Masalah Tes Wawasan Kebangsaan untuk Jabatan Publik (Opini, Koran Tempo, 16 Agustus 2021)

Juneman Abraham
5 min readAug 16, 2021
Halaman depan, Koran Tempo, 16 Agustus 2021

Versi Pracetak (Preprint version) — sebelum disunting oleh Redaksi Opini Koran Tempo, sebagai berikut:

Masalah Tes Wawasan Kebangsaan untuk Jabatan Publik

Juneman Abraham

Dosen Psikologi Kebijakan Publik, Universitas Bina Nusantara, dan Peneliti Tamu, School of Government and Public Policy-Indonesia

Kita sepakat bahwa semua pejabat publik, khususnya untuk jabatan-jabatan strategis, harus memiliki wawasan kebangsaan yang kuat. Namun alih-alih menjadi bagian solutif atas problem bangsa berupa intoleransi dan radikalisme, tes pengukur wawasan kebangsaan (TWK) dapat menimbulkan masalah baru. Tujuan tes yang pada dasarnya baik justru bisa kontraproduktif ketika asesmen atau penilaian menjadi alat politik dan menghalangi orang-orang terbaik duduk pada posisi-posisi vital di negara ini.

Gagasan untuk memperluas asesmen wawasan kebangsaan perlu dipertimbangkan dengan matang karena TWK di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menimbulkan kontroversi yang sulit ditenangkan hanya dengan klaim bahwa TWK itu ilmiah.

Pangkal persoalan dari TWK atau tes apapun adalah kebijakan pengetesan. Dan kebijakan apapun berpotensi disalahgunakan. Sebuah kebijakan disalahgunakan ketika motifnya menyimpang dari tujuan yang sepatutnya namun dilegalkan melalui aturan atau kebijakan formal. Di masa Orde Baru, misalnya, menjadi rahasia umum bahwa penelitian khusus (litsus) digunakan untuk “menyaring” orang-orang yang berseberangan dengan posisi penguasa.

Tanpa mengecilkan manfaat tes di berbagai bidang, penyalahgunaan pengetesan untuk kepentingan politik memang dapat terjadi dan pada tingkat global dikenal sebagai political abuse of psychology/psychiatry. Guna mencegahnya, kebijakan yang melandasi sebuah pengetesan — yang mencakup filosofi, legalitas, tujuan, dan perencanaan tes — harus terperiksa. Tak hanya TWK, semua tes wajib memiliki landasan yang jujur dan bertanggung jawab. Pembuat kebijakan, penyelenggara, dan pelaksana pengetesan perlu, seperti kata Pramoedya, “berbuat adil sejak dalam pikiran”.

Keilmiahan indikator dan metode tes pun perlu dijamin. Diberitakan, ada sembilan indikator “merah” TWK, diantaranya, “terpengaruh atau mendukung ideologi lain”. Kalau saya membaca buku komunisme, apakah lantas saya terpengaruh ideologi itu? Ataukah justru sebaliknya, karena saya mempelajari komunisme, saya dapat secara efektif menghadapi tantangan terhadap Pancasila di lingkungan saya? Lagi, banyak studi menunjukkan bahwa puritanisme religius lebih merupakan state (terpaut situasi, seperti ketimpangan sosial) ketimbang trait (sifat individual). Tepatkah TWK dipakai sebagai alat yang berfokus pada individu, bukannya pemetaan dan pengembangan kelompok?

Dalam seleksi Aparatur Sipil Negara, Pemerintah mengintegrasikan data konten dan komunikasi orang-orang yang dites dari media sosial. Teknologi natural language processing (NLP) dari komputasi linguistik umum digunakan untuk mendeteksi radikalisme. Namun, keterbatasan NLP saat ini jika diiringi tidak komprehensifnya penilaian hanya akan memuat bahaya besar, yakni hadirnya “pengadilan pikiran” dalam asesmen.

