-teori didaftarkan dalam tabel karena dua alasan. Pertama, daftar tersebut memperkenalkan gagasan bahwa “jantung dan jiwa” dari sebuah analisis motivasional adalah teori-teori motivasi itu sendiri. Sebuah teori yang baik merupakan alat praktis dan berguna untuk memecahkan permasalahan motivasional yang dihadapi oleh siswa, guru, pekerja, penyelia, manajer, atlet, pelatih, orangtua, terapis, dan klien. Membahasakan ulang pernyataan Kurt Lewin, “There is nothing so practical as a good theory”. Sebuah teori dapat menjadi pemandu yang berguna untuk memahami masalah motivasi dan memecahkannya. Kedua, daftar teori dapat berfungsi sebagai sarana untuk memantau keakraban Anda dengan studi-studi motivasi kontemporer. Pada saat ini, Anda mungkin mengenali sangat sedikit teori yang terdaftar dalam tabel, namun keakraban Anda akan berkembang dari minggu ke minggu. Sebulan dari sekarang, Anda akan merasa lebih akrab dengan seluruh teori dalam tabel. Jika demikian, maka Anda dapat percaya diri bahwa Anda dapat mengembangkan pemahaman yang lengkap tentang motivasi dan emosi. Ketika Anda mengetahui teori-teori motivasi, Anda mengetahui motivasi.

Kerangka Kerja Untuk Memahami Studi Motivasi

Seluruh bahasan di atas dapat dirangkum dalam Gambar 32.

Gambar 32. Kerangka kerja untuk memahami motivasi

Kondisi-kondisi anteseden mempengaruhi status motif seseorang. Bangkit dan redanya status motif seseorang menciptakan perasaan terintegrasi akan “ingin untuk” atau “tidak ingin untuk” serta urgensi untuk mendekat (bergerak menuju, terlibat) lawan menghindar (meloloskan diri, melepaskan keterlibatan), yang mengekspresikan diri melalui pola tingkah laku energetic dan terarah-tujuan, keterlibatan, aktivasi otak dan fisiologi, serta laporan diri.

Perhatikan contoh berikut. Lamanya kekurangan makanan (kondisi anteseden) akan menyebabkan turunnya glukosa (perubahan dalam kebutuhan fisiologis), yang akan terepresentasi dalam kesadaran (consciousness) sebagai perasaan lapar serta perasaan ingin makan, yang memberikan dan mengarahkan lebih lanjut perilaku, keterlibatan, aktivasi otak dan fisiologi, serta laporan diri. Serupa dengan itu, menerima umpan balik positif dari pekerjaan yang dilaksanakan dengan baik (kondisi anteseden) akan membangkitkan persepsi kompetensi yang mengembangkan perasaan ingin mengembangkan diri yang selanjutnya meningkatkan tingkah laku yang gigih, keterlibatan, menenangkan fisiologi yang kalut, dan menginspirasikan laporan diri seperti, “Pekerjaan ini menyenangkan”. Sebuah ancaman (kondisi anteseden) dapat membangkitkan rasa takut (emosi) dan karenanya mengembangkan keinginan untuk lari dan melindungi diri, sebuah perasaan yang akan mewarnai tingkah laku (kabur dari ancaman), keterlibatan (pemrosesan informasi), fisiologi (detak jantung), dan laporan diri (perasaan cemas dan gugup).

Model dalam gambar tersebut mengidentifikasikan kondisi-kondisi dalam mana motif-motif bangkit dan reda (sebagaimana dipengaruhi oleh kondisi-kondisi anteseden), menggambarkan pokok bahasan studi motivasi (kebutuhan, kognisi, emosi), dan mengilustrasikan bagaimana perubahan dalam motivasi secara kasat mata mengekspresikan dirinya sendiri (tingkah laku, keterlibatan, aktivasi otak dan fisiologi, dan laporan diri). Tugas teori adalah menjelaskan sebuah fenomena motivasional tertentu berdasarkan proses-proses yang tergambar dalam model tersebut.

Aspek-aspek Emosi

Definisi emosi yang disepakati oleh semua pihak memang sulit dicapai, padahal definisi ini memiliki konsekuensi yang penting bagi interpretasi teori serta penelitian. Sebagai contoh, apabila kita menganggap emosi sebagai sebuah pengalaman privat, maka relasi antara emosi dengan dunia sosial tidak dapat bersifat langsung. Namun, apabila kita memandang emosi bersifat komunikatif, maka emosi memiliki hubungan yang nyata dengan dunia sosial. Oleh karena kesulitan pemberian definisi ini, maka kita perlu meninjau aspek-aspek dari emosi.

Pertama, emosi berkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam dunia (objek-objek dan sebab-sebab). Kedua, emosi mengimplikasikan adanya pengambilan sebuah perspektif tertentu terhadap peristiwa, dengan menyukai (liking) atau tidak menyukai (disliking) hal-hal yang terjadi, atau dengan memperlakukan peristiwa tersebut sebagai sebab untuk menyelamati atau memaki (penilaian / appraisal). Ketiga, ketika kita emosional, badan kita biasanya bereaksi dengan cara yang sama, misalnya kita berkeringat dingin, denyut jantung makin cepat, dan sebagainya (perubahan fisiologis). Keempat, di samping sensasi kita akan adanya kekacauan reaksi badaniah, kita seringkali merasakan impuls yang kuat untuk bertindak dengan cara tertentu ketika emosional (kecenderungan/tendensi bertindak). Kita mungkin mengalami hasrat untuk memukul atau memeluk seseorang, berlari, bersembunyi, atau tetap tinggal di tempat.

Kelima, emosi-emosi tertentu nampaknya berhubungan dengan pergerakan otot yang dapat mengekspresikan atau menunjukkan apa yang kita rasakan terhadap orang lain (ekspresi atau tampilan / display). Sebagai contoh, kita tersenyum atau mengernyitkan dahi, mengepalkan tangan kita atau membuka lengan kita. Aturan-aturan pengungkapan (display rules) (Ekman, 1973) menyatakan bahwa orang mengikuti konvensi-konvensi yang dipelajari secara kultural mengenai hal-hal yang tepat (atau tidak tepat) diekspresikan dalam situasi tertentu dengan mengatur pergerakan wajah mereka secara eksplisit. Gerakan wajah mencerminkan kombinasi dari proses otomatis dan proses terkontrol. Prinsip display rules ini juga mendasari ekspresi gestur (gerak-gerik badan) dan vokal (suara).

Keenam, kita seringkali mencoba melakukan sesuatu terkait dengan satu atau lebih aspek-aspek episode emosional yang berbeda (regulasi). Kita dapat mempengaruhi rangkaian peristiwa, mengubah persepsi kita terhadap peristiwa, mengelola reaksi badaniah kita, atau memodifikasi gestur dan ekspresi kita. Sebagai contoh, bayangkanlah A sedang memaki-maki B yang sedang Anda simak opininya karena opini orang A penting buat Anda. Anda dapat mencoba menghalau kritik A dengan meminta A diam, bertanya-tanya apakah A sungguh-sungguh meniatkan penyerangan ofensif terhadap B, mengambil nafas panjang untuk memelihara kondisi rileks Anda, atau mengatupkan bibir untuk menyembunyikan kekecewaan Anda. Keenam hal itulah yang merupakan subproses dari emosi (Parkinson, Fischer, & Manstead, 2005). Regulasi emosi juga dapat dipandu oleh keanggotaan kelompok, seperti seorang profesi pelayan yang seringkali perlu untuk meningkatkan tingkat pelayanan mereka atau empati mereka terhadap klien (Hochschild, 1983).

Teori Appraisal dan Umpan Balik

Dari enam subproses emosi yang dikemukakan di atas, manakah subproses yang datang terlebih dahulu, dan manakah subproses yang terjadi belakangan?

Dalam karya klasik William James (1884), “What is an emotion?”, ia mengkontraskan pandangan umum tentang sebab-akibat emosi dengan pandangan alternatifnya sendiri yang dikenal sebagai “teori umpan balik” (feedback theory):

“Pemikiran alamiah kita adalah bahwa persepsi mental terhadap sejumlah fakta membangkitkan afeksi mental yang disebut emosi, dan kondisi mind emosional ini membangkitkan ekspresi badaniah. Sebaliknya, tesis saya adalah bahwa perubahan-perubahan badaniah secara langsung mengikuti persepsi tentang fakta, dan perasaan kita mengenai perubahan badaniah itu lah emosi. Akal sehat mengatakan, kita mengalami kemalangan, membuat kita menyesal dan menangis; kita bertemu beruang, membuat kita takut dan berlari; kita dihina oleh seorang lawan, membuat kita marah dan memukul. Hipotesis yang saya pertahankan dalam hal ini adalah bahwa urutan tersebut tidak benar …. Pernyataan yang lebih rasional adalah bahwa kita merasa menyesal karena kita menangis, kita marah karena kita memukul, kita takut karena kita gemetar; bukan kita menangis, memukul, gemetar karena kita menyesal, marah, atau takut.”

Dengan demikian, menurut teori umpan balik, perubahan fisiologis, ekspresi-ekspresi, dan tindakan-tindakan berlangsung terlebih dahulu, kemudian diikuti oleh pengalaman emosi, yang secara langsung didasarkan oleh persepsi (Gambar 33).

Anggapan umum

Teori umpan balik

Gambar 33. Teori Emosi dari James

Menurut James, apabila perubahan-perubahan fisiologis tidak terjadi, maka kualitas emosional akan menghilang dari pengalaman kita. Tanpa persepsi terhadap adanya perubahan kondisi badaniah, maka yang terjadi adalah semata-mata persepsi kognitif yang tanpa warna atau miskin sentuhan emosional. Misalnya, kita melihat seekor beruang dan menilai bahwa sebaiknya kita berlari namun kita tidak merasa takut. Atau, kita menerima hinaan dari seseorang dan menganggap bahwa paling tepat kita memukulnya, namun kita tidak merasa marah. Hal ini, menurut James, karena kita tidak menafsirkan badan kita. Dalam bahasa James, “A purely disembodied emotion is a non-entity”. Bagi James, tidak hanya umpan balik badaniah yang membuat emosi menjadi emosional, melainkan umpan balik badaniah tersebut juga menentukan hal-hal apa saja yang berbeda dari emosi yang berbeda-beda. Kita mengetahui apa yang kita rasakan karena adanya pola-pola perubahan tertentu yang kita rasakan itu kita pikirkan sebagai berbeda dalam takut, marah, bahagia, sedih, rasa bersalah, dan sebagainya.

Alternatif yang paling populer dari teori umpan balik adalah teori penilaian (appraisal theory) (Arnold, 1960; Ellsworth, 1991; Smith & Lazarus, 1993), yang disebut James sebagai “pemikiran alamiah kita” tentang emosi. Dalam pandangan ini, hal yang menyusun pengalaman emosional bukanlah persepsi terhadap beragam respons badaniah, melainkan hal-hal yang membuat fakta-fakta menarik atau menggairahkan, kesadaran bahwa fakta-fakta tersebut penting bagi kita secara pribadi. Baik persepsi maupun emosi memiliki sebuah objek. Bedanya, dalam emosi, objeknya diketahui dengan cara khusus. Guna mempersepsi atau mengerti (aprehensi) sesuatu berarti bahwa kita mengetahui sesuatu itu sebagai sebuah benda, terpisah dari efeknya pada saya. Namun, menyukai (like) atau tidak menyukai (dislike) bermakna bahwa saya mengetahui sesuatu itu tidak hanya secara objektif (terpisah dari saya), tetapi juga saya mengestimasikan relasi atau hubungannya terhadap saya, bahwa saya menilainya sebagai hal yang diinginkan (desirable) atau tidak diinginkan (undesirable), bernilai (valuable) atau merugikan (harmful) buat saya, sehingga saya menuju kepada sesuatu itu atau menolak/mengusir sesuatu itu (Arnold, 1960).

Gagasan dasarnya adalah bahwa reaksi-reaksi emosional kita bergantung tidak pada karakteristik spesifik peristiwa-peristiwa stimulus, melainkan lebih kepada cara kita menginterpretasikan dan mengevaluasi apa yang sedang terjadi pada kita (appraisal). Lebih lanjut, karakter tertentu dari penilaian kita terhadap peristiwa merupakan hal yang mendasari perbedaan antar emosi-emosi yang berbeda. Pada tingkat yang paling sederhana, ketika kita menilai sesuatu sebagai baik bagi kita, kita menyukainya. Ketika kita menilai sesuatu buruk buat kita, kita tidak menyukainya. Hubungan-hubungan yang lebih spesifik antara penilaian dan emosi menurut Smith dan Lazarus (1993) adalah sebagaimana nampak dalam Gambar 34.

Gambar 34. Teori penilaian (Smith & Lazarus, 1993)

Kondisi esensial emosi menurut model ini adalah penilaian terhadap relevansi motivasional, yang berarti bahwa emosi hanya ada apabila hal yang sedang terjadi memiliki pengaruh pada tujuan atau proyek kehidupan yang sedang dikejar seseorang. Dengan perkataan lain, kita tidak mempedulikan hal-hal yang tidak mempengaruhi kehidupan kita. Apakah emosi yang dihasilkan menyenangkan (pleasant) atau tidak menyenangkan (unpleasant) bergantung pada penilaian terhadap kongruensi motivasional, yang menentukan apakah perkembangan saat ini membantu atau merintangi pengejaran tujuan kita. Kongruensi motivasional bergantung pada penilaian “sekunder” terhadap akuntabilitas dan potensi coping. Akuntabilitas adalah bagaimana peristiwa-peristiwa yang relevan secara motivasional itu dijelaskan. Potensi coping adalah opsi-opsi atau pilihan-pilihan yang tersedia untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang memiliki relevansi motivasional. Sebagai contoh, jika seseorang menghina kita, hal ini biasanya merupakan peristiwa yang memiliki relevansi motivasional dan inkongruen, sehingga menimbulkan emosi yang tidak menyenangkan. Namun demikian, jenis emosi tak menyenangkan yang kita alami bergantung pada penilaian (appraisal) yang lebih spesifik mengenai siapa yang bertanggung jawab (atau akuntabel) bagi hinaan tersebut. Secara khusus, kita akan mengalami kemarahan apabila kita mempersepsikan bahwa orang yang melakukan penghinaan itu salah sebagai pelaku. Namun, kita akan mengalami rasa bersalah (guilt) apabila kita menyalahkan diri kita sendiri, misalnya diri kita melakukan sesuatu yang membuat orang lain menghina kita. Ringkasnya, terjadi atau tidaknya emosi, dan dalam bentuk apa emosi itu, bergantung pada pemahaman spesifik kita mengenai hal yang sedang terjadi.

Keberatan terhadap teori appraisal adalah bahwa orang tidak selalu menyadari penafsiran peristiwa. Jadi, tantangan terhadap teori ini adalah menjelaskan bahwa ada penilaian yang dilakukan secara tidak sadar (unconscious appraisal) sebelum pengalaman emosi.

Pengaruh Sosial Terhadap Komponen-komponen Emosi

Aspek-aspek emosi dipengaruhi oleh tiga pengaruh sosial, yakni (1) perjumpaan dan hubungan antar pribadi, (2) dinamika kerjasama dan konflik kelompok, dan (3) nilai-nilai dan praktik kultural. Asumsi preliminernya adalah bahwa emosi berkembang sebagai reaksi terhadap peristiwa yang dinilai sebagai baik atau buruk oleh individu, dan penilaian itu bergantung antara lain pada ketiga pengaruh sosial tersebut.

Sebab-sebab dan Objek-objek Emosi

Para filsuf seringkali menggolongkan emosi sebagai kondisi-kondisi intensional (misalnya, Gordon, 1974). Artinya bahwa emosi senantiasa “mengenai sesuatu”. Sebagai contoh, kita tidak hanya merasa marah. Kita merasa marah terhadap orang lain, dan tentang sesuatu yang telah mereka lakukan. Sesuatu yang memicu respons emosional kita itu bersifat sosial. Komentar yang tak peka dari seseorang mengecewakan kita; kita jauh cinta dengan seseorang; kita cekcok dengan seseorang; kita cemas bertemu dengan seseorang untuk pertama kali; dan sebagainya. Tindakan-tindakan atau pengalaman orang lain menyusun satu golongan terbesar dari peristiwa-peristiwa yang memicu emosi kita.

Namun efek emosional terhadap hal yang dilakukan orang lain bergantung pula pada siapa orang tersebut. Kita perlu berada dalam relasi-relasi tertentu dengan orang lain sebelum kehidupan orang lain itu mempengaruhi kita. Relasi ini tidak perlu relasi pertemanan atau afiliasi. Pada kenyataannya, orang-orang yang kita benci, iri, atau dendami dapat membuat banyak perubahan perasaan kita sebagaimana orang-orang yang kita cintai. Kita dapat gembira atau kecewa terhadap apa yang terjadi kepada pahlawan dan penjahat dalam film-film aksi. Jadi, yang diperlukan dalam hal ini adalah tingkat keterlibatan atau keterhubungan tertentu. Tingkat keterlibatan atau keterhubungan dimaksud misalnya, apakah kita memiliki tujuan yang sama atau berkonflik dengan tujuan orang lain, apakah tindakan orang lain dapat mempengaruhi pencapaian tujuan kita. Kita bekerjasama dengan orang lain atau bertentangan dengan orang lain dalam beragam proyek-proyek formal dan informal. Koneksi atau hubungan antar orang lain ini membuat kita konsen atau peduli terhadap tindakan mereka.

Lebih lanjut, sifat-sifat spesifik dari hubungan antarpribadi kita menentukan makna khusus dari objek emosional. Sebagai contoh, pujian yang sama dapat memiliki implikasi afektif yang berbeda apabila datang dari atasan kita, karyawan kita, atau dari seseorang yang memiliki hubungan romantis dengan kita. Baik intimasi maupun status hubungan dapat membuat perbedaan yang besar dalam bagaimana orang bereaksi terhadap peristiwa-peristiwa antar pribadi.

Hal-hal yang terjadi pada anggota kelompok kita (keluarga, tim olahraga, klub-klub yang terkait dengan kelas sosial, dan lain-lain) juga mempengaruhi kita secara pribadi. Lebih lanjut, oleh karena kelompok-kelompok seringkali mendefinisikan dirinya berbeda dengan kelompok lain (misalnya, Katolik-Protestan, pengguna Mac-pengguna PC, psikolog sosial-psikolog klinis), apa yang terjadi pada anggota kelompok luar (out-group) kita juga memiliki efek emosional. Sebagai contoh, pendukung Tim Persib mungkin senang ketika Persib menang dan Persija kalah.

Norma-norma, nilai-nilai, dan aturan-aturan sosial juga menentukan apa yang signifikan secara emosional, serta memandu respons yang tepat. Sebagai contoh, orang Amerika memiliki nilai prestasi pribadi, sedangkan orang Indonesia menekankan tujuan kelompok atau keluarga. Jadi, menjadi juara satu di sekolah dapat dinilai secara cukup berbeda dalam dua kacamata kultural ini. Kultur Anglo-Amerika cenderung melihat penyebab tingkah laku dari sudut utamanya individual, sedangkan masyarakat Timur memiliki pandangan fatalistik (Miller, 1984). Perbedaan perspektif ini memiliki implikasi terhadap penilaian (appraisal) yang menyangkut emosi seperti rasa marah dan rasa bangga. Penekanan kultural (diri/self versus yang lain/others, keunikan pribadi versus posisi sosial) memiliki konsekuensi terhadap evaluasi dan interpretasi terhadap beragam peristiwa antarpribadi.

Meskipun orang seringkali menjelaskan emosi mereka dalam percakapan sehari-hari dengan rujukan pada objek (“Saya marah terhadap apa yang ia katakan”), kita perlu juga mensepsifikasikan sebab-sebab guna menjelaskan emosi itu secara utuh (Kenny, 1963; Ryle, 1949). Perbedaannya memang tipis. Objek emosi merupakan fokus emosi, hal yang menjadi sasaran emosi. Namun, sebab emosi merupakan hal-hal yang secara aktual memulai dan mempertahankan proses emosi. Seringkali sebab emosi sama dengan objek emosi, namun kadangkala tidak. Paling sering, objek emosi hanya merupakan satu aspek dari satu sebab. Sebagai contoh, A marah kepada B, karena B tidak mengacuhkan A di pesta B. Namun demikian, hal yang menyebabkan kemarahan A tidak hanya ketika B melakukan atau tidak melakukan sesuatu pada kesempatan tertentu, melainkan juga sejarah hubungan A dengan B, kehadiran orang lain yang melihat B mengabaikan A serta reaksi-reaksi yang tampak dari orang lain tersebut, kenyataan bahwa orang yang lain telah berlaku tidak menyenangkan juga kepada A, suasana hati peka (irritable) yang telah dimiliki A, dan seterusnya. Jelas bahwa faktor-faktor sosial dari berbagai hal dapat merasuki kompleks sebab-sebab emosi.

Perubahan Badaniah dan Tendensi Bertindak

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, teori umpan balik dari James (1884) menyatakan bahwa pengalaman emosi dihasilkan sepenuhnya dari persepsi terhadap perubahan ketubuhan. Schachter (Schachter & Singer, 1962) menambahkan bahwa untuk memaknai apa yang kita rasakan, kita dapat terlibat dalam sebuah perbandingan sosial (social comparison). Sebagai contoh, apabila simtom-simtom badaniah keterbangkitan emosi terjadi ketika Anda bersama dengan seseorang yang nampak euforik (sangat bergembira), Anda mungkin menyimpulkan bahwa Anda juga mengalami kegembiraan. Namun apabila simtom yang sama muncul bersama dengan individu yang sedang teriritasi/terluka, Anda mungkin menyimpulkan bahwa Anda marah. Jadi menurut teori ini, makna emosional terhadap perubahan badaniah dapat mengalami sebagian dapat merupakan fungsi proses-proses interpersonal.

Namun, teori-teori emosi yang lain memandang perubahan badaniah lah yang merupakan reaksi terhadap penilaian pada rangsang tersebut; jadi, tidak seperti teori James yang mengatakan sebaliknya, bahwa pengalaman emosi kita berasal dari penilaian kita terhadap perubahan badaniah. Teori yang tidak sepakat dengan James ini menyatakan bahwa fisiologi internal kita justru turut menyesuaikan diri ketika kita mengubah mode tindakan kita dengan mempertimbangkan/menilai lingkungan. Sebagai contoh, apabila kita terlibat dalam sebuah perdebatan, darah yang mengumpul pada wajah kita merupakan cermin dari posisi argumen kita dengan mempertimbangkan lawan debat kita.

Salah satu fungsi perubahan badaniah sepanjang pengalaman emosi adalah mempersiapkan otot-otot untuk bergerak dalam rangka membantu menghadapi peristiwa emosional. Sebagai contoh, Cannon (1927) memandang emosi sebagai reaksi terhadap situasi darurat yang memerlukan respons yang kuat. Dengan demikian, badan melepaskan energi metabolik untuk mendukung tindakan apapun yang diperlukan. Menurut teori penilaian (appraisal), badan dipersiapkan khususnya untuk jenis tindakan tertentu yang diperlukan oleh situasi yang dinilai. Sebagai contoh, penilaian tentang bahaya menimbulkan energi yang dilepaskan ke otot-otot kaki untuk memudahkan berlari. Mind juga siap bagi respons-respons emosional yang perlu. Emosi mengarahkan atensi kita terhadap peristiwa saat yang membutuhkan tindakan, dan membuat kita menginginkan sesuatu terhadap peristiwa tersebut. Sebagai contoh, objek-objek yang dinilai baik secara umum mendorong tendensi mendekat, sedangkan objek-objek yang dinilai buruk mendorong tingkah laku menarik diri (Arnold, 1960), mendebat, memukul, atau melawan.

Tendensi bertindak dimaksudkan untuk mengubah relasi antara orang yang sedang mengalami pengalaman emosional dengan lingkungannya pada saat itu.

Emosi Orang Indonesia

Karl G. Heider (1991) dalam penelitiannya mengenai pembentukan emosi secara kultural, “cultures of emotion” memberikan daftar emosi orang Indonesia, berdasarkan penelitiannya terhadap tiga kultur, yakni kultur orang Minangkabau (kultur Muslim matrilineal di Sumatera Barat), dengan data komparatif kultur orang Jawa Tengah, yang dibandingkan dengan rujukan emosi orang Amerika. Salah satu peta emosi orang Minangkabau berdasarkan penelitian Heider nampak dalam Gambar 35.

Gambar 35. Kluster emosi “Cinta” di Minangkabau (Heider, 1991)

Salah satu dasar pikiran yang melandasi penelitian Heider tersebut adalah teori kultural tentang emosi. Sebagai contoh, kata “sedih” di Indonesia dalam kamus bahasa Inggris diterjemahkan sebagai “sad”. Pada kenyataannya kedua realitas yang dicerminkan oleh kata ini memiliki anteseden (peristiwa pendahulu) yang sama, misalnya kehilangan atau berpisah dari seseorang, biasanya orang yang dicintai. Di samping itu, keluaran (outcome) utama dari kedua emosi ini adalah menangis. Jadi, karena kesamaan anteseden dan keluaran ini, maka dalam Gambar 36, sedih dan sad berada pada jalur “normal” pan-kultural. Artinya bahwa aliran emosi sedih maupun sad tidak dibiaskan oleh aturan-aturan khusus dari kebudayaan. Namun demikian, ada banyak contoh di mana keluaran dari emosi tertentu agak tak terduga, yang memperlihatkan adanya efek display rule. Sebagai contoh, keluaran dari kebahagiaan (happiness) bagi orang Indonesia adalah senyum dan sejenisnya. Namun keluaran kebahagiaan (happiness) di Minangkabau menarik diri (masking and withdrawal) yang memperlihatkan adanya display rule dalam menetralkan kebahagiaan di Minangkabau (Heider, 1991, h. 9).

Gambar 36. Bias kultural alam aliran emosi

--

--

Juneman Abraham
Juneman Abraham

Written by Juneman Abraham

Psikolog Sosial | Peneliti Psikoinformatika & Psikologi Korupsi | Sains Terbuka | Blog: http://juneman.blog.binusian.org and http://junemanblog.wixsite.com/blog

No responses yet