Keilmiahan tes pun bergantung pada implementasinya. Penyelenggara TWK selayaknya memiliki dokumentasi mengenai metode mitigasi terhadap risiko-risiko bias atau kesalahan interpretasi. Keberadaan dewan etik asesmen yang turut mengaudit kebijakan pengetesan sesuai bidang keilmuan dan profesional sangatlah penting. Dalam paradigma terkini, asesor merupakan the best role models dalam bidang yang dinilai. Dewan dapat menentukan, misalnya, relevankah BAIS-TNI dan BIN sebagai asesor TWK untuk bidang anti-korupsi?

Tampak bahwa persoalan TWK terjadi bahkan sebelum mengenai keilmiahannya. Bangsa kita dibangun atas konsensus bersama. Maka tes yang mengatasnamakan kebangsaan pun harus memiliki dasar hukum yang kuat, sebagai konsensus politik eksplisit dalam pasal-pasal setingkat Undang-undang. Dengan kesepakatan bersama, jauh lebih terjamin bahwa asesmen berterima secara luas dan tidak akan diskriminatif.

Temuan Ombudsman tentang maladministrasi TWK menunjukkan ilegitimasi di tahap pembentukan kebijakan dan penetapan hasil TWK. Sedang pada tahap pelaksanaan, ditemukan inkompetensi. Dengan itu, dunia pengetesan memasuki babak baru. Pernyataan, “Hasil penilaian tidak dapat diganggu gugat”, tak lagi berterima begitu saja. Bukan untuk merobohkan kepercayaan terhadap asesmen, TWK maupun pengetesan sejenisnya memang harus dapat digugat justru untuk mempertahankan integritasnya. Dalam filsafat ilmu, hal ini serupa kriteria falsifiabilitas untuk menguji keilmiahan sebuah pernyataan, yakni bahwa pernyataan itu harus boleh dibuktikan salah. Penyelenggara TWK hendaknya lebih mampu dan bersedia membeberkan bukti-bukti bahwa kredibilitas asesmennya memang teruji, atau jangan diadakan.

Tak kalah mendasar, arti penting wawasan kebangsaan perlu direfleksikan kembali penerjemahannya. Kebijakan pengetesan yang transparan dan akuntabel akan memberikan penerangan kepada publik, apakah TWK memiliki kapasitas sebagai jawaban substantif atas permasalahan bangsa. Bukan hanya berlindung di balik indeks statistik tentang validitas dan reliabilitas skor-skor tes. Pengkeramatan pengetesan melalui show off angka-angka kuantitatif tidak lagi mempesona apalagi bijaksana.

Apabila TWK harapan satu-satunya, perkuat standarisasinya, termasuk rumuskan unsur dari pengetesan yang selayaknya merupakan informasi terbuka. Diberitakan, Dinas Psikologi Angkatan Darat terlibat dalam penyusunan TWK. Jika TWK memang tes psikologi, maka RUU Praktik Psikologi yang sedang bergulir sebagai Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021 menjadi momentum untuk meningkatkan kebertanggung gugatan dan kualitas tes. Sebaliknya, jika TWK bukan jawaban, belum terlambat mencari format lain yang tepat daripada mempertahankan tes yang akan terus menimbulkan komplikasi dan menyita energi bangsa.

Jabatan publik memerlukan orang-orang terpilih untuk mengisinya. Sangat tidak bertanggung jawab apabila maksud mulia dari pengukuran manusia justru memuat risiko besar mengorbankan orang-orang yang terbaik yang layak menduduki posisi tersebut. Jangan sampai publik dirugikan oleh kebijakan tes yang ugal-ugalan. Dunia pengetesan, dari pembuat kebijakan sampai penggunanya sebagai alat skrining, sudah saatnya berbenah diri.

Cara mengutip (APA Style):

Abraham, J. (2021, August 16). Masalah tes wawasan kebangsaan untuk jabatan publik. Koran Tempo. Retrieved from http://bit.ly/TesWawasanKebangsaan-TWK

--

